Senin, 29 Juli 2019

Dialog Toleransi (Part 3): Sosok Nabi Muhammad dan Persaudaraan Kemanusiaan


Foto bareng Gusdurian Bekasi Raya dan Jemaat GKP Seroja Bekasi Utara

Usai bercerita tentang Gus Dur yang mampu mengejawantahkan sikap ta'aruf itu, saya langsung masuk ke pembahasan inti. Yaitu mengenalkan konsep Islam ramah yang dibawa oleh Nabi Muhammad: sosok sentral bagi umat Islam.

"Nabi Muhammad itu adalah tokoh yang membawa Islam, yang mendapat wahyu dari Allah melalui malaikat Jibril. Tapi, Nabi Muhammadi ini lebih dekat dengan Tuhan ketimbang Yesus. Kalau Yesus itu disebut sebagai anak, Nabi Muhammad diberi gelar sebagai kekasih," ungkap saya memecah suasana, dan disambut tawa gemuruh dari Jemaat GKP Seroja Bekasi Utara.

Dalam perjalanan dakwahnya menyebarkan Islam, Nabi Muhammad mengalami masa hijrah dari Mekkah ke Madinah. Nah, di Madinah itu, Nabi telah berhasil menyatukan umat manusia yang berbeda-beda latar belakang, menjadi satu kesatuan atas dasar kemanusiaan.

Untuk mengikat masyarakat Yatsrib (nama sebelum Madinah), Nabi membuat sebuah perjanjian yang menjadi landasan konstitusional untuk hidup bersama-sama. Dasar hukum itu diberi nama Piagam Madinah. 

Hal menarik dari konsensus yang dibuat Nabi itu adalah tidak ada term kafir yang berimplikasi menjadikan umat agama selain Islam sebagai warga negara kelas dua. Artinya, jauh sebelum konsep demokrasi ada, Nabi telah menciptakan sebuah tatanan masyarakat dengan konsep kewargaan (citizenship) tanpa kelas dan sekat.

Nah, saya menjelaskan lagi, beberapa kiai-kiai dari kalangan Nahdlatul Ulama mengatakan bahwa Piagam Madinah itulah yang menjadi cikal-bakal dari dasar negara Indonesia Merdeka, yakni Pancasila, yang sebelumnya disebut sebagai Piagam Jakarta.

Sementara saya menjelaskan hal-hal yang serius itu, mata saya fokus menyapu pandangan dari anak didik dan Jemaat GKP Seroja lainnya yang rupanya tengah antusias mendengarkan penjelasan saya. 

Kemudian, saya mengalihkan pembicaraan dengan menganalogikan bahwa simbol salib yang berbentuk vertikal dipadukan dengan horizontal itu merupakan sebuah nilai yang terkandung dalam ajaran agama kita: Islam dan Kristen. 

Di Islam, akrab didengar dengan hablumminallah (hubungan kepada Allah) atau komunikasi vertikal, dan hablumminannas (hubungan kepada sesama manusia) atau komunikasi horizontal. Keduanya harus diseimbangkan agar hidup senantiasa mendapat ketenteraman. 

Sedangkan dalam Alkitab, ada hukum tertinggi yang pernah disabdakan oleh Yesus. Yakni: "Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dan dengan akal budimu (vertikal). Kemudian, kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri (horizontal)."

Mereka, anak didik Pendeta Suluh yang masih unyu-unyu itu mengangguk tanda paham. Saya bersyukur, alhamdulillah, seraya berharap bahwa keimanan kami semoga menjadi semakin dewasa dan lapang hati menerima perbedaan.

Maka itu, untuk menguatkan rasa persatuan kami dan memberikan stimulus soal semangat mengelola persaudaraan, saya menyampaikan konsep tri ukhuwah (tiga model persaudaraan) yang pernah dicetuskan oleh seorang kiai NU, KH Ahmad Shiddiq.

Baca juga: Dialog Toleransi (Part 2): Salam dan Ta'aruf

Pertama, tentu saja, sebagai muslim, Kiai Ahmad Shiddiq menekankan bahwa pentingnya memperkuat ukhuwah Islamiyah. Sebuah persaudaraan internal agar Islam mampu kokoh dan menjadi agama yang benar-benar rahmatan lil alamin, yang dimulai dari menjaga hubungan ke dalam. 

Kedua, ukhuwah wathoniyah. Yakni persaudaraan sesama warganegara. Bahwa dalam negara Indonesia, kita mesti meniadakan latar belakang atau kemelekatan kita, apa pun itu, selain sebagai sesama warganegara dan anak bangsa. Karenanya, persaudaraan ini mesti dilestarikan agar Indonesia tetap kokoh berdiri meski dengan ragam perbedaan.

Gus Dur pernah mengungkapkan, "Indonesia ada karena perbedaan." Bahkan, lebih tegas beliau juga mengatakan, "Tidak penting apa pun agama atau sukumu. Selama engkau bisa berbuat baik kepada siapa saja, orang lain tidak akan pernah bertanya apa agamamu dan apa sukumu."

Ketiga, ukhuwah insaniyah (persaudaraan kemanusiaan). Inilah konsep persaudaraan yang paling universal, yang ditawarkan oleh NU sebagai implementasi dari amanat UUD 1945, yakni menciptakan perdamaian dunia. Jangan sampai ada penjajahan di muka bumi ini, yang menghancurkan rasa kemanusiaan, sehingga kemerdekaan menjadi hak segala bangsa. 

Kemudian, saya bertanya kepada mereka yang sedari tadi tetap fokus memperhatikan tiap kata yang saya ucapkan. "Kalian pernah dengar sekelompok umat Islam yang suka teriak-teriak Allahuakbar dan tak jarang berbuat anarki?"

Mereka menjawab dan sekaligus bertanya, "Pernah. Memangnya mereka itu siapa?"

"Sebagai bagian dari umat Islam, saya mohon dibukakan pintu maaf yang sebesar-besarnya kalau kalian, umat Kristen, merasa terganggu lantaran sikap saudara saya itu yang dirasa meresahkan. Walau bagaimana pun juga, mereka adalah saudara seiman saya. Saya mohon maaf," kata saya dan mereka memaklumi.

Saya kemudian menjelaskan tentang pemaknaan kalimat Allahuakbar dalam Islam. Bagi saya, pengucapan itu seharusnya dibarengi rasa dengan rasa kecil di hadapan Allah. Bukan justru merasa besar.

"Itu keliru," kata saya, untuk tidak mengatakan yang dilakukan kelompok Islam itu sebagai perbuatan yang salah.

Saya bercerita, bahwa kiai saya di pondok pernah mencontohkan pelafalan Allahuakbar yang kemudian dibarengi rasa merasa kecil di hadapan Allah. Hal tersebut selalu dilakukan oleh kiai saya ketika ingin mendudukkan tubuh. Dengan sangat lirih dan bahkan hampir tak terdengar, beliau kerap mengucap Allahuakbar

Maka sesungguhnya, Allah tidak perlu dibela karena kemahakuasaan-Nya yang tak bisa tertandingi. Analoginya, seorang pembela jelas lebih punya kuasa ketimbang objek yang dibela. Kalau begitu, apakah kita merasa lebih besar dengan membela Allah? Mengapa menyebut diri sebagai pembela Allah tapi di waktu yang sama justru menghancurkan tatanan masyarakat yang ada?

Apakah Allah sebagai pencipta semesta ini tidak marah saat kebesaran-Nya dibawa-bawa dan sekaligus sesuatu yang Dia ciptakan itu dihancurkan? Saya memberi permisalan, jika kita memiliki sebuah karya; buku misalnya, apakah kita tidak marah saat buku karya kita itu disobek, dibakar, dan dihancurkan di depan mata kepala kita sendiri? Tentu saja kita marah, kan? Kalau demikian, bagaimana dengan Allah?

Oleh sebab itu, Gus Dur selalu mencintai manusia atas dasar kemanusiaannya, bukan dari latar belakang atau kemelekatan apa pun. Gus Dur akan merasa sangat berdosa jika menyakiti hati dan perasaan manusia, karena jika ada hati manusia yang tergores itu berarti sama saja dia sedang menyakiti Tuhan.

Maka dalam sebuah hadits, diungkapkan oleh Nabi Muhammad, Islam atau muslim itu adalah yang mampu menyelamatkan manusia lainnya dari bahaya tangan dan lidahnya. Memang, harus kita akui bahwa kedua bagian tubuh inilah yang seringkali digunakan untuk menyakiti hati sesama. Bukan begitu?

Kemudian saya bertanya lagi kepada Jemaat GKP Seroja yang sedang asyik mendengar penjelasan saya mengenai Islam. "Apakah kalian pernah melihat ada kibaran bendera hitam dan putih bertuliskan huruf arab?"

Serentak mereka langsung bertanya, "Memang itu apa sih?"

Bersambung...
Previous Post
Next Post

0 komentar: