Jumat, 09 Juni 2017

Kebenaran vs Kebenaran


Ilustrasi. Sumber: kalpos.prokal.co

Akhir-akhir ini, Amat sibuk. Menghadiri undangan bukber dan diskusi hingga larut malam. Dia kini menjadi aktif. Aktivis maksudnya. Aktif di mana-mana. Baginya, gerak yang membawa manfaat akan menciptakan keberkahan bagi semesta kehidupannya. Belum lama ini, Amat menjadi penceramah di salah satu rumah yatim saat komunitasnya mengadakan "wisata iba" (mengunjungi dan menyantuni anak yatim-piatu).

Dia jarang sekali di rumah. Ramadhan sudah dua pekan. Di pekan kedua ini, Amat sering absen dari tugasnya sebagai remaja musala. Dia lebih memilih untuk terjun langsung ke lapangan daripada hanya cuap-cuap tidak jelas dari atas mimbar. Amat giat menyambangi beberapa tokoh penting di daerahnya, seperti anggota DPRD, ketua fraksi, akademisi, pakar, pekerja seni, wartawan, dan bahkan ulama. Semuanya diajak diskusi dari mulai buka puasa hingga waktu menjelang sahur. 

Sesuatu yang dibincangkan, tak lain, mengenai kondisi bangsa dan negara saat ini. Amat selalu resah melihat potret kehidupan manusia Indonesia kekinian. Terlebih dengan bumbu pedas perkelahian, cibiran, ujaran kebencian, dan fitnah yang berlebihan. Setiap orang seperti sedang memperjuangkan kebenarannya dengan cara mengalahkan yang lain. Walhasil, yang dicari-cari adalah kesalahan, sekalipun dengan mengatasnamakan kebenaran. 

Bangsa Indonesia sudah terpecah sejak dalam pikiran. Memandang buruk terhadap siapa pun yang berbeda. Parahnya, menganggap musuh setiap orang yang tidak sejalan-sepemikiran dengannya. Kita sudah sampai ke tahap itu. Hanya tinggal menunggu ledakan. Sebab percikan api permusuhan sudah terlihat jelas di depan mata. Sesuatu yang kalau dibiarkan akan berdampak pada terbakarnya nilai kebangsaan. Bahkan, sampai hangus dan menjadi abu. 

Kurang lebih seperti itu yang dibahas oleh Amat acapkali bertemu dan berbincang dengan para tokoh.

Namun, nasib berkata lain. Amat justru tidak mendapat jawaban yang serius dari para tokoh yang dia sambangi itu. Mereka justru seperti meledek Amat, menganggap bahwa dirinya masih di bawah umur untuk mengetahui permasalahan global. Bahkan, Amat dianggap gila saat ingin mencari solusi alternatif untuk mengobati kegilaan manusia Indonesia saat ini. Barangkali karena dia masih semester 2 dan kuliah di perguruan tinggi swasta di sebuah kota yang tidak megah. Dia sering dikecilkan.

Tarawih malam ke-14, dia salat berjamaah di musala dekat rumahnya. Kehadirannya bukan tanpa sebab. Tapi, Amat sudah tahu bahwa jadwal penceramah kali ini adalah seorang kiai karismatik yang ada di lingkungannya. KH Mohammad Nurul Yaqin, namanya.  Akrab diundang dengan sebutan Mbah Nung. Nah, Amat tak ingin meninggalkan kesempatan emas. Membincang persoalan keumatan dengan tokoh agama yang berafiliasi kepada ormas Islam terbesar dan moderat di Indonesia, itu, merupakan kunci untuk mencari solusi atas permasalahan bangsa. 

Usai tarawih, seperti biasa, Amat ikut nimbrung. Melingkar bersama beberapa pengurus musala dan tentu saja Mbah Nung. Amat mengenal kiai yang tidak punya massa ini (karena memang beliau menghindari pengkultusan) sudah sejak lama. Tepatnya saat dirinya baru pertama kali menjadi jamaah musala. Kurang lebih pada pertengahan 2013. Mbah Nung dikenal dengan seorang kiai nyentrik yang selalu menggunakan penutup kepala ala Sunan Kalijaga, baju koko dan sarung yang selalu berwarna hitam. Selain itu, beliau dikenal karena ceramahnya yang sangat menyejukkan.

"Jadi, Mat, persoalan kita saat ini sudah sangat semrawut. Kita sudah terbiasa dengan kata-kata sindiran yang menyakitkan, dengan kalimat yang bisa membunuh karakter orang, dan parahnya kita senang mencari-cari kesalahan orang lain. Kita sudah sampai pada persoalan kalah-menang. Sebuah fenomena paling rendah, bahkan hina, bagi kehidupan manusia," jelas Mbah Nung kepada Amat, usai salat tarawih. 

Dengan saksama, Amat memperhatikan.

"Masing-masing orang, kelompok, ormas, partai, agama, memiliki kebenarannya sendiri. Itu sudah pasti. Tapi, bukan soal kebenaran yang sedang kita permasalahkan. Melainkan soal bagaimana cara kita untuk menyampaikan kebenaran itu dengan baik. Maksud saya output-nya harus baik, arif, dan bijaksana. Karena manusia diciptakan untuk mencari kemuliaan diri."

Melihat Amat kebingungan, Mbah Nung memberi analogi.

"Seperti warung padang, misalnya. Setiap koki di masing-masing warung padang, pasti memiliki resep yang berbeda. Nah, mereka itu berhak atas kebenaran resep dan tata masak versi mereka. Kebenaran itu, mereka simpan di belakang. Di tempat yang tidak bisa dilihat oleh orang lain. Kemudian sajian sayur, nasi, lauk-pauk dengan sangat baik, agar orang lain menjadi tertarik. Namun, apa jadinya ketika kebenaran itu ditaruh di depan?"

"Maksudnya, Kiai?"

"Begini, Mat. Saat ini, bangsa Indonesia sedang sibuk mencari 'siapa yang salah dan siapa yang benar'. Itu karena dalam kehidupan, masing-masing orang dengan bangga mempertontonkan kebenaran versi sendiri. Kemudian memaksa orang lain untuk memahami kebenarannya. Parahnya, memaksa agar membenarkan kebenaran itu. Padahal orang lain pun memiliki kebenarannya sendiri. Maka, yang seharusnya dicari bukanlah 'siapa yang salah dan siapa yang benar'  tapi 'apa' yang salah dan apa yang benar'. Kita harus mencari nilai, bukan mencari manusianya. Kita mesti tahu objek dan mana subjek."

"Karena," lanjut Mbah Nung, "di dalam diri saya pasti terdapat kebenaran dan sekaligus kesalahan. Di diri kamu juga ada kebenaran dan sekaligus kesalahan. Nah, kalau kebenaran itu menjadi dapur, kemudian kita menyajikan kebenaran versi diri kita dengan kearifan, kebijaksanaan, dan kebaikan, maka yang akan muncul adalah kemuliaan kita sebagai bangsa. Insya Allah bangsa kita menjadi bangsa yang bermartabat."

"Jadi, maksud Mbah Nung saat ini kita sedang dipertontonkan secara langsung sebuah adegan pertarungan antar-kebenaran? Dan, hal yang harus kita lakukan adalah mempertahankan kebenaran dengan menyajikan kearifan dan kebijaksanaan kepada orang lain. Bukan dengan membentur-benturkan kebenaran seolah kebenaran hanya milik sendiri, milik sekelompok ormas, partai, dan lain sebagainya. Begitu, Mbah?"

"Betul."

"Nah, terus gimana pendapat Mbah Nung mengenai Pengarah dan Kepala Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP PIP) yang beberapa waktu lalu baru dilantik oleh Presiden Jokowi?"

"Kita bahas di pertemuan selanjutnya. Kamu pelajari dulu."

Kemudian, Mbah Nung pamit pulang dengan alasan isi bensin (makan malam). Amat dan beberapa orang lainnya mengiyakan. Amat berdiri dan segera tabarrukan dengan mencium punggung tangan Mbah Nung. Amat tidak peduli dengan cibiran Khalid Basalamah yang mengatakan bahwa ngalap berkah itu pekerjaan yang sia-sia.

Amat mengantar Mbah Nung sampai depan pintu musala dan Mbah Nung pulang dengan mengendarai motor matic berwarna merah.




Wallahu A'lam



Jumat, 14 Ramadhan 1438



Aru Elgete
Mahasiswa Jurnalistik Unisma Bekasi 
Previous Post
Next Post

0 komentar: