Ilustrasi. |
Pada suatu ketika, seorang aktivis lintas iman, perempuan tangguh yang saya kenal di ICRP Jakarta, namanya Gayatri Muthari, sedang berjalan-jalan di Tehran, Iran. Seperti biasa, dia tidak mengenakan kerudung, yang oleh sebagian muslim kekinian, dianggap sebagai bagian dari syariat Islam.
Dua orang perempuan, bercadar dan berkerudung, bertanya kepada Gayatri soal mengapa dirinya tidak mengenakan kerudung, sesuai peraturan di situ.
"Bukankah perempuan itu auratnya adalah kecuali wajah dan telapak tangannya?"
Sedangkan yang lainnya berkata bahwa kemben yang ketika itu dipakai oleh Gayatri sebagai sesuatu yang tidak menutup aurat.
Namun, seorang temannya dari Sotoudeh dan Alinejad datang dan kemudian berkata kepada Gayatri: "Kemben adalah busana sesuai imannya. Bukankah Islam menjamin kebebasan seseorang menjalani imannya? Kemben adalah busana sakral bagi perempuan Jawa."
Tak lama, Gayatri pun menimpali dengan pernyataan retoris yang agak panjang. Sementara teman-temannya memerhatikan dengan saksama.
"Dulu, perempuan Jawa – dan sepertinya kebanyakan perempuan Nusantara – tidak diajarkan agar 'melindungi' para pria. Orang-orang dari sebelah Barat wilayah kepulauan kami telah mengklaim tata krama adat mereka sebagai hukum agama dan perintah Tuhan YME, dan mengajarkan agar para perempuan Nusantara 'melindungi' laki-laki dari mengumbar syahwatnya, sehingga kami harus menutupi kepala, rambut, leher, bahu, bahkan kemudian wajah, hampir terus-menerus. Ini karena di negeri-negeri mereka sana, para pendatang itu tidak biasa melihat bahu, belahan dada bahkan payudara perempuan yang menonjol. Bagi mereka itu jika dibuka berarti untuk memikat lelaki, untuk ditelanjangi dan ditiduri."
Lalu, perempuan bercadar tadi mengingatkannya, dengan kalimat yang bernada menasihati.
"Laki-laki begitu lemah, Ukhti, mereka tidak akan tahan melihatmu memperlihatkan rambut, leher dan telinga, apalagi bahu, betis, paha, dan bahkan belahan dada dan bentuk buah dadamu. Jadi, kita harus melindungi mereka agar mereka tidak melecehkan kita, memperkosa kita, atau melakukan masturbasi sambil mengingat tubuh kita. Maaf. Hanya sekadar mengingatkan."
Begitulah, Gayatri menyimpulkan, ajaran orang-orang dari sebelah Barat Nusantara. Kata mereka, memperlihatkan bahu dan rambut serta membiarkan dada tetap menonjol, merupakan cara berbusana amoral dan tidak berakhlak mulia. Tidak sesuai perintah Tuhan YME.
"Tetapi, kemudian, pria-pria tetap menyentuh payudaraku dan meremas-remasnya, di ruang publik, ketika aku mengenakan jilbab sangat panjang dan baju kurung labuh. Mereka bersiul-siul melakukan catcall padaku saat aku berjalan seorang diri di tengah mereka," kata Gayatri bercerita masa lalu.
Dia melanjutkan, "Aku pernah bertemu perempuan berpakaian serba tertutup seperti aku yang diperkosa saat duduk di kelas 1 SMA di tempat dia kos, oleh induk semangnya yang seharusnya menjadi orangtua penggantinya. Dia harus merantau dari desa untuk melanjutkan SMA, tetapi mengalami hal ini... Dan, dia dipukul oleh ibunya karena hal itu terjadi, karena ibunya begitu malu...."
Perempuan itu tetap salah, bagaimana pun juga, jika sampai dilecehkan atau diperkosa, entah karena busananya, caranya memandang pria, karena tersenyum, atau suaranya saat bicara.
Dan, adalah tugas para wanita untuk melindungi pria dari tidak melihat bagian-bagian tubuh mereka sendiri supaya kaum lelaki tidak melakukan pelecehan, perkosaan atau masturbasi setelah melihatnya, atau mendengar suaranya.
"Karena, jika sampai lelaki melakukannya, itu salah perempuan. Salah perempuan karena tidak melindungi laki-laki. Ya. Salah perempuan karena tidak melindungi laki-laki," kata Gayatri, dengan kalimat bermajas ironi.
Maka, berkemben itu menutup aurat. Begitulah menurut Gayatri yang mengimani kearifan Yesus, Maria, Muhammad, Ali dan Fatimah. Karena aurat adalah bagian kemaluan seorang manusia. Dan, perempuan-perempuan berkemben itu menutupi kemaluan mereka.
Kemben yang mereka kenakan, kata Gayatri, menyisakan setidaknya 20% bagian tubuh yang dapat terpapar matahari sekian waktu selama melakukan aktivitas di luar ruangan, cara berbusana di bawah sinar mentari pada jam-jam tertentu yang diperlukan untuk memperoleh vitamin D yang dibutuhkan tubuh.
Menurut Matthias Wacker dan Michael F Hollicks, demikian yang dikutip oleh Gayatri, bahwa mengenakan pakaian yang terbuka (lebih dari 20%) bertujuan agar tubuh dapat terpapar sinar matahari dan memperoleh UVB, dalam sekian waktu, dan pada jam-jam tertentu, supaya tercapai sampai 0,5 MED, setara dengan menelan 7000-10000 IU vitamin D2, yang diperlukan untuk terhasilkannya vitamin D3.
Maka, berkemben itu menutup aurat. Begitulah menurut Gayatri yang mengimani kearifan Yesus, Maria, Muhammad, Ali dan Fatimah. Karena aurat adalah bagian kemaluan seorang manusia. Dan, perempuan-perempuan berkemben itu menutupi kemaluan mereka.
Kemben yang mereka kenakan, kata Gayatri, menyisakan setidaknya 20% bagian tubuh yang dapat terpapar matahari sekian waktu selama melakukan aktivitas di luar ruangan, cara berbusana di bawah sinar mentari pada jam-jam tertentu yang diperlukan untuk memperoleh vitamin D yang dibutuhkan tubuh.
Menurut Matthias Wacker dan Michael F Hollicks, demikian yang dikutip oleh Gayatri, bahwa mengenakan pakaian yang terbuka (lebih dari 20%) bertujuan agar tubuh dapat terpapar sinar matahari dan memperoleh UVB, dalam sekian waktu, dan pada jam-jam tertentu, supaya tercapai sampai 0,5 MED, setara dengan menelan 7000-10000 IU vitamin D2, yang diperlukan untuk terhasilkannya vitamin D3.
Tulisan di atas disadur dari Facebook Gayatri Muthari. klik di sini.
0 komentar: