Jumat, 30 Juni 2017

Ahok Hilang Karya Terbilang


Suasana Masjid Raya KH Hasyim Asy'ari, Jakarta, Kamis (29/6/2017).

Beberapa hari lalu, pada Selasa (27/6/2017), beranda media sosial penuh. Tidak seperti biasanya. Terdapat banyak unggahan foto anak kecil dan seorang ibu muda. Sebagian besar netizen berlomba-lomba mengunduh gambar itu. Kemudian, dijadikan video berupa kumpulan foto dengan latar belakang lagu berjudul "Pahlawan Tak Pernah Mati" yang dinyanyikan Rizca Ayu, karya Yunan Helmi.

Ya, gambar anak kecil dan seorang ibu muda itu adalah Ahok atau Basuki Tjahaja Purnama saat masih bayi bersama ibunda tercintanya, Buniarti Ningsih. Bocah kecil keturunan Tionghoa-Indonesia dari suku Hakka itu lahir di Belitung Timur, Bangka Belitung, pada 29 Juni 1966. Kemarin, Kamis (29/6/2017), ia genap berusia 51. Gubernur DKI Jakarta pasca-Jokowi itu, terpaksa merayakan hari bahagianya di Markas Komando Brigadir Mobil (Mako Brimob), Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat.

Berbagai ucapan, doa, dan hadiah, berdatangan dari para pengagumnya. Baik memberikan langsung ke Mako Brimob, atau pun melalui media sosial. Bahkan, ucapan dengan tagar #HBDAhok51 menempati posisi teratas di Twitter, sepanjang hari, kemarin. Segala kebaikan tertumpah di linimasa, walau masih saja ada segelintir orang yang berusaha mencemarinya dengan satir kebencian. Itu hal biasa. Tapi yang pasti, kebaikan akan selalu ditempatkan di posisi yang mulia. 

Rabu, 28 Juni 2017 kabar bahwa esok adalah ulangtahun "si penista agama" itu tersiar dengan sangat massif di dunia maya. Tak terkecuali saya. Saat tahu kabar tersebut, saya berniat berkunjung ke beberapa tempat yang merupakan karya dan hasil dari kinerja Ahok. Masjid KH Hasyim Asy'ari dan Gubah Al-Haddad atau makam Al Imam Al Arif Billah Sayyidina Al Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad Al Husaini Ass Syafi`'i alias Mbah Priuk, menjadi destinasi wisata religi bersama Abang kandung saya, Nisfu Syawaluddin Tsani.

"Mas, besok ke Masjid KH Hasyim Asy'ari, yuk. Trus ziarah ke Mbah Priuk. Ngalap berkah sekaligus memperingati hari lahir Ahok," kataku kepada Nisfu, Rabu malam. Tanpa pikir panjang, dia mengiyakan. 

Kamis pagi menjelang siang, sekitar jam 11, kami berangkat. Perjalanan dari Bekasi ke Jl Rusun Pesakih itu memakan waktu kurang lebih satu jam. Lalulintas Ibukota kemarin, ramai lancar. Sama sekali tidak ada kepadatan di jalan protokol sekalipun. Masih suasana lebaran, semua orang sedang berasyik-masyuk di kampung halaman. Sebuah anekdot berbunyi, "Jakarta tidak butuh gubernur cerdas untuk mengatasi persoalan kemacetan. Akan tetapi, Jakarta hanya butuh lebaran. Bayangkan kalau lebaran itu tiap hari?"

Sesampainya di Masjid Raya DKI Jakarta, kami beristirahat dengan  makan mie ayam dan minum es kelapa muda, sembari berkali-kali mendecak kagum melihat bangunan tersebut dari dekat. Bangunan megah itu berdiri di atas lahan seluas belasan hektar. Gaya arsitekturnya sama sekali tidak mirip sebagaimana bangunan masjid pada umumnya. Tapi, dibuat dengan kemiripan seperti rumah adat Betawi, Rumah Kebaya. Lima menara besar yang melingkari bangunan masjid sudah tentu menyimbolkan rukun Islam dan Pancasila. 

Dari situ, saya dapat simpulkan, bahwa bangunan ini dibangun dengan memadukan antara budaya (katakanlah lokalitas kedaerahan) dan agama. Bahwa keduanya harus saling bersinergi. Tidak bisa dipisahkan, apalagi dipertentangkan. Kemudian, terdapat rusunami di dekatnya. Tidak lama lagi akan dibangun rusunawa. Rencananya juga akan dibuatkan lahan pertanian yang hasilnya nanti untuk membantu perekonomian masjid. Asiknya lagi, akses ke dalamnya akan dilalui Bus Transjakarta. 

Di sana, kami berkesempatan salat zuhur dan asar berjamaah dengan pengunjung lainnya. Tak lupa juga, kami berswafoto. Kemudian membuat video ucapan 'selamat hari lahir' untuk "si penista agama" yang telah berhasil merampungkan proyek pembangunan Masjid Raya Provinsi DKI Jakarta. Karena, hampir di setiap daerah, baik kota/kabupaten atau provinsi di Indonesia pasti memiliki masjid sebagai sebuah simbol keberadaban. Bersyukur, DKI Jakarta kini sudah memilikinya.

Gambar ini diambil oleh Nisfu Syawaluddin Tsani saat pembuatan video ucapan untuk Pak Ahok.

Untuk mengetahui video ucapan saya untuk Pak Ahok, silakan klik di sini. Berikut ini transkrip dari ucapan saya dalam video tersebut: 

Assalamu'alaikum wa rahmatullah wa barakatuh

Teman-teman media sosial yang dirahmati Allah.

Rasulullah saw pernah bersabda khoirunnas anfa'uhum linnas. Bahwa sebaik—baik manusia adalah yg bermanfaat bagi manusia yg lain.

Kebermanfaatan seseorang tidak bisa diukur dari gaya bicara retorik yang bernuansa puitik. Bukan pula dari kata—kata penuh intrik. 
Tapi dapat dilihat dari kerja nyata yang dipersembahkan dengan segala ketulusan.

Selamat hari lahir Pak @basukibtp

Masjid Raya KH Hasyim Asyari ini adalah bentuk kebermanfaatan yang telah engkau berikan kepada kami, warga DKI Jakarta.

Dan ini merupakan sebuah kenikmatan yang Allah berikan melalui perantaramu yang mesti disyukuri.

Terima kasih Pak Ahok.

Wassalamu 'alaikum wa rahmatullah wa barakatuh

*****

Gambar ini diambil saat pembuatan video.

Tidak mau kalah, Abang saya pun ikut membuat video. Silakan klik di sini untuk melihatnya. Dan, berikut adalah transkripnya:

Ini bukan soal Ahok. Tapi soal kesetaraan hak seluruh warga negara Indonesia. Ahok terlalu receh untuk dibela mati-matian, dan terlalu kecil untuk didemo jutaan orang. Ahok juga bukanlah malaikat yang tak punya kesalahan. Juga bukan iblis yang tak pernah berbuat baik. Dia sama seperti kita manusia biasa. Yang punya sisi baik dan buruk.

Tapi harus kita akui, Ahok adalah simbol keberanian melawan budaya koruptif para pejabat kita. Ahok juga merupakan simbol kesetaraan. Setara dalam hal apapun, termasuk untuk menjadi pemimpin di negeri ini.

Karena berkat Ahok, kita mulai sadar, bahwa perjuangan menegakkan kesetaraan hak seluruh warga negara Indonesia, tak peduli apa agama, suku, dan rasnya, belumlah usai. Bahkan, baru saja dimulai.

Berkat Ahok pula, kita menjadi paham, bahwa memberantas budaya korup di negeri ini tidaklah mudah. Hanya orang-orang yang mempunyai keberanian luar biasa dan nyali yang besar yang mampu melakukannya.

Berkat Ahok, kita kembali terbangun dari tidur. Bahwa keberagaman yang menjadi kekuatan bangsa kita, sedang dirobek-robek oleh mereka, para politisi busuk, dengan cara menunggangi kaum intoleran agar bisa menjadi penguasa di bumi nusantara.

Berkat Ahok kita disadarkan, kalau perjuangan kita masih amatlah panjang.. Kita harus mempunyai semangat dan tekad yang kuat untuk memperjuangan gagasan kesetaraan dan keberagaman ini. Gusdur sudah memulainya. Dan kita tinggal melanjutkan perjuangannya.

Selamat ulang tahun Bapak Basuki Tjahaja Purnama yang ke--51.


*****

Usai membuat video itu, kami bergegas ke arah Utara. Menziarahi ulama Betawi. Yakni, Mbah Priuk. Di tengah perjalanan dari Masjid KH Hasyim Asy'ari ke Makam Mbah Priuk, kami melewati Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) Kalijodo. Saya takjub. Karena tempat itu ramai bukan main. Menjadi tempat ibu-ibu untuk mengasuh putra-putri agar tak sembarang dalam bermain sehingga jauh dari pantauan. Anak-anak kecil terlihat berlarian. Ibu-ibu memegang mangkuk plastik berisi nasi dengan siraman kuah sayur. Ada juga yang berpakaian rapi. Seperti pengunjung dari luar kota.

Lagi, saya menemukan bahwa suasana lalulintas Ibukota dalam suasana lebaran sangat lengang. Dalam perjalanan itu, hanya sekali saya menemukan kepadatan di wilayah sekitar wisata Kota Tua. Setelahnya, sudah tidak ada lagi kemacetan. Lancar. Yakin saya, walau sudah tidak suasana lebaran, kemacetan di sekitar Makam Mbah Priuk, terminal dan pelabuhan Tanjung Priuk, dan Jl Cakung-Cilincing (Cacing) Jakarta Utara, lalulintas sudah tidak terlalu macet dan semrawut seperti beberapa tahun kemarin. Hal tersebut karena sudah berfungsinya jalan tol dari Tanjung Priuk, Cilincing, hingga Cakung.

Saat tiba di lokasi Gubah Al-Haddad, kami beristirahat sebentar. Sekitar 5-10 menit. Menikmati suara seorang habaib bersama jamaahnya sedang membaca maulid nabi. "Kayaknya suara kaset deh, tapi asik banget. Berasa di pesantren," batinku ketika itu. 

Kami berdua, kemudian, tahlilan di depan Makam Mbah Priuk beserta keluarganya. Mengirim doa dan sekaligus mengharap didoakan kembali. Memanjatkan doa dan harapan kepada Allah dengan melalui perantara (tawassul) orang saleh, akan mudah cepat sampai daripada tanpa perantara. "Sebagaimana ingin bertemu presiden, agar cepat sampai, kita mesti punya kenalan orang dalem," begitu anekdot yang sering dikelakarkan orang NU.

Prasasti peresmian Gubah Al-Haddad sebagai cagar budaya di bawah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Diresmikan oleh Gubernur Basuki Tjahaja Purnama pada 4 Maret 2017.

Pada 14 April 2010, dari layar kaca yang ada di salah satu warung kopi di Pondok Buntet Pesantren Cirebon, saya melihat lautan manusia pertikaian antara Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol-PP) dengan umat Islam; berpakaian putih-putih. Kedua kelompok itu sama-sama memperjuangkan kebenaran. Satpol-PP memperjuangkan kebenaran sekaligus menjalankan tugas dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Saat itu, Fauzi Bowo yang menjabat sebagai gubernur. 

Berita mengenai peristiwa berdarah itu, silakan anda googling sendiri. Karena saya, yang hanya menyaksikan dari layar kaca, merasakan betapa pedihnya umat Islam kala itu. Mereka memperjuangkan agar Makam Keramat Mbah Priuk jangan sampai digusur atau ditiadakan. Sementara Pemprov DKI, ketika itu, melakukan upaya propaganda dengan mengatakan bahwa di sana sudah tidak ada jasad Mbah Priuk. Pemprov DKI pun membuat buku tentang ketiadaan jasad Mbah Priuk di tempat yang saat ini dijadikan cagar budaya oleh Pak Ahok.

Kini, umat Islam Ahlussunnah Wal Jama'ah dapat berkunjung ke sana. Mengharap berkah dari orang saleh, berdoa kepada Allah dengan bertawassul kepada habaib dan ulama merupakan sakralitas yang mesti dilestarikan. Karena tanpa orang-orang saleh, kita tidak akan bisa sampai kepada Rasulullah dan Allah. Atas kebijakan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dengan meresmikan Gubah Al-Haddad sebagai cagar budaya, maka jelas "si penista agama" itu pro terhadap umat Islam, ulama, dan habaib.

Sekira jam setengah 6, usai membacakan tahlil, tahmid, takbir, dan berdoa, kami pulang. Memperingati hari lahir Pak Ahok dengan cara sederhana cukup menyenangkan, rupanya. Meski saya tahu, Pak Ahok tidak kenal saya dan Abang saya, Nisfu Syawaluddin Tsani. Dari Mako Brimob, Pak Ahok membalas ucapan, harapan, dan doa dengan cara yang juga sangat sederhana. Dia menulis kata-kata di secarik kertas.


Saya ambil dari akun Instagram @basukibtp

Dari tulisan di atas. Satu hal yang ingin saya sampaikan adalah bahwa orang-orang baik di mana pun, selalu berusaha dikalahkan oleh kekuatan jahat. Bung Karno, Bung Hatta, dan Tan Malaka, misalnya. Mereka semua berusaha berjuang agar Indonesia lebih bermartabat, tapi justru dikalahkan oleh kepentingan politik. Kemudian, yang perlu menjadi pelajaran penting Pak Ahok adalah dengan berusaha mengubah gaya bicara. Sebab, kalau tidak demikian, dia akan terus diserang dengan alasan yang seperti itu. 

Dan, seperti yang diutarakan Mpu Tantular dalam Kitab Sutasoma jauh-jauh hari, "Tan Hana Dharma Mangrwa", suatu saat Allah akan menunjukkan kebenaran yang sebenar-benarnya.

Dari tulisan ini pula, saya ucapkan selamat ulangtahun kepada Bang Sandiaga Uno pada sehari sebelum Pak Ahok ulangtahun.

Juga, salam rindu untuk Al-Mukarrom Al-Habib Muhammad Rizieq Shihab. Sebab orang saleh nan baik tidak akan gentar melawan apa pun yang berada di hadapannya. 

Ahok Hilang, Karya Terbilang. 



Wallahu A'lam



Bekasi, 30 Juni 2017



Aru Elgete
Warga Bekasi yang masih ber-KTP DKI Jakarta.
Previous Post
Next Post

0 komentar: