Jumat, 26 Juni 2020

Sebuah Catatan: Perjalanan Mempertahankan Idealisme


Foto seusai sidang skripsi 

Rabu, 24 Juni 2020 adalah momentum bersejarah dalam hidup saya, karena akhirnya sidang skripsi juga, dan dinyatakan lulus (walau dengan syarat harus mengerjakan revisi sampai batas waktu yang ditentukan). Bahkan, nilai skripsi saya cukup memuaskan: yakni 88 atau dalam huruf adalah A.

Tetapi, saya lulus kuliah tidak tepat waktu. Lalu bagaimana? Bagi saya, itu bukan masalah. Sebab, masalah akan timbul ketika selesai kuliah tapi ilmu selama kuliah (yaitu ilmu komunikasi atau Jurnalistik, kalau saya), tidak dipergunakan dengan sebaik mungkin. Ya, meskipun saya tidak lulus tepat waktu tapi setidaknya saya lulus di waktu yang tepat. 

Saya lulus di saat skripsi saya benar-benar 'matang', di saat jam terbang saya di luar pun sudah lumayan memadai sehingga mampu menyampaikan presentasi hasil penelitian dengan tenang dan meyakinkan, dan di saat (saya merasa) harapan itu hampir hilang. Saya bersyukur, diberikan waktu untuk bisa merasakan nikmatnya mengerjakan skripsi sebagaimana yang dirasakan teman-teman seangkatan saya, dua atau setahun yang lalu. 

Sejak 2014 kuliah, jujur saja, saya tidak pernah sama sekali mengulang matakuliah. Indeks prestasi saya pun hampir selalu bagus. Hanya sekali saja saya mendapat indeks prestasi di bawah 3. Yaitu, kalau tidak salah, pada semester 4 atau 5. Selebihnya, di atas 3. Sebab saya punya prinsip, jangan sampai saya sekelas dengan adik kelas. 

Kemudian masalah timbul setelah saya menyelesaikan semua matakuliah. Menyelesaikan laporan kuliah kerja nyata dan praktik profesi, pada semester 7. Di semester 8, saya mulai acuh tak acuh terhadap perkuliahan. Ini yang tidak boleh ditiru oleh adik-adik kelas saya, biarlah menjadi catatan hitam saya sendiri agar bisa dijadikan pelajaran dan dipetik hikmah di balik peristiwa ini.

Lingkaran Setan

Ketika sudah seharusnya saya menyelesaikan studi, saya justru 'berselancar' di luar kampus. Mencari kesibukan yang lain. Bahkan, hingga saat ini, saya sendiri tidak tahu kenapa waktu itu lebih memilih 'keluar' dari kampus mencari kesibukan yang lain. Sesuatu yang dicari pun, tidak sama sekali ditemukan. Nihil. 

Di luar kampus, pada sekira 2018, saya menjadi relawan politik. Ini bodoh sekali. Baik menjadi relawan politik di tingkat daerah (Pilkada Kota Bekasi), maupun di tingkat nasional (Pilpres 2019). Hasilnya apa? Nihil. Pascapilpres semua berubah. Saya seperti disadarkan oleh banyak kejadian yang hampir saja meluluhlantakkan idealisme saya. 

Akhirnya, pertengahan 2019 saya mulai meninggalkan lingkaran yang politis itu. Sebuah lingkaran yang hanya berorientasi pada kepentingan diri sendiri. Perut kenyang, hati senang. Idealisme? Hancur-lebur. Bagi saya, orang-orang yang ada di lingkaran itu, terutama mereka yang semula sepakat menjaga kesucian idealisme tapi akhirnya tergoda juga dengan iming-iming 'duit haram', adalah orang-orang yang munafik. 

Saya tidak menemukan kebenaran di dalam lingkaran itu. Semua sudah bias, karena yang ada hanya pembenaran-pembenaran yang sifatnya politis. Bahkan, orang-orang di lingkaran itu sudah sangat diplomatis gaya bicaranya. Mirip politisi-politisi anyaran yang belagu karena baru jadi orang kaya, dari duit hasil pemalsuan dokumen-dokumen yang diserahkan ke negara. 

Bersyukur sekali saya tersadar bahwa lingkaran itu benar-benar tidak baik. Sehingga saya menarik diri, tetapi bukan menyerah. Saya lebih memilih untuk tetap menjaga idealisme agar tidak runtuh, sekalipun (misalnya, entah kapan) saya juga terjun ke dunia yang politis. Tetapi saya akan memilih tempat yang bisa benar-benar menampung idealisme saya ini. Tidak sembarangan. 

Gusdurian Bekasi Raya

Pertengahan 2019, saya mulai aktif bersama Gusdurian Bekasi Raya. Saya menjadi pelaku kebinekaan. Berkeliling membangun dialog ke lingkaran-lingkaran kecil untuk menyampaikan kebenaran Tuhan. Bahwa agama pasti mengajarkan kesucian dan kebaikan, tetapi dirusak oleh segelintir orang yang merasa paling suci dan paling baik. Di Gusdurian, saya kembali bertemu dengan orang banyak. 

Orang-orang yang saya temui dari perjalanan menjadi pelaku kebinekaan ini adalah mereka yang tulus. Tidak sama sekali ada unsur politis, apalagi memanfaatkan sebuah momentum pertemuan untuk misalnya demi kepentingan jabatan di Kota Bekasi. Saya tidak kepikiran soal itu. Sebab saya hanya ingin membangun dan mengimplementasikan ajaran luhur agama: yaitu cinta-kasih. 

Dari situlah kemudian saya berhasil menyelesaikan skripsi, karena di lingkaran bersama Gusdurian ini diisi oleh orang-orang yang selalu menyemangati. Bukan justru mereka menjadi racun apalagi penghalang saya untuk maju. Maka, judul skripsi saya adalah "Sinergi Komunikasi dalam Menjaga Kerukunan Umat Beragama di Kota Bekasi". Skripsi saya itu adalah idealisme saya sendiri. Saya lega rasanya, bisa menyampaikan sebuah hasil penelitian dari perwujudan gagasan dan pemikiran saya soal bagaimana menciptakan kerukunan itu. 

Namun, di saat saya sedang semangat-semangatnya berkeliling membangun relasi antaragama itu, saya kembali diserang rasa malas untuk mengerjakan skripsi. Padahal skripsi saya adalah semacam 'catatan' dari perjalanan yang sedang saya tempuh itu. Di momen ini, saya sempat hopeless (hilang harapan). Bahkan terbersit di pikiran saya untuk tidak menyelesaikan kuliah. 

Di saat-saat itu, wajah orangtua saya yang sudah mulai sepuh itu menyeruak di pikiran menjelang tidur. Bahkan ocehan ibu untuk saya agar menyelesaikan studi S1 itu, selalu terngiang di telinga. Seakan-akan suara itu kembali terdengar ketika saya 'jauh' berkelana. Saya hilang harapan karena untuk memulai garapan skripsi, butuh niat yang kuat dan tekad yang bulat. 

Kekuatan Doa

Setelah hampir putus-asa itulah, pada akhir 2019, saya mendatangi acara tabligh akbar yang diadakan oleh alumni Buntet Pesantren, di masjid Perumahan Prima Harapan, Bekasi Utara. Tabligh akbar itu mendatangkan Ustadz Yusuf Mansur. Saya datang dengan membawa harapan agar mampu menuntaskan masalah yang sedang dihadapi. Barangkali sang ustadz mampu memberikan solusi. Begitu pikir saya, ketika itu.

Di awal Januari 2020, saya kemudian teringat tips atau cara mengatasi masalah ala Ustadz Yusuf Mansur yang disampaikannya dalam acara tabligh akbar di pengujung tahun 2019 itu. Yaitu doa. Prinsipnya: Allah dulu, Allah lagi, Allah terus. Doa apa yang diajarkan oleh UYM ini? Yakni doa untuk orang lain yang sedang dilanda kesusahan sebagaimana kita.

Artinya, kalau kita sedang kesulitan karena kemiskinan maka kita harus mendoakan orang-orang di sekeliling kita yang miskin agar menjadi kaya. Atau kalau kita sedang kesulitan mencari jodoh, maka kita harus mendoakan orang lain di sekitar kita agar cepat dapat jodoh. Nah soal skripsi ini, saya menjalankan amalan yang sangat sederhana itu. 

Setiap selesai salat, saya mendoakan teman-teman dan adik-adik kelas saya agar dimudahkan dalam menggarap skripsi. Saya juga berdoa agar mereka tidak dipersulit dalam prosea kelulusan atau 'dibantai' ketika presentasi hasil penelitian di hadapan dosen penguji, di ruang sidang. Apakah doanya harus menggunakan bahasa arab? Tentu saja tidak. Allah paham semua bahasa, kok.

Doa yang baik, menurut UYM dan saya sepakat, adalah doa yang dirincikan serinci-rincinya. Kita harus mempreteli doa itu. Sebut nama siapa orang yang sedang kita doakan, sebut apa yang ingin kita doakan. Semuanya harus disebutkan dengan sangat rinci. Ya, Allah Mahateliti atas segala sesuatu yang tidak terlihat, terdengar, dan terdeteksi oleh hamba-Nya. 

Kenapa kok kita harus mendoakan orang lain untuk bisa menyelesaikan masalah kita sendiri? Jawabannya adalah karena kalau kita berdoa untuk diri sendiri, akan ada banyak penghalang: dosa yang terlalu banyak dan amal kebaikan yang sangat sedikit. Tetapi berbeda halnya kalau kita mendoakan orang lain. Berdoa untuk orang lain sama sekali tidak ada batas penghalangnya.

Bahkan, malaikat rahmat tidak segan-segan mendoakan si pendoa, yakni kita sendiri, untuk mendapatkan hal serupa dari yang kita doakan untuk orang lain. Itulah sebabnya kenapa para guru, ulama, dan kiai kita sering mengajak umat Islam untuk saling berdoa satu sama lain. Saya pikir, di agama lain, juga menerapkan hal yang sama. Ya, saling mendoakan. 

Sebenarnya, saya juga punya satu amalan lagi saat beberapa hari menjelang sidang skripsi. Artinya, saya juga menempuh 'jalur langit' untuk bisa tenang dan enjoy dalam menghadapi sidang akhir itu. Apakah amalan itu? Silakan langsung saja kita obrolin melalui jalur pribadi. Hahahahahahaa.

Terakhir, saya ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada semua yang telah terlibat dalam proses penggarapan skripsi yang merupakan idealisme saya itu. Terima kasih telah membantu saya dalam menyelesaikan skripsi, sekalipun hanya membantu lewat doa dan asupan motivasi untuk saya. Itu sangat berguna. 

Terkhusus, kepada keluarga saya dan orangtua saya yang tidak pernah lelah bertanya: kapan sidang? dan kakak-kakak saya yang sering mengatakan: buruan dikerjain skripsinya, jangan main mulu, ibu-bapak udah tua. Ini adalah salah satu penyemangat saya. Terima kasih atas segala hal. 


Alhamdulillah.Wallahua'lam...
Previous Post
Next Post

0 komentar: