Jumat, 11 September 2020

Pergulatan Iman Munir Said Thalib, Meninggalkan Ekstremitas Agama


Munir. Sumber gambar: www.urbanasia.com

Senin (7/9) lalu, kita kembali diingatkan oleh sejarah kelam Hak Asasi Manusia (HAM) di negeri ini. Ya, tepat pada 7 September 2004 Pejuang HAM Munir Said Thalib meninggal dunia saat dalam perjalanan menuju Belanda, untuk keperluan studi.

 

Munir, sebagaimana namanya yang bermakna penerang, semasa hidupnya memang ia abdikan untuk memberikan sinar kehangatan bagi orang-orang lemah dan dilemahkan. Munir selalu siap dan senantiasa berada di barisan rakyat, mereka yang diciduk dan dirampas haknya.

 

Di dalam kamus Munir, barangkali, tidak pernah ditemukan diksi ‘takut’. Ia tak pernah mundur selangkah pun untuk mengungkapkan kebenaran. Ia dengan gigih berani lantang menyuarakan kepentingan rakyat lemah, sekalipun Munir sendiri harus berhadapan dengan berbagai ancaman.

 

Tetapi Munir tak pernah takut.

 

Di balik sisi Munir yang seperti itu, ternyata ada sisi lain yang menarik untuk diulas. Yaitu soal pergulatan iman seorang Munir. Pergulatan ini jugalah yang menjadikan Munir selalu lantang dan pantang menyerah menyuarakan kebenaran, membela rakyat yang tertindas dan ditindas.

 

Pejuang HAM yang satu ini mengaku pernah mengikuti jalur keagamaan yang esktrem, atau katakanlah radikal. Fase tersebut dialami Munir sekitar lebih dari 5 hingga 6 tahun, yakni berkisar antara 1984 hingga 1989.

 

Gawatnya, ia mengaku bahwa isi tas yang selalu dibawa ke mana-mana itu, pada 1984-1989, tidak pernah kosong dari senjata tajam. Dikatakan Munir, hal itu dilakukan atas nama pertikaian agama. Namun di dalam ruang ektremitas keagamaan itu, ia seperti merasa kehilangan fungsi atas agama itu sendiri.

 

“Apakah benar Islam memerintahkan saya untuk menjadi sangat eksklusif dalam beragama dan menutup diri dari komunitas lain? Apakah Islam itu untuk Allah, untuk manusia, atau untuk membangun masyarakat secara umum? Mulai itu, ada pertentangan di dalam diri saya,” kata Munir.

 

Di saat pergolakan batin yang demikian itu, Munir kemudian menemukan pernyataan mutakhir yang mengungkapkan bahwa agama diturunkan untuk manusia. Ia sepakat dengan Gus Dur soal Tuhan yang tak perlu ajudan atau asisten untuk mengawal diri-Nya.

 

“Intinya agama harus menjadi maslahat bagi manusia,” kata Munir.

 

Akhirnya, Munir lantas meninggalkan cara beragama yang tertutup dan menyeramkan itu. Ia kemudian menilai bahwa Islam harus senantiasa mendukung peradaban. Karenanya, Munir bersedia untuk harus bekerja pada wilayah-wilayah yang bertujuan untuk perbaikan kehidupan manusia.

 

Setelah kembali ke ‘jalan yang benar’, Munir akhirnya tersadarkan bahwa agama harus dipergunakan untuk memperbaiki kehidupan, bukan justru sebaliknya, yang bisa menghancurkan peradaban manusia akibat dari gaya beragama yang ekstrem dan tertutup.

 

Menurut Munir, banyak orang yang mengklaim diri sedang beragama dengan cara membangun peradaban, tetapi sebenarnya yang dibangun justru simbol-simbol yang menghancurkan peradaban.

 

Munir menegaskan bahwa bentuk-bentuk perbedaan-perbedaan dalam hal apa pun, terkadang justru melahirkan ekstremitas. Hal ini bukan saja terjadi dalam agama, tetapi juga terjadi pada etnis atau suku. Ekstremitas itu, kata Munir, adalah sikap yang selalu memutlakkan diri sendiri seraya menafikan orang lain.

 

“Ini kadang-kadang terjadi tidak hanya antaragama, tetapi juga antar faksi-faksi berfikir dalam agama,” kata Munir.

 

Hal tersebut bisa dilihat dari sejarah Indonesia yang telah banyak peristiwa pertumpahan darah atas dasar perbedaan cara berpikir faksi-faksi agama. Misalnya seperti anti gerakan tarekat, pengasingan orang, dan pembunuhan, yang semuanya dilakukan atas nama ekstremitas.

 

Dari situ, menurut Munir, seolah-olah hidup hanya sekadar menjadi perang memperebutkan kapling surga yang berapa hektar luasnya pun belum bisa diukut sama sekali.

 

Titik perubahan cara beragama Munir yang ekstrem dan menjadi lebih lembut adalah ketika ia berhadapan dengan antitesa lain yang menurutnya juga cukup ekstrem. Suatu ketika, Munir pernah dilemparkan sebuah pertanyaan oleh dosennya di Universitas Brawijaya, H Abdul Malik Fadjar (Tokoh Muhammadiyah/Mantan Menteri Pendidikan Nasional).

 

Pertanyaan yang membuat Munir kemudian menjadi gelisah itu adalah, “apakah beragama itu kekuasaan?”

 

Malik Fadjar mengatakan, “Saya tidak pernah mengetahui seorang pemuda sebodoh anda yang ke mana-mana membawa semangat untuk berperang dengan instrument agama demi menguasai orang.” Kalimat yang disampaikan di hadapan Munir itu membuatnya lega. Ia bahkan menyebut sang dosen itu sebagai seorang yang sangat liberal.

 

Menurut Munir, Islam itu memang harus liberal dan dapat menerima perbedaan-perbedaan. Islam tidak punya kewenangan ketika tidak bisa memberikan tempat bagi yang lain. Ia baru sadar bahwa aliran ekstrem yang selama itu ia ikuti, ternyata sama sekali tidak memberikan ruang terhadap orang lain.

 

Atas pernyataan Malik Fadjar di atas, Munir mengaku merasa sangat kaget. Saat mendengar kalimat itu tadi, dengan sangat seketika Munir berkeringat, padahal Kota Malang adalah daerah yang dingin. Ia mengaku telah menemukan sesuatu, pernyataan Malik Fadjar itulah yang mengilhaminya.

 

Selanjutnya, saat Munir sedang aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Malik Fadjar kembali mengeluarkan pernyataan sekaligus pertanyaan yang membuat Munir benar-benar kaget untuk kedua kalinya.

 

Kata Malik kepada Munir, “Kau pelajari Islam yang benar. Kalau kamu anak HMI, baca Nilai  Identitas Kader (Nilai-nilai Dasar Perjuangan atau NDP). Dari situ silakan dievaluiasi, apakah benar HMI untuk perang-perangan atau menjalankan misi sosial?”


Setelah sekian lama dipelajari, Munir akhirnya menemukan bahwa Islam memang mengakui bahwa dalam relasi sosial terdapat ketidakadilan. Ada yang menzalimi ada yang dizalimi. Nah, Munir menilai bahwa Islam harus memihak kepada pihak yang dizalimi.

 

Jadi menurutnya, Islam tidak memihak kepada Islam. Melainkan harus memihak kepada yang dizalimi demi menciptakan keadilan. Islam itu, disebut oleh Munir sebagai sebuah keadilan, bukan untuk menciptakan eksklusivisme yang sering terjadi di mana-mana.

 

Temuan bahwa Islam tidak seharusnya berlaku ektrem itu, membuat Munir harus terpisah dari komunitas yang membuat ia pertama kali tumbuh itu. Namun demikian, Munir kemudian menemukan komunitas baru yang bisa menerima perbedaan-perbedaan.

 

“Saya kira, normal saja kalau dalam kehidupan, kita menemukan antitesis-antitesis yang menawarkan Islam dengan watak sebenarnya,” kata Munir.

 

*Tulisan di atas disarikan dari wawancara Gus Ulil Abshar Abdalla dengan Munir Said Thalib di www.islamlib.com

Previous Post
Next Post

0 komentar: