Rabu, 13 Desember 2017

Kota Suci Tiga Agama dan Laboratorium Teater Korek


Sumber gambar: malangtoday.net


Jerusalem atau Yerusalem merupakan sebuah kota yang menjadi peradaban penting di muka bumi. Terlebih, menjadi perjalanan sejarah panjang bagi para penganut agama Abrahamik. Sebuah kepercayaan yang mengerucut pada nenek moyang keberagamaan dunia. Dalam literatur Islam, dikenal dengan sebutan Ibrahim ‘alahissalam.

Kota Suci itu, yang dalam bahasa Ibrani disebut Yerushalayim dan dalam bahasa Arab disebut al-Quds terdapat beragam peristiwa yang terjadi. Sepanjang masa. Mulai dari adegan harmoni kerukunan umat beragama, hingga narasi kebencian mengemuka dan pertumpahan darah yang membabi-buta. Semua orang mengerutkan dahi, mendecak kagum, dan bahkan menggeleng kepala saat mata tertuju kepadanya.

Yahudi, Kristen, dan Islam disebut sebagai agama yang turun dari langit menjadi saksi sejarah abadi. Ketiganya pernah hidup berdampingan, menebar dan menabur cinta kasih, serta meniadakan permusuhan. Moses (Musa, dalam bahasa Arab), Yesus (Isa dalam bahasa Arab), dan Muhammad adalah messias yang pernah singgah di tanah nan suci itu; Yerusalem, Darussalam. Ketiga tokoh berpengaruh itu, pernah menorehkan tinta emas membangun peradaban di sana.

Namun, entah karena kepentingan politik dan kekuasaan; atau memang murni karena persoalan agama, Yerusalem berubah warna dan bentuk. Kehidupan di sana tak lagi mencerminkan peradaban dan keadaban yang telah diperkenankan oleh para nabi kepada seluruh umat manusia. Kini, semua saling berebut. Orang-orang merasa memiliki keterkaitan sejarah sehingga menghalalkan segala cara untuk mendaku, bahwa Yerusalem kepunyaan pribadi atau kelompok.

Di sana terdapat pusat yang disebut sebagai Kota Tua. Yakni, sebuah labirin gang-gang sempit dan arsitektur bersejarah yang menandai empat penjuru kota. Empat penjuru itu adalah kawasan Kristen, Muslim, Yahudi, dan Armenia. Kemudian dikelilingi dinding batu berupa benteng tempat berdirinya sejumlah situs tersuci di dunia. 

Setiap kawasan mewakili populasi tersendiri. Orang-orang Kristen memiliki dua kawasan, karena orang-orang Armenia juga beragama Kristen. Kawasan Armenia ini, yang terkecil dari keempatnya, adalah salah satu pusat Armenia tertua di dunia. Di sana terdapat Gereja Makam Kudus. Sebuah tempat ziarah penting dalam kisah Yesus; kematian, penyaliban, dan kebangkitannya.

Dalam tradisi Kekristenan, Yesus disalibkan di sana, di bukit Golgota atau Kalvari. Makamnya terletak di dalam bangunan pekuburan yang diyakini sebagai tempat kebangkitannya. Tempat itu menjadi salah satu tujuan ziarah utama bagi ratusan juta orang Kristen di dunia yang mengunjungi makam Yesus dan mencari penebusan dalam doa di lokasi tersebut.

Sementara di Kawasan Muslim berisi tempat suci Kubah Batu (Kubah As-Shakrah atau Dome of the Rock) dan Masjid Al-Aqsa di dataran tinggi yang dikenal sebagai Haram Al-Sharif. Umat Islam meyakini bahwa Nabi Mmuhammad datang ke Masjid Al-Aqsa dalam perjalanan malam Isra-Miraj. Kemudian, Nabi Pamungkas itu salat dan berdoa bersama ruh para nabi.

Selain itu, di Kawasan Yahudi terdapat Dinding Ratapan atau Tembok Barat. Sisa dari dinding tempat berdirinya Bait Suci zaman dulu. Di dalam tempat suci itu, ada Ruang Maha Kudus, situs paling suci dalam agama Yahudi. Umat Yahudi percaya bahwa di sana adalah tempat batu fondasi penciptaan dunia dan tempat Abraham siap mengorbankan anaknya, Ishak.

Ketiga agama itu memiliki kaitan sejarah yang erat dan rekat. Maka, tak heran seluruh umat beragama di dunia mengecam keras Presiden Amerika Serikat Donald Trump saat mengeluarkan kebijakan dan pernyataan bahwa Yerusalem adalah Ibu Kota Israel. Kebijakan itu kemudian ditentang oleh seluruh kepala negara di dunia. Karena dengan kebijakan itu, Trump sama dengan mencederai sejarah peradaban yang telah dibangun oleh tiga agama terbesar di dunia.


Laboratorium Teater Korek



Nun jauh beranjak dari Yerusalem. Di kampus Universitas Islam “45” (Unisma) Bekasi berdiri kokoh sebuah bangunan tua bersejarah yang memiliki sejarah panjang peradaban dan keadaban. Pada mulanya, ruang pada bangunan itu antah-berantah, tak berperadaban sama sekali. Kosong. Menurut penuturan beberapa sumber, ruang yang kini diberi nama Laboratorium Teater Korek adalah eks-musala. Sebelum Masjid Al-Fatah Unisma Bekasi didirikan, yang lokasinya berada di tengah kampus, semua orang beribadah di Musala itu.

Bertahun, ruang itu tak berpenghuni. Tidak dilirik sama sekali. Bahkan, menjijikkan. Puing-puing, bambu bekas, segala jenis hewan melata dan mamalia bersamayam di sana. Gelap. Semua orang berbondong meninggalkan. Tak mengindahkan sama sekali. Memang, secara legalitas-formal, Laboratorium Teater Korek merupakan sebuah bangunan yang masih kepunyaan pihak kampus. Walau secara sosial-kebudayaan, dikelola langsung oleh mahasiswa.

Seiring waktu berjalan, anak-anak remaja yang menamai dirinya mahasiswa, berbenah. Ruang itu dijadikan tempat untuk membangun peradaban baru. Kala itu, pihak kampus sama sekali tak berkeberatan. Di dalamnya, menetas karya-karya baru. Seluruh orang dirangkul untuk bersama-sama membangun kehidupan yang dimulai dari bangunan tua bersejarah itu. Ruang yang semula sunyi, melahirkan bunyi. Sebuah puisi tanpa sajak, syair tanpa rima, dan prosa tak berbentuk. Yakni, yang dinamakan keniscayaan.

Laboratorium Teater Korek itu, kini dipersoalkan oleh berbagai pihak. Semua merasa terlibat dalam perjalanan sejarahnya. Persis seperti Yerusalem. Ada pihak yang merasa memiliki karena saban hari mengisi kekosongan di sana. Mencari bentuk dan menggali minat, bakat, serta potensi yang ada dalam diri. Ada pula pihak yang merasa memiliki karena merasa terikat kuat batin dan rasa. Merekalah para guru dan para aktivis mahasiswa yang telah memberi pelajaran dan pengajaran penting di dalamnya.

Terakhir, tentu saja pihak kampus. Yang semula membiarkan ruang ini hidup. Mengapresiasi segala bentuk dan warna yang telah dibuat oleh anak-anak remaja di dalamnya. Pihak yang disebut terakhir ini merasa memiliki kepentingan untuk mewadahi organisasi yang belum terfasilitasi. Kemudian, muncul pertanyaan baru; “Benarkah untuk berbuat kebaikan, mesti meniadakan yang lain, mematikan yang hidup, dan membunuh peradaban yang sudah susah-payah dibangun?”

Kalau begitu, sama halnya dengan cerita legendaris Si Pitung di Tanah Betawi dan Robin Hood di Tanah Britanian? Mengerjakan kebajikan dengan mencuri. Pitung dan Robin, masih bisa dibenarkan karena yang menjadi objek pemberangusan adalah orang-orang kaya yang kerjanya merampas rakyat kecil. Lantas bagaimana dengan pihak kampus Unisma Bekasi? Entahlah.

Saran saya, sebagaimana juga Yerusalem, Laboratorium Teater Korek mestinya tidak dijadikan sebuah lokasi atau tempat yang hanya diperuntukkan bagi salah satu pihak saja. Tetapi untuk semua, demi kemaslahatan bersama. Yerusalem pun demikian. Biarlah menjadi situs suci perjalanan tiga agama. Secara kebudayaan, hal itu yang mesti menjadi perhatian lebih bagi seluruh orang yang menyuarakan kebenaran bagi Yerusalem, dan tentu saja Teater Korek.

Berkaitan dengan itu, Teater Korek Unisma Bekasi akan mengadakan sebuah pementasan malam persembahan yang bertajuk “Ruang-Raung”. Sebuah pertunjukkan yang berangkat dari kegelisahan sehari-hari. Pertunjukkan “Ruang-Raung” akan dilaksanakan pada Jum’at 22 Desember 2017 di Laboratorium Teater Korek, yang lokasinya berada di bagian belakang kampus. Sila sisihkan waktu untuk menyaksikan sebuah pertunjukkan yang mengangkat sisi sejarah dan kekinian ruang atau bangunan bersejarah itu.



Tabik,


Aru Elgete
Bekasi, 13 Desember 2017
Previous Post
Next Post

0 komentar: