Selasa, 05 Maret 2019

Boleh Ngritik NU Gak, Sih?


Bersama Katib 'Aam PBNU KH Yahya Cholil Staquf
Saya sebenarnya malas bahas kontroversi hasil bahtsul masail Munas Alim Ulama dan Konbes NU, di Pesantren Miftahulhuda Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. 

Tapi melihat kegaduhan yang terjadi, gatal juga saya ingin mengomentari. Barangkali, memang seperti itulah karakter bangsa Indonesia kekinian: senang komentar, tapi tak senang dikomentari. Ya, begitulah.

Terkait Munas dan Konbes NU, saya hadir ketika itu. Berangkat Selasa, pulang Jumat. Kira-kira berapa hari tuh di sana? Hitung sendiri, ya. Jujur saja, saya baru pertamakali berkesempatan menghadiri acara NU, dalam skala nasional. 

Oke, langsung masuk ke inti saja ya. Tidak perlu cerita pengalaman saya di Kota Banjar, karena kerjaan saya di sana cuma sekadar tidur-makan-tidur-makan. Unfaedah banget, deh.

Malam Jumat, satu malam sebelum esok harinya agenda penutupan yang dihadiri Wapres RI H Jusuf Kalla, rapat pleno terbuka digelar di panggung utama. Di situ, dipresentasikan hasil rekomendasi dari masing-masing komisi. 

Nah, yang paling menarik adalah saat Kiai Abdul Moqsith Ghazali mempresentasikan hasil sidang komisi bahtsul masail (dengan sub-komisi) Maudluiyah

Salah satu yang disebutkan, yakni mengganti istilah 'kafir' dengan ungkapan 'nonmuslim'. Sebenarnya, di dalam forum sidang pleno ketika itu --saat pembahasan 'kafir' dan 'nonmuslim'-- tidak terlalu gaduh. Semuanya menyepakati dan bersedia menerima karena hasil rekomendasi itulah yang juga sudah melalui tahap diskusi panjang yang melelahkan.

Saya juga memperhatikan, dari awal hingga akhir, pernyataan-pernyataan yang keluar dari Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj. Katanya, Munas Alim Ulama dan Konbes NU ini hanya sebatas mengusulkan, menyatakan sikap, bukan serupa fatwa.

"Karena Indonesia ini bukan Darul Ifta (negara dengan hukum agama), yang ada mufti (sebutan untuk ulama yang boleh berfatwa). Di negara-bangsa seperti kita ini, yang boleh berfatwa hanya Mahkamah Agung," jelasnya.

Lebih lanjut Kiai Said mengatakan, "Tidak boleh ada lembaga fatwa di Indonesia, termasuk NU dan MUI, kecuali MA."

Nah, karena itulah kemudian saya merasa sejuk dan lega saat mendengar pernyataan tersebut. Betapa tidak, jujur, bahwa NU bagi saya serupa 'rumah' besar yang pernah saya 'tinggali' seumur hidup (hingga kini), yang mengajarkan tentang arti toleransi. Termasuk terhadap perbedaan pendapat dan pemikiran.

Maka konsekuensi logisnya adalah, jika segala sesuatu hal yang dikeluarkan dari hasil Munas dan Konbes NU 2019 di Kota Banjar itu tidak mendapat penerimaan (baca: ditolak), NU harus siap menanggungnya dengan besar hati.

Tidak lantas gumunan (kaget), bersikap reaksioner, dan tidak terima dengan orang-orang yang tidak menerima keputusan Munas. Karena toh, NU bukan lembaga fatwa. Sepakat?

(Dan) jangan juga meminta masyarakat untuk mengkaji kitab kuning secara mendalam, atau ikut debat di dalam forum bahtsul masail bersama para kiai: karena itu jelas sesat pikir namanya.

Bersyukur, dari pihak NU pun, terutama para kiai yang ada di Komisi Bahtsul Masail Maudluiyah terus-menerus memberikan kabar, pengertian, dan pemahaman di media sosial dengan baik dan tidak penuh amarah. 

Sebab, tidak semua masyarakat di Indonesia paham dan mengerti alur pemikiran para kiai yang sangat luar biasa cemerlang. Maka, tidak menghakimi orang-orang yang menghakimi keputusan Munas dan Konbes NU 2019 adalah sebuah keniscayaan. 

Toh, NU bukan lembaga fatwa. Lalu, kenapa mesti marah ketika 'fatwa'-nya ditolak oleh sebagian masyarakat di Indonesia?

Oh ya, sekadar mengingatkan saja, saya tidak sedang bahas politik, ya. Jangan dikait-kaitkan. 

Nah, sekarang mari kita bahas terma 'kafir' dan 'nonmuslim' yang ramai diperbincangkan. Bangsa Indonesia kok kampungan banget sih, ya? Ini kan sebenarnya bahasan lama.  Capek, deh.

Duh, maaf, saya jadi ikut menghakimi...

Lanjut.

Oleh sebab Indonesia merupakan negara-bangsa demokrasi, yang bukan teokrasi juga tidak sekuler, maka penyebutan 'nonmuslim' kepada orang-orang yang tidak memeluk agama Islam, dirasa sangat tepat. 

Konsep kebangsaan (muwathonah), yang setara dan berkedudukan sama --apa pun jabatan dan pangkatnya-- memang kerapkali menjadi sorotan NU. Terlebih ada banyak sekali kutipan para kiai pendahulu tentang kebangsaan, yang paling terkenal adalah: hubbul wathan minal iman.

Nah, penyebutan 'kafir' kepada yang tidak beragama Islam merupakan tindakan sangat kurang tepat untuk dilakukan, karena akan menyakiti hati sesama warga-bangsa. Sebab, terma 'kafir' itu dipakai sebagai identitas dari warga negara kelas dua. Sementara di negara-bangsa seperti Indonesia, semua berkedudukan setara dan sama.

Sila lihat (atau klik) tulisan saya tentang, 'Siapa Berhak Menyandang Status Kafir?' Di situ saya tulis beberapa tipe atau model kafir, dari mulai dzimmi hingga harbi. Kira-kira, adakah kafir di Indonesia ini? Tentu ada. Itulah diri sendiri yang tidak mensyukuri nikmat Allah.

Asli. Ini tuh pembahasan lama. Sejujurnya saya mager (baca: malas) bahas persoalan basi kayak gini. Tapi gregetan banget.

Nah kemudian, kenapa kok masyarakat kaget dan tidak bisa menerima hasil Munas NU (selain karena keputusan itu sifatnya bukan fatwa)?

Masyarakat kaget

Tingkat religiusitas-simbolik-tekstualik di negeri ini sedang meningkat. Namun berbanding terbalik dengan religiusitas-substansial-kontekstual. Istilah yang kedua itu, saat ini sudah sangat jarang ditemukan.

Fenomena hijrah di kalangan anak-anak muda memang luar biasa. Bisa menarik mereka untuk 'insyaf', dan belajar agama dengan cepat saji. Siapa lagi pelakunya kalau bukan PKS dan HTI, eh FPI juga deh. 

Ingat, ya, penulis adalah orang NU. Maka PKS, HTI, dan FPI tidak salah juga jika dijadikan bulan-bulanan untuk dihakimi karena telah membuat kurikulum agama atau basis massa Islam yang sistematis dan massif, tidak seperti NU yang amburadul. 

Mereka yang belajar agama dengan cepat saji itu, tidak mengenal warna (untuk tidak menyebut buta warna), karena bagi mereka hanyalah hitam dan putih.

Kenapa kok NU lebih memilih menyebut orang-orang yang tidak beragama Islam dengan sebutan nonmuslim bukan kafir, padahal di Al-Qur'an saja sudah jelas ada surat bermerk Al-Kafirun bukan Al-Ghair Al-Muslimin? Sesederhana itu kan logika mereka?

Kemudian, para kiai NU yang sudah bersusah-payah, mengeluarkan tenaga, pikiran, dan waktu untuk mendiskusikan banyak hal terkait urusan keagamaan dan kebangsaan, dilabeli 'sesat' karena tidak menyebut 'kafir' kepada umat beragama yang bukan Islam. Ini kan, aneh.

Barangkali labelisasi 'sesat' itu yang menyulut warga dan pengurus NU sehingga bersifat reaksioner. Semua turun gunung, saling baku-hantam, memukul dengan kata-kata, di belantara hutan bernama: media sosial. Gaduh? Banget. 

Wajar bila masyarakat kaget dengan keputusan NU. Sangat wajar. Terlebih bagi mereka yang tidak sama sekali tahu bagaimana forum bahtsul masail, dan tidak pernah merasakan dinamika intelektual atau khazanah keilmuan di pesantren.

Tapi saya berpesan kepada warga, pengurus, dan (mohon maaf) para kiai NU, mbok ya jangan lantas menghakimi mereka. Bukankah selama ini NU yang mengajarkan toleransi? Termasuk juga mengajarkan tentang pentingnya sikap legawa saat orang lain tak bisa menerima argumentasi pemikiran kita.

NU yang lahir sebagai antitesis dari gerakan wahabi-puritanisme yang memutlakkan kebenarannya sendiri, menganggap yang lain salah, kini justru sebagian warga (dan bahkan pengurus) bertindak merasa paling pintar dari orang lain yang dianggap tidak sependapat-sepemahaman.

Intinya, saya mengajak untuk tidak bersikap sebagaimana kelompok yang selama ini tidak disukai oleh NU. Eh boleh ngritik NU gak, sih? Kalau gak boleh, ya sudah cukup sampai di sini pembahasannya.

Sekian. Wallahul muwafiq ilaa aqwamith-thoriq. 

Bersambung...
Previous Post
Next Post