Kamis, 28 Februari 2019

Menjadi Kader NU Militan, Bisakah?


Foto bersama dengan Menteri Hanif Dhakiri


Pada Jumat-Ahad, 22-24 Februari 2019 lalu, Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Bekasi untuk kali kedua mengadakan Madrasah Kader Nahdlatul Ulama (MKNU), masih di tempat yang sama, yakni Wisma Kemnaker RI, Ciloto, Cianjur, Jawa Barat.

Sebelumnya, saya pernah mengikuti kegiatan yang bertujuan menyelaraskan pemahaman tentang Islam Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdliyah ini pada sekira awal Agustus 2018. Maka sesungguhnya, saya ini sudah resmi --dan saya bangga-- disebut Kader NU Kota Bekasi.

Pekan lalu, MKNU diikuti oleh sekitar 150 peserta, bahkan lebih. Para peserta itu didominasi oleh pengurus Majelis Wakil Cabang (MWC) dan Pengurus Ranting (PR) NU se-Kota Bekasi, juga para kiai yang kelak akan mengurusi NU di tingkat cabang.

Sedangkan saya, datang tidak untuk menjadi peserta. Yakni hanya sebagai juru pencatat atau katakanlah jurnalis. Tak ada momen --kecuali saat saya tidur karena sudah tidak kuat menahan kantuk-- yang terlewat. Termasuk berbagai materi yang disajikan dari instruktur yang didatangkan dari PWNU Jawa Barat H Asep Saepudin Abdillah, Wasekjen PBNU H Ulil Abshar, dan Menteri Ketenagakerjaan RI M Hanif Dhakiri.

Saya menempatkan diri di pojok ruang, agak jauh dari peserta. Tujuannya, tentu saja agar bisa fokus mencatat poin-poin penting yang disampaikan pemateri. Sejurus kemudian, saya posting di website kebanggaan warga NU Bekasi. Perihal video dan foto-foto, saya tuangkan ke media sosial; facebook, instagram, dan twitter milik NU Bekasi.

Yang paling saya suka dari MKNU adalah egalitarianitas yang ditunjukkan selama kegiatan berlangsung. Meski secara sosial atau kedudukan di kehidupan, memiliki strata berbeda; tapi begitu dihadapkan pada persoalan menjadi NU yang kaffah, baik kiai, ustadz, atau pengurus biasa seperti saya ini, semua sama. Sama-sama belajar.

Menjadi NU memang tak semudah membaca surat yasin dan tahlil saban malam Jumat atau saat ziarah kubur. Tapi ada banyak sekali pengetahuan yang tentu akan membedakan status sebagai 'kader' dan 'warga'. 

Menteri Ketenagakerjaan RI, M Hanif Dhakiri, juga menjadi pemateri. Satu hal yang paling saya ingat, dia mengatakan bahwa NU kaffah itu adalah jika amaliyah, harakah, dan ghiroh sudah selaras dengan garis perjuangan sejak awal berdirinya Nahdlatul Ulama.

"Sejak zaman Rois Akbar Hadlratussyaikh KH Hasyim Asy'ari hingga Ketua Umum KH Said Aqil Siroj, NU tetap sama. Tidak sedikit pun berubah," kata Mas Hanif, begitu Caleg DPR RI Dapil Jawa Barat VI (Kota Depok - Kota Bekasi) ini akrab disapa.

NU akan senantiasa memainkan peran sesuai porsi, tidak berlebih dan juga tidak kurang. Sebagai contoh, misalnya, NU selalu bersikap kooperatif dengan penguasa, siapa pun pemimpin negeri ini. Maka sungguh, merekalah warga NU baru yang tak pernah ikut perkaderan jika mengatakan NU penjilat 'bokong' penguasa.

Ketika orde lama misalnya, ideologi komunis merangsek ke dalam tubuh pemerintahan, kemudian NU berperan dengan memasukkan ideologi agama ke dalamnya. Maka tercetuslah sebuah akronim; Nasakom (Nasionalis-Agamis-Komunis).

Tapi toh, para kiai pula yang ikut menumpas pemberontakan PKI ketika itu. Para kiai juga yang berdarah-darah memperjuangkan bangsa ini agar tidak terwarnai secara keseluruhan oleh paham komunis yang memang tidak sesuai dengan sosio-kultur masyarakat Indonesia.

Maka kemudian, NU memiliki siyasah atau strategi politik tersendiri. Yakni yang disebut sebagai politik kebangsaan; siyasah wathoniyah. Bukan siyasah sulthoniyah atau politik kekuasaan. Tugas NU bukan pada perebutan kekuasaan, tapi menjaga bangsa dari pendangkalan akal dan penindasan fisik. 

Namun demikian, kekuasaan tetap menjadi sesuatu yang mesti dicapai untuk mampu memberikan kemaslahatan kepada orang banyak. Ya, kekuasaan bagi NU bukan serupa senjata untuk melumpuhkan lawan dan mematikan gerak musuh, tapi bertujuan untuk melaksanakan tugas-tugas kenabian. Itulah kenapa kemudian ada konsep maqasid syari'ah.

Memelihara agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan merupakan syarat mutlak yang harus dilakukan dalam rangka menegakkan syariat Islam di muka bumi. Nah, untuk mewujudkannya adalah dengan menduduki kekuasaan. Meski negara tak berhukum Islam, tapi jika kelima hal tersebut di atas mampu terpelihara, maka syariat sudah sangat jelas ditegakkan.

Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siroj pernah mengatakan:
"Mencapai suatu kedudukan dengan niat tujuan yang baik dan cara yang baik serta benar, namanya himmah, bukan ambisius. Mencapai suatu kenikmatan dengan niat tujuan yang benar dan baik namanya 'azimah, bukan hubbusyahwah dan hubbudunya."

Oke, kita kembali ke MKNU.

Di tengah suasana hiruk-pikuk seperti akhir-akhir ini, NU yang kerapkali menjadi sasaran tembak bagi para pembencinya, dan politik identitas kian menguat, maka MKNU menjadi sangat berharga.

Betul, MKNU adalah sarana membentuk identitas baru. Tapi dalam sebuah organisasi, identitas itu sangat penting untuk menjadi acuan sejauh mana pengetahuan atau keilmuan seseorang yang terlibat di dalamnya.

Nah, kader NU inilah yang nantinya harus bertugas sebagai pemadam kebakaran. Memadamkan api permusuhan yang berkobar di mana-mana. Bukan justru ikut menjelek-jelekkan para kiai, dan bahkan pendahulu NU. 

Terakhir, saya ingin katakan bahwa percayalah bahwa karomah dan barokah itu nyata. NU bukan organisasi biasa karena terdapat energi positif yang mampu menggerakkan alam bawah sadar untuk tulus berkhidmat kepada masyarakat.

Jangan kemudian merasa paling berjasa dalam menjalankan organisasi NU. Sesungguhnya NU sudah besar dengan sendirinya tanpa dibesar-besarkan. Justru mereka yang merasa besar karena telah menghidupi NU, suatu saat nanti akan tersingkir dengan sendirinya.

Kini, kader NU pasca mengikuti MKNU punya tanggung jawab besar dalam mengemban amanah. Menjunjung tinggi martabat dan marwah para ulama, kewibawaan organisasi, serta harus tunduk-patuh pada agama dan negara.

Sebagaimana tema MKNU Angkatan Kedua Kota Bekasi itu, yakni 'Membentuk Kader Militan', itu berarti seorang kader wajib hukumnya memiliki jiwa militansi yang tinggi; kemauan dan tekad bulat untuk mengharumkan wewangian Aswaja An-Nahdliyah di daerah masing-masing, serta 'sendiko dawuh' terhadap titah dan petuah para ulama. 


Bagaimana? Bisakah kita menjadi kader NU yang militan? Wallahua'lam...


*Ditulis saat dalam perjalanan menuju Kota Banjar, di atas Kereta Api Luar Biasa Nahdlatul Ulama, 26 Februari 2019
Previous Post
Next Post