Jumat, 12 Juni 2020

JUMATAN: Berdamai dengan Diri Sendiri


Senja Selat Sunda (2016)

Selamat Jumat. Semoga kita senantiasa diberi kuat dan sehat, agar selalu mampu menjalani hari-hari dengan penuh semangat, hingga segala yang dibutuhi segera didapat. Sesi Jumatan kali ini, saya ingin membahas soal bagaimana mampu berdamai dengan sendiri. Termasuk dan terutama juga, mengelola ego yang meluap-luap di dalam diri.

Kita, tentu saja, bukan malaikat yang memiliki semangat untuk selalu taat. Tetapi kita juga bukan iblis, pemeran tokoh antagonis, yang selalu berbuat bengis dan sadis. Bukan pula binatang yang hanya diberi nafsu tetapi tak punya daya akal untuk berpikir, sehingga ia selalu saja tergelincir tanpa akhir. Ya, kita adalah manusia yang diberikan 'peralatan' dengan sangat komplit, sehingga kita disebut-sebut sebagai makhluk yang benar-benar konkret. 

Namun karena peralatan yang diberikan Tuhan kepada kita begitu sangat lengkap, kita seringkali diperhadapkan dengan berbagai perangkap. Ditambah pula sifat Tuhan yang maha membolak-balikkan hati dengan sesuka dan sekuasa-Nya saja. Dia pemegang mutlak hati kita. Dia yang memiliki kuasa di atas segala daya dan upaya manusia. Tak bisa diganggu gugat, barang sesaat. 

Di dalam kitab suci pula, Tuhan menyatakan bahwa sekecil apa pun perbuatan baik yang kita lakukan pasti akan mendapatkan ganjaran yang setimpal. Begitu pula halnya sekecil apa pun kejahatan yang kita jalani, pasti akan mendapat balasan yang tak bisa dikurang-kurangi. Itulah manusia. Diciptakan dengan wujud paling sempurna ketimbang makhluk yang lainnya, yang kemudian akan terjerumus di tempat yang serendah-rendahnya. Tetapi bagi manusia yang mampu menyemai kebaikan kepada apa dan siapa saja, ia akan mendapat pahala yang tidak akan putus selama-lamanya.

Lalu bagaimana jika kita pernah dikecewakan atau mengecewakan? Pernah menyakiti atau disakiti? Pernah tidak menganggap keberadaan orang lain atau pernah tidak dianggap ada oleh orang lain? Ini menjadi dilema tersendiri, dan tentu saja kedua hal yang saling bertentangan (yang saya sebutkan tadi) itu pernah menjumpai atau tidak sengaja kita jumpai di dalam hidup ini.

Idealnya, kata para bijak bestari, kita mesti keras kepada diri sendiri sekaligus juga harus lembut kepada orang lain. Jadi, mari kita berkaca pada diri sendiri. Sebab apa yang menjadikan kita, saat ini, merasa sangat tidak berharga dan sama sekali tidak dihargai oleh yang lain? Atau jangan-jangan justru perbuatan kita sendirilah yang menjadikan diri kita ini menjadi tak berharga dan dihargai? Ini penting kita resapi untuk memperbaiki keadaan dan keberadaan kita di kemudian hari.

Hujan deras semalam yang berdurasi cukup lama, jujur saja, memberikan ruang bagi saya untuk berkaca. Mendalami diri sendiri. Memandang ke dalam. Memasuki setiap ruang dan sudut terkecil di dalam diri yang bisa jadi adalah penyebab dari ketidakberdayaan saat ini. Saya rasa, hujan memang kerap menjadi memonetum yang sangat tepat untuk melakukan kontemplasi mendalam. 

Di tengah gemuruh hujan itu, saya membatin. Saya pernah dikecewakan. Saya pernah tidak ingin memaafkan orang yang menaruh kecewa dan menggoreskan luka paling dalam pada lubang terkecil di hati. Saya juga meyakini, ada orang yang merasa sudah dikecewakan oleh saya karena sikap yang telah saya pertunjukkan di atas pentas kebencian. Sebagai manusia biasa, hal itu menjadi sangat lumrah, atau biasa kita sebut sebagai: manusiawi. 

Tetapi, entah ini pembelaan atau bukan, saya lebih memilih untuk tidak tampil di permukaan setelah kesakithatian itu menyeruak ke dalam sendi kehidupan. Saya lebih memilih untuk menghindar dari kerumunan, daripada tetap berada pada lingkaran yang selalu mengatasnamakan khidmat dan pelayanan; tetapi padahal sangat berbanding terbalik dengan yang terjadi di lapangan. Saya lebih memilih untuk tidak ikut campur tangan, daripada terus-menerus disesaki oleh teatrikal penuh intrik yang sangat menjijikkan. 

Seraya dengan sikap yang demikian, saya berpikir dalam-dalam dan meresapi diri penuh-sungguh. Inilah rupanya keangkuhan 'aku' yang sudah sangat dominan. Namun, kembali saya berpikir, urusan akan semakin kacau jika saya terus-menerus berada pada titik yang sama dalam waktu lama, di tengah kerumunan orang-orang yang kerap bermain dengan komitmen dan kesungguhan. Maka, pembelaan yang ada di dalam diri adalah agar mampu memilih jalan yang pahit sekalipun. Menyepi dari keramaian. Menghindari kerumunan. Memilih sunyi dari kegaduhan. 

Jujur, saya pernah merasa bodoh (atau mungkin dibodohi) karena dengan tulus-ikhlas memberikan segala kemampuan diri untuk keramaian yang sama sekali tak memberi makna secuilpun dalam hidup saya. Saya pernah mengumpat di dalam hati untuk tidak memberi maaf kepada siapa pun yang telah mengecewakan (tetapi dengan catatan) sebelum saya mampu memaafi diri yang sangat bodoh karena telah dibodohi (berkali-kali).

Hingga kini pun, saya belum bisa memberikan maaf, walau sedikit saja, untuk diri saya sendiri. Jika demikian yang terjadi, lalu pertanyaannya adalah: bagaimana mungkin saya bisa memaafkan orang-orang yang telah berkontribusi pada penciptaan kebodohan yang kemudian ditanam dalam-dalam di diri saya; sementara saya sendiri belum mampu berdamai dan memaafi diri sendiri?

Maka, saya meyimpulkan (walaupun entah ini simpulan yang baik atau tidak) bahwa berdamai dengan diri sendiri itu menjadi hal yang sangat penting sebelum kita mampu berdamai dengan orang lain. Kalau kita belum mampu berdamai dengan diri sendiri, lalu tetiba berkata telah mampu berdamai dengan orang lain yang telah mengecewakan kita, maka sebenarnya itu bukanlah kesungguhan; tetapi hanya serupa kemunafikan yang manis di bibir saja. 

Sekali lagi, mari kita berdamai dengan diri sendiri terlebih dulu sebelum mampu berdamai dengan orang lain. Mari kita memaafi diri sendiri, sebelum kita berbuat untuk memberi maaf kepada orang lain. Bisakah kita memberikan damai dan maaf pada diri sendiri dengan sungguh-sungguh? Jawabannya tentu saja bisa, tetapi harus melewati berbagai tahap dan proses yang tidak sebentar.

Kepada teman-teman pembaca yang mulia, sungguh tulisan ini dibuat bukan untuk menyindir siapa pun, kecuali diri sendiri. Syukur-syukur bisa dijadikan juga untuk permenungan, sehingga kita mampu sama-sama merenung dan berdampak pada tatanan kehidupan yang rendah hati. Mari meresapi dan memaafi diri. Wallahua'lam...
Previous Post
Next Post

0 komentar: