Rabu, 27 Desember 2017

Iblis dan Kesalahpahaman Kata-kata




Situasi dan dinamika di Universitas Islam “45” (Unisma) Bekasi masih sangat genting. Sebab, sudah 3 hari berturut-turut sejak hari pertama perkuliahan dimulai hingga Rabu (20/9) petang, aktivis mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Unisma Bekasi terus-menerus melancarkan tuntutan kepada pihak kampus, dalam hal ini pejabat rektorat.

Tuntutan tersebut merupakan satu diantara tiga hal. Yakni terkait transparansi dana kemahasiswaan, selain tuntutan fasilitas dan mutu pendidikan. Kabarnya, Jumat (21/9) akan diadakan audiensi antara mahasiswa dengan rektorat di Gedung Pascasarjana lantai 3. Di sana, akan dipaparkan rincian sedetail-detailnya oleh pihak rektorat.

Terlepas dari itu, rupanya cukup banyak pihak yang tidak suka atau tersinggung dengan beberapa tulisan saya yang sebelumnya. Walau tidak sedikit yang memberi apresiasi dan semangat untuk terus melanjutkan perjuangan. Jujur, tulisan tersebut saya jadikan sebagai pemantik aksi. Harapannya agar seluruh mahasiswa, baik yang ada di dalam barisan perjuangan maupun tidak, mampu mencerna dengan cara yang apik. Yakni mengenai beberapa poin penting yang telah menjadi keresahan bersama.

Beberapa hari lalu, saya menulis dengan judul, “Unisma Bekasi, Ladang untuk Bisnis Pendidikan”. Sementara kata-kata yang dipermasalahkan adalah sebuah kalimat yang berbunyi, “Gedung Biru. Tempat bersemayam para iblis, pembunuh berdarah dingin, dan preman berdasi.” Permasalahan itu menjadi percikan yang dapat membakar amarah. Tentu, saya sudah memperhitungkan hal itu.

Namun, saya pastikan percikan itu disebabkan karena adanya kesalahpahaman kata-kata. Lebih tepatnya, salah paham dalam menafsirkan kata per kata. Walau demikian, saya tetap mengamini bahwa teks memiliki kekuatan sangat dahsyat. Dia bersifat multitafsir. Siapa pun berhak berasumsi, berkomentar, dan menanggapi. Sayangnya, tidak ada tanggapan berupa tulisan.

Padahal saya berharap ada tulisan balasan dari seluruh pihak yang merasa tersinggung atas kata-kata itu. Sebagaimana –bisa kita ambil contoh walau tentu sangat jauh berbeda– yang dilakukan Ibnu Rusyd dengan Imam Ghazali. Keduanya sangat serius untuk saling menanggapi satu sama lain. Hingga pada akhirnya, tulisan-tulisan kedua tokoh itu menjadi rujukan banyak orang.

Kembali ke soal kata-kata dalam tulisan saya yang dijadikan permasalahan serius. Saya sebagai penulis juga akan menanggapi dengan tidak sebercanda tahu bulat yang dijadikan lelucon oleh anak-anak kecil perumahan. Karena tidak ada tulisan balasan, maka dengan sangat senang hati akan saya bahas dalam tulisan ini. Semoga tidak terjadi kesalahpahaman yang serupa di kemudian hari.

Begini. Tulisan saya terinspirasi dari orasi ketika di Gedung Rektorat pada Senin (18/9). Ketika itu, semua orang yang bekerja di gedung berwarna biru itu keluar. Dengan ditemani pagar betis oleh Satuan Pengamanan (Satpam) kampus, seluruh birokrat menyaksikan dan menyimak orasi saya.

Kemudian, saya katakan dalam orasi bahwa barangkali di dalam gedung itu terdapat iblis yang bersemayam, sehingga rektorat tergoda dan berusaha menutupi kebenaran. Kemudian, agar iblis yang bersemayam di dalam daoat keluar, saya mengajak peserta aksi untuk bersama-sama melantunkan nyanyian istighfar. 

    Astaghfirullah Robbal Barooya. Astaghfirullah Minal Khothooyaa.

Kata “iblis” itu kemudian saya masukkan ke dalam tulisan. Disandingkan dengan pembunuh berdarah dingin dan preman berdasi. Lalu, cibiran datang. Saya dianggap tak beretika karena pemilihan kata yang kasar. Sesungguhnya, tersinggung sangat berbeda tipis dengan rasa kegeeran yang dilakukan secara berlebihan.

Padahal sebenarnya, kata “iblis” tidak ditujukan kepada para birokrat yang terhormat itu. Kalau kurang yakin, silakan dibaca kembali. Hal itu diharap agar tidak ada ketersinggungan atau kegeeran baru di lain waktu. Sebab iblis, pembunuh berdarah dingin, dan preman berdasi merupakan tiga objek yang berbeda makna.

Pertama, iblis yang dimaksud merupakan makna denotasi. Bahwa di setiap ruang, gedung, dan bangunan pasti ada iblis yang bersemayam. Kerjanya, tentu menggoda manusia untuk berlaku tidak sesuai dengan koridor seharusnya. Saya tidak akan menjelaskan soal dialektika kehidupan iblis, Sebagian ada yang mengatakan bahwa iblis adalah makhluk Tuhan yang paling taat. Sebagian lagi menyatakan kalau iblis merupakan makhluk terkutuk sepanjang masa.

Kedua, pembunuh berdarah dingin. Kalimat tersebut sering digaungkan oleh aktivis mahasiswa di Unisma Bekasi. Bahwa pejabat kampus seringkali meninabobokan mahasiswa. Serupa zat adiktif. Mengatasnamakan ketertiban dan pembenahan, tapi sebenarnya secara perlahan mengebiri segala macam aktivitas mahasiswa. Singkatnya, sistem kapitalis dengan mengawinkan sikap humanistik kini sedang dimainkan. Ya, kapitalis-humanis.

Ketiga, preman berdasi. Istilah ini lahir dari pengalaman mahasiswa yang acapkali mendapat ancaman berupa Drop Out atau nilai buruk. Biasanya ancaman itu ditujukan kepada mahasiswa baru. Tujuannya agar tidak masuk ke dalam barisan yang sedang mengkritisi berbagai kebijakan kampus. Ancaman atau intimidasi itu kini sedang berlangsung. Di beberapa fakultas, mahasiswa baru diinstruksikan oleh para dosen agar langsung pulang usai kuliah di kelas. Karena didoktrin bahwa aksi atau demonstrasi itu tidak penting, urakan, melanggar etika dan tata krama.

Padahal sangat jelas bahwa aksi tersebut didasarkan pada kepedulian terhadap hak seluruh mahasiswa. Ironinya, sebagian besar dosen justru melakukan doktrinasi yang demikian, Namun, walau bagaimana pun, Aliansi Mahasiswa Unisma Bekasi tetap berjuang demi menegakkan keadilan dan kemaslahatan masyarakat kampus.

Jadi, bagaimana? Saya sudah jelaskan semua. Setidaknya dengan terbitnya tulisan ini dapat mengurangi rasa kegeeran yang timbul akibat sikap yang reaksioner. Sehingga bermunculan intimidasi dan ancaman pembinasaan kepada saya. Sekali lagi saya tegaskan, saya siap menanggung segala macam konsekuensi dan resiko. 

Sebagai saran, kalau tidak suka terhadap tulisan saya yang menohok, silakan lawan dengan tulisan. Bukan dengan cibiran, intimidasi, dan ancaman yang membuat emosi tak terkendali. Santai saja. Tulisan melawan tulisan akan terlihat lebih keren. Menandakan bahwa diantara kita sudah tercipta kemapanan berpikir dan bertindak. Karena menulis adalah melawan.

Ayo, Bung. Mapanlah dalam berpikir.



Wallahul muwafiq ilaa aqwamiththoriq

Aru Elgete

(Menulis dengan dua tangan; Tangan kanan untuk berteman, sedang yang kiri untuk melawan)

Ditulis di Desa Sirnabaya, Karawang, pada 22 September 2017




(Sumber tulisan: jagatngopi.com)


Previous Post
Next Post

0 komentar: