Selasa, 08 September 2020

Soal Maslahat Rakyat, Bagaimana Pilkada di Tengah Pandemi Berlangsung?


Ilustrasi. Sumber: www.mistar.id


Pada 9 Desember mendatang, 270 daerah di seluruh Indonesia akan melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak. Sesuatu yang menjadi perhatian banyak pihak adalah Pilkada kali ini dihelat di tengah pandemi Covid-19 yang tak berkesudahan.

 

Virus mematikan itu masih aktif dan kian masif tersebar. Hal itu bukan murni karena virus yang, misalnya, hingga kini belum ditemukan vaksinnya, tetapi lantaran kesadaran masyarakat yang semakin berkurang. Ditambah pula dengan pemerintah setempat yang terkesan tidak serius mengatasi virus ini.

 

Tantangan kita hari ini ada dua. Bangkit dari ekonomi yang melemah dan berperilaku sehat sekaligus mematuhi protokol kesehatan agar terhindar dari bahaya pandemi yang mematikan ini. Memang peluang untuk sembuh saat terkena virus ini masih sangat besar, tapi jangan sampai kita justru menjadi penyebab terciptanya klaster baru Covid-19 di lingkungan kita.

 

Oleh karena itu, Pilkada serentak kali ini sangat berbeda dan penuh tantangan. Para politisi, baik yang mencalonkan maupun mesin kerja kampanye, harus berpikir ulang mengenai strategi baru yang harus dilakukan untuk memenangkan kontestasi perebutan kekuasaan. Inilah era baru politik kita.


Namun demikian, Pilkada serentak tahun ini benar-benar sangat rentan terjadi politik uang. Calon kepala daerah, bisa saja memanfaatkan kemiskinan atau kesengsaran rakyat akibat pandemi ini sebagai jalan masuk untuk memenangkan kontestasi. Caranya, tentu saja menyogok dengan uang dan mengiming-imingi hal-hal yang utopia.

 

Persoalan ekonomi memang sangat sensitif, sekaligus juga bisa dimanfaatkan oleh para pemain politik di dalam Pilkada serentak yang akan dilaksanakan sekitar tiga bulan mendatang. Ini yang harus diwaspadai oleh rakyat agar tidak mudah terbuai dengan rayuan gombal calon kepala daerah.

 

Rakyat harus benar-benar bisa tercerahkan supaya bisa memilih calon pemimpin berdasarkan kualifikasi dan kompetensi, bukan karena sogokan uang yang tidak seberapa. Rakyat harus bisa memilih pemimpin yang berorientasi kepada kemaslahatan umum, bukan pemimpin yang ketika jadi hanya memikirkan soal balik modal.

 

Ada kaidah ushul fiqh yang sangat populer soal pemimpin ini, yaitu tasharruful imam ala raiyyah manutun bil maslahah. Bahwa kebijakan seorang pemimpin haruslah berdasarkan pada kemaslahatan. Kuncinya adalah seorang pemimpin harus mengedepankan kemaslahatan orang banyak ketimbang kepentingan kelompok dan pribadi.

 

Mahmud Musthafa Salim Al-Shamady dalam bukunya al-Mashalih al-Mursalah wa Dauruha fi al-Qadhaya al-Thibbiyah al-Mu’ashirah mengungkapkan bahwa maslahat adalah apa saja yang berisi tindakan yang bisa membawa kepada kondisi baik. Jadi, rakyat harus benar-benar bisa melihat rekam jejak calon pemimpin daerah, punya kompetensi atau tidak dalam melakukan pemecahan masalah untuk menuju perubahan ke dalam kondisi yang lebih baik.

 

Lebih dalam, Imam Ghazali dalam buku Al-Mustashfa mengatakan bahwa maslahat berarti menarik kemanfaatan dan menolak kemudharatan atau sesuatu yang menimbulkan kerusakan. Secara hakikat, maslahat itu bermakna menarik kemanfaatan dan menolak segala bentuk kemudharatan atau kerusakan.

 

Nah di media sosial, saya banyak melihat para bakal calon pemimpin daerah itu tidak mengindahkan kemaslahatan. Belum terpilih saja sudah sangat terlihat bahwa sebagian dari mereka itu sebenarnya tidak mampu menciptakan maslahat.

 

Kita tahu bahwa anjuran paling mendasar untuk mencegah penularan penyebaran Covid-19 adalah dengan mematuhi protokol kesehatan. Beberapa diantaranya adalah memakai masker, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, sering-sering cuci tangan, dan hindari kontak fisik dengan orang lain.

 

Tetapi yang terjadi, sungguh tidak demikian. Calon-calon pemimpin daerah itu, entah karena apa, seperti tidak mengindahkan anjuran pemerintah soal protokol kesehatan. Padahal mereka, kelak kalau terpilih dengan suara terbanyak, akan menjadi pemerintah juga. Bagaimana mungkin calon kepala pemerintahan tapi tidak mematuhi aturan yang dibuat oleh pemerintah?

 

Pagi tadi, saya mendapat kiriman berita yang mewartakan bahwa calon kepala daerah di salah satu kabupaten di Pulau Sulawesi, positif terpapar Covid-19. Walhasil seluruh orang yang pernah berinteraksi dengannya itu harus dilakukan tindakan swab test. Semua simpatisannya pun diimbau oleh KPU dan Bawaslu setempat untuk segera mengisolasi diri.

 

Tidak jauh dari daerah ini, ada bakal calon kepala daerah juga yang menggelar konser deklarasi. Kepolisian setempat mengungkapkan bahwa kegiatan konser itu sudah mendapat rekomendasi dari gugus tugas Covid-19 di sana. Tetapi tetap saja, dalam pelaksanaannya, si calon penguasa ini menyalahi aturan protokol kesehatan.


Dalam konser itu, tentu para peserta deklarasi di sana berdesakan. Tidak berjarak sama sekali. Bahkan, beberapa warga datang ke lokasi acara dengan tidak menggunakan masker.

 

Di Pulau Jawa pun sama. Di beberapa daerah, para calon pemimpin itu juga norak. Mengadakan arak-arakan dengan berkerumun dan berjalan menuju tempat pendaftaran di KPU setempat. Beberapa juga terlihat saling tidak berjaga jarak, berjabat tangan, dan tidak memakai masker. Bahkan, menurut saya, penggunaan masker itu pun hanya sekadar formalitas saja, sebagai gimmick di depan media.

 

Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah tidak ada aturan yang mengatur soal itu? Tentu saja ada. Semalam saya mendapatkan draf Peraturan KPU RI Nomor 10 tahun 2020. Di dalamnya, secara tertulis ada aturan yang mengatur soal penyelanggaraan pesta demokrasi di tengah pandemi Covid-19. Misalnya, mari kita lihat pasal pasal 58 ayat 1. Aturannya berbunyi:

 

“Pertemuan terbatas serta pertemuan tatap muka dan dialog, sebagaimana dimaksud dalam pasal 57 huruf a dan huruf b, diselenggarakan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik, Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye dengan ketentuan sebagai berikut: (a) dilaksanakan dalam ruangan tertutup, (b) membatasi jumlah peserta yang hadir paling banyak 50 orang dan memperhitungkan jaga jarak paling kurang satu meter antarpeserta kampanye serta dapat diikuti peserta kampanye melalui media daring, (c) pengaturan ruangan dan tempat duduk harus menerapkan protokol kesehatan pencegahan dan pengendalian Covid-19, dan (d) wajib mematuhi ketentuan mengenai status penanganan Covid-19 pada daerah Pemilihan Serentak Lanjutan setempat.”

 

Kemudian, ditegaskan pula di dalam ayat 2, masih di pasal 58. Di situ tertulis, “Dalam hal metode kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat satu tidak dapat dilakukan, pertemuan terbatas serta pertemuan tatap muka dan dialog dilakukan melalui media daring.”

 

Ketentuan peraturan setelah pasal 58 tersebut mengatur agar seluruh kegiatan kampanye dan semua acara tahapan penyelenggaraan pilkada harus dilakukan dengan minimal memperhatikan protokol kesehatan. Kalau tidak bisa demikian, maka dilakukan dengan tatap muka secara virtual.

 

Saya kemudian teringat dengan pesan Gus Dur yang sangat terkenal, bahwa sesuatu yang paling penting dari politik adalah kemanusiaan. Jadi, kepada para politisi yang menjadi kontestan pilkada serentak ini, saya sebagai rakyat meminta tolong untuk senantiasa berkomitmen dalam menjaga kemanusiaan kita.


Selain itu, saya berharap agar para calon kepala daerah beserta tim kampanye dapat mengedepankan akhlak dan etika, menaati aturan yang berlaku, dan menarik simpati para pemilih dengan cara-cara yang baik.

 

Sebab, kalau menciptakan kemaslahatan dengan menjaga protokol kesehatan saja tidak bisa, bagaimana nanti kalau sudah terpilih dan dituntut harus mampu melahirkan kemaslahatan yang lebih besar. Yakin bisa? Mari kita lihat tiga bulan ke depan. Bagaimana Pilkada di tengah pandemi berlangsung? Apakah para calon pemimpin itu dapat benar-benar menciptakan kemaslahatan? Wallahua’lam…

Previous Post
Next Post

0 komentar: