Senin, 01 Februari 2016

Begini caraku berpikir

Ada beberapa hal yang membuatku tergelitik, ini tentang dinamika kehidupan manusia. Silih berganti saling mengganti, apa pun itu. Menjadi benci karena dicaci, bertambah cinta karena puja-puji yang membabi-buta, atau menjadi buta karena menanti puja-puji. Sungguh, aku tak bermaksud menilai manusia, bukan juga maksudku bersesat pikir dalam sudut pandangku. Aku justru ingin mengajak pembaca berpikir kritis, bahwa segala penilaian yang didapat dari orang lain bukan hal yang bersifat abadi, itu hanya sementara, manusia selalu menjadi makhluk yang bimbang karena pola pikir dan sudut pandangnya.
Manusia -sebut saja kita- seringkali menilai manusia lain hanya berdasar satu sisi, padahal Gusti Pangeran Ingkang Mboten Sare itu memberi banyak kelebihan di dalam diri manusia, dan tak terkecuali pula, ada kekurangannya. Misteri soal pemberian-Nya untuk manusia itu, menurutku, karena Dia menginginkan manusia mempergunakan akal dan pikirannya, bahwa di dunia ini manusia tidak sama sekali selalu keliru, juga tidak sama sekali selalu tepat. Bahwa sekeliru apa pun manusia dalam kehidupannya, pasti teriringi oleh ketepatan, yang sadar atau tidak keduanya selalu ngintili dalam keseharian.
Seingatku, aku tidak pernah menilai seseorang dan sebuah kelompok sangat buruk dan tidak mungkin bisa menjadi baik, sekalipun mayoritas di sekelilingku menilai keduanya dengan penilaian yang sangat tidak baik dan tidak mungkin bisa menjadi baik. Aku juga tak pernah menilai sebuah kelompok atau seseorang sangat baik dan tidak mungkin bisa menjadi buruk, sekalipun mayoritas di sekelilingku menilai keduanya dengan penilaian yang sangat tidak buruk dan tidak mungkin bisa menjadi buruk.
Masih soal penilaianku, bahwa aku tak pernah menyatakan keburukan dengan seburuk-buruknya tanpa sebelumnya mendapati hal yang pasti dari yang menjadi objek penilaianku. Aku juga tak pernah menyatakan kebaikan dengan sebaik-baiknya tanpa sebelumnya mendapati hal yang pasti dari yang bersangkutan. Karena aku masih meyakini bahwa tiada yang tepat sama sekali dan tak pernah ada yang selalu keliru dalam hidupnya.
Bagiku, setiap hal yang berkesesuaian dengan hati dan pikiranku merupakan hal yang tepat, meskipun ketepatan itu kudapati dari seorang atau kelompok yang selama ini menurut penilaianku dan konco-koncoku adalah seorang atau kelompok yang banyak kelirunya. Aku tak pernah memiliki rasa gengsi untuk mengapresiasi ketepatan itu. Pun sebaliknya. Ketika hati dan pikiranku menemui suatu hal yang menurutku keliru, meskipun kekeliruan itu kudapati dari seorang atau kelompok yang selama ini menurut penilaianku dan kroni-kroniku adalah seorang atau kelompok yang banyak tepatnya. Aku tak segan-segan menegur dan memberinya tamparan, agar sadar bahwa ia sedang dalam kekeliruan.
Eling lan Waspodo adalah nasihat yang paling sering memekakkan telingaku. Kedua orang tuaku selalu mengingatkan kedua nasihat itu hampir acapkali langkah kakiku bergegas melakukan aktivitas. Bahwa kita harus selalu Eling atau mengingat Gusti Pangeran dalam setiap detak nafas dan derap langkah, bahwa Dia yang menciptakan segala sesuatu di dunia ini beserta segala dinamika yang dengan sistematika Mahadahsyat-Nya. Waspodo atau hati-hati juga harus ada dalam diri, sebab gerak manusia tak dapat diterka; yang baik bisa tiba-tiba menjadi buruk, yang buruk bisa seketika berubah baik. Menurut kedua orang tuaku, gunakan akal dan pikiran untuk menilai dan melihat manusia lain serta gunakan hati dan rasa serta segala penghayatan dalam menghamba pada Gusti Pangeran Ingkang Murbeng Dumadi.
Belakangan ini, aku sering mendengar pemberitaan klasik yang barangkali sampai kehidupan baru dimulai (katakanlah kiamat, karena kiamat sejatinya justru awal kebaikan dan kehidupan yang baru, bukan akhir dari segalanya dan kehidupan telah berakhir) masih akan terus terjadi. Dari tulisan ini, aku ingin mengusik akal dan pikiran pembaca agar tak melulu racun kepicikan terus berkembang dalam otak dan menyebabkan akal dan pikiran menjadi sakit.
Sebenarnya ada beberapa hal yang ingin kubahas, namun dalam kesempatan kali ini, satu hal yang menjadi pertanyaanku, apa yang terlintas dalam benak anda ketika LGBT kusebut? Jijik, menolak, takut, mencoba untuk memberi solusi, menjauhi, atau yang lainnya? Terserah anda.
Pendapatku soal LGBT begini: Pertama, aku sama sekali tidak takut akan terpengaruh atau bahkan menjadi serupa ketika temanku sendiri ternyata homoseksual (Lesbian atau Gay) atau Biseks dan bahkan yang mengubah jenis dan bentuk kelaminnya. Kedua, aku tetap memandang bahwa LGBT bukan sebuah ketersesatan atau penyimpangan, bahkan sebuah kenistaan, sebab mereka hanya memiliki orientasi seks yang berbeda. Ketiga, aku tidak pernah tahu bagaimana hati mereka sebenarnya, mungkin saja mereka menolak dengan keadaan seperti itu, namun hanya bisa membatin karena mereka tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya kepada orang lain yang "normal" untuk mencari solusi, dan pada akhirnya mereka membuat komunitas sendiri. Keempat, kalau pun hal tersebut adalah sebuah ketersesatan, penyimpangan, bahkan kenistaan, bagiku mereka merupakan ladang dakwahku. Tak perlu dijauhi, dimusuhi, dibenci, bahkan diberangus karena ketersesatannya. Lha wong tersesat kok gak diberi tahu jalannya. Dan kelima, ketika mereka malu karena orientasi seksual yang berbeda dengan sebagaimana pada umumnya, barangkali mereka tidak sama sekali berpacaran, tapi justru mereka lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dan menghamba dengan rasa seutuhnya serta dibarengi dengan pengabdiannya pada kemanusiaan. Bukankah itu baik? Urusan diterima atau tidaknya amal kebaikan yang dikerjakan, dan segala penghambaan dengan Sang Pemilik Semesta, sama sekali bukan urusan kita sebagai manusia. Biar mereka sendiri yang mempertanggungjawabkannya di kehidupan yang baru nanti. Begitu pun ketika LGBT melakukan hal yang tidak baik dan abai terhadap Penciptanya, itu juga bukan urusan kita untuk menghakimi, peringatkan saja tapi jangan berlebihan, sisanya biar Tuhan yang menjadi hakim.
Bukankah Dia adalah hakim yang seadil-adilnya? Bukankah Dia tidak membeda-bedakan hamba-Nya kecuali hanya berdasar pada tingkat dan kadar ketaqwaan? Bukankah Dia memerintahkan kita untuk menjadi seorang yang selalu mengingatkan dalam ketepatan, bukan menjadi seorang diktator atau penguasa?
Namun dengan begitu, penilaianku terhadap LGBT tidak langsung tepat atau tidak pernah keliru. Perilaku LGBT yang menurutku keliru tetap membuatku meradang dan segera memberi peringatan, aku juga akan selalu mengapresiasi perilaku LGBT yang menurutku tepat. Seperti pernyataan sikapku terhadap LGBT yang sudah dijelaskan di atas, itu merupakan pandanganku terhadap LGBT yang selama ini dipandang dan dilihat buruk dan sama sekali tidak pernah ada baiknya. Sementara aku, tetap berpegang teguh bahwa di dunia ini tidak ada manusia yang bisa seumur hidupnya selalu tepat atau tidak pernah keliru, dan sebaliknya.
Keterkaitan LGBT saat ini dengan kisah kaumnya Nabi Luth tentu tidak bisa menjadi alasan anda menjadi seorang pembenci dan menjauhi LGBT. Kaum Shodom pada jaman Nabi Luth dikenai hukuman langsung dari Tuhan karena zaman sebelum Kanjeng Nabi Muhammad memang seperti itu adanya. Mari kita buka literatur tentang Kanjeng Nabi Muhammad yang sangat sayang kepada ummatnya sehingga beliau meminta keringanan hukuman dari Tuhan ketika ummatnya berbuat kekeliruan.
Untuk lebih lanjut membicarakan soal penilaian terhadap sesuatu dengan menggunakan akal dan pikiran yang sehat serta hati yang lapang, atau membicarakan hal mengenai LGBT, silakan agendakan waktu untuk kopdar.
Sekian.
Previous Post
Next Post