Rabu, 29 Maret 2017

Akankah Nafsu Kebencian Mewarnai Rajab?


Ilustrasi. Sumber: duajadisatu.com

Rajab sudah tiba. Salah satu bulan yang istimewa, selain Muharram, Sya'ban, dan Ramadhan. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa ibadah di Bulan Rajab akan mendapat ganjaran yang besar. Pesan berantai pun bermunculan. Entah sekadar membagikan atau dilakukan, dikembalikan lagi ke diri masing-masing.

Di sisi lain, kondisi sosial-keagamaan masih terus bergejolak di negeri ini. Agama merambah ke permukaan. Bahkan, menjadi barang dagangan terlaris di semester pertama 2017. Politik kian menjadi-jadi. Agama pun terseret-seret. Masuk ke dalam. Menjadi retorika politik. Pelicin, sekaligus penghambat berpikir dan kedewasaan laku.

Dengar kabar,  di pengujung Maret akan ada aksi bela Islam. Atas nama Forum Umat Islam (FUI), mereka siap menyerbu kantor wakil rakyat. Tanggal dan harinya dibuat unik agar mudah diingat. Rencananya, 31 Maret. Disingkat menjadi 313. Inti tuntutannya hanya satu; penjarakan si penista agama; Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, yang disebut-sebut sebagai Fir'aun di zaman modern.

Berbagai isu telah lama dikembangkan. Mulai dari cina, komunis, hingga pelarangan mengurus jenazah pendukung Ahok, terus dikemukakan. Tujuannya agar DKI Jakarta memiliki pelayan baru. Maaf, maksudku penguasa baru. Ah, Aku sudah lama tak memperdulikan perseteruan murahan seperti itu. Siapa pun gubernurnya, tidak terlalu menjadi persoalan bagiku. Yang menjadi persoalan adalah saat orang-orang di akar rumput terbakar oleh nafsu kebencian hanya karena perbedaan pilihan. 

Oke, itu kan di Ibukota. Lalu, bagaimana dengan Jawa Barat (Jabar)? Setahun lagi, akan diselenggarakan pesta demokrasi. Muhammad Ridwan Kamil (MRK) dan Dedi Mulyadi (DM) sudah digadang-gadang menjadi pemimpin selanjutnya. Isu yang dikembangkan, lagi-lagi itu; agama, yang disebut oleh Ki Ageng Suryomentaram sebagai "Ageming Aji". Walikota Bandung itu, MRK, dianggap sebagai penganut Syi'ah. Sementara DM, Bupati Purwakarta, diklaim pengikut ajaran Sunda Wiwitan.

Kasihan, orang awam. Mereka diberi asupan kebencian setiap hari. Terdoktrinasi oleh amarah atas perbedaan. Memangnya siapa sih yang awalnya menyebar isu kalau MRK Syi'ah dan DM Sunda Wiwitan? Pasti kan, menurutku, pelakunya itu-itu lagi. Memangnya sudah tahu secara pasti kalau mereka berdua seperti itu? Atau, memangnya ada masalah kalau calon gubernur Jabar itu penganut Syi'ah dan Sunda Wiwitan? Ada masalah dengan agama? 

Sepertinya, fitnah dan ujaran kebencian sudah mendarah-daging bagi pelaku politik di negeri ini. Barangkali itu, yang dikhawatirkan oleh Hatta jauh-jauh hari. Bahwa Liberalisasi politik akan memecah-belah anak bangsa. Dulu, pendamping Soekarno itu sudah memiliki gagasan, sistem demokrasi kita ini memiliki khas tersendiri. Mengadopsi konsensus Piagam Madinah, Sosialisme Barat, dan kearifan lokal yang terus dipertahankan. Itu yang disebut sebagai Demokrasi Kerakyatan.

Kembali ke Rajab. Akankah bulan istimewa dalam sejarah Islam ini akan ternoda oleh nafsu kebencian? Mungkinkah amarah yang membabi-buta kembali mengemuka? Atas nama agama, segalanya pasti tercipta. Agama sudah menjadi candu, rupanya. Lho? Mau marah? Bukankah dalam agama dan keyakinan kita pasti memiliki candu? Kadar adiksi yang berlebihan, tentu akan membuat seorang tak sadar diri. Kurang lebih hampir sama dengan garam, gula, rokok, dan kopi. Kalau berlebihan tak baik. Secukupnya saja.

Tuhan tidak suka dengan orang yang berlebihan, kan? Lalu, kenapa selalu berlaku lebih atas nama agama? Kalau mau dilebihkan, kenapa tidak komunikasi kepada Tuhan saja yang ditonjolkan? Kemudian dari situ akan terkristal menjadi sebuah kebaikan pada sesama makhluk. Sudah lupa bagaimana Muhammad Putra Abdullah menyusun konstitusi di negeri madani? Di negeri yang berkeadaban. Di negeri yang ketenteraman tercipta.

Mari lakukan introspeksi. Perbanyaklah ibadah ritual, tapi jangan meninggalkan ibadah sosial. Lebih giatlah mendekat pada Pemilik Jiwa, tapi juga jangan lupa bahwa ada jiwa-jiwa yang masih perlu dididik, bukan dihardik. Masih banyak jiwa yang mesti diayomi, bukan dihakimi. "Apakah kamu tidak berpikir?" Begitu firman Tuhan dalam kitab suci.

Pemaksaan kehendak menjadi gaya baru dalam beragama, kini. Semua orang, mungkin lupa, bahwa Tuhan pernah mewanti-wanti Nabi, "fadzakkir, innamaa anta mudzakkir, lasta 'alaihim bi mushoitir." Bahkan, dia sendiri pernah mengatakan, "innamaa bu'itstu li utammima makarima-l-akhlaq." Sudah jelas kan? 

Dalam kitab suci pun sudah terkonfirmasi bahwa perilaku Kanjeng Muhammad di atas kemuliaan. Tidakkah, kita mencontohnya? Sebagai umatnya, bukankah sangat mulia jika kita meneladani perilaku kerasulannya? Tidak secara keseluruhan. Minimal, santun dalam bertutur, sopan saat berlaku, dan menawarkan wajah yang berseri-seri. Meninggalkan kebencian sekaligus meniscayakan kebahagiaan karena membawa cinta-kasih pada sesama.

Yuk, kita sama-sama songsong Ramadhan yang terhitung tinggal 2 bulan lagi dengan ibadah ritual dan sosial yang seiring-sejalan. Melakukan muhasabah, dialog pada diri sendiri. Sudahkah menjadi seorang manusia, hamba, dan umat yang mampu menebar kebaikan dan manfaat di muka bumi? Sehingga kebaikan itu akan mengantarkan pada keridhoan Tuhan agar berkenan menemui kita di hari kemudian.

Sudahlah. Jangan terlalu banyak membenci. Bersikap kritis, silakan. TapI dengan membangun, bukan menjatuhkan. Silakan laksanakan ibadah sesuai kepercayaan. Semoga menjadi niscaya kekristalan yang berbuah keistimewaan bagi kehidupan peradaban anak manusia. Cukupkan kebencian di Rajab. Maafkan lahir batin. Semoga diterima segala amal ibadah hingga Ramadhan nanti.

Allahumma baarik lanaa fii rajaba, wa sya'bana, wa balighna ramadhaaan.

Wallahu A'lam.


Bekasi Utara, 29 Maret 2017



Aru Elgete
Previous Post
Next Post

0 komentar: