Minggu, 11 Agustus 2019

Iduladha, Qurban, dan Kemanusiaan


Ilustrasi. Sumber: rri.co.id

Dalam kehidupan bermasyarakat, kikir merupakan penyakit terbesar yang sering muncul. Seorang yang kikir dalam membelanjakan hartanya di jalan Allah, berarti kikir terhadap dirinya sendiri. 

Namun sebaliknya, jika ikhlas menginfakkan hartanya di jalan Allah, berarti telah mengangkat derajat dirinya ke tempat yang terpuji.

Dengan demikian, syariat berqurban merupakan wahana pendidikan umat dalam bermasyarakat. Berqurban bukan sekadar ibadah ritual yang mencerminkan rutinitas, tetapi juga merupakan ibadah yang berdimensi horizontal, membentuk kepedulian sosial terhadap sesama.

Seperti halnya puasa (ibadah yang hakikatnya mendidik seorang muslim agar mempunyai motivasi yang suci dan kuat, serta menaruh belas kasih terhadap orang lain) yang diberlakukan Allah sejak lama (sebagaimana disebut dalam surat Al Baqarah: 183), ibadah qurban juga telah disyariatkan Allah kepada umat terdahulu. Allah berfirman:

“Dan bagi setiap umat telah kami syariatkan penyembelihan (qurban) agar mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka. Maka Rabb-mu ialah Rabb Yang Maha Esa. Karena itu, berserah dirilah kamu kepada-Nya dan berilah kabar gembira kepada orang yang tunduk patuh (kepada Allah).” (QS. Al Hajj 34).

Qurban berarti dekat atau mendekati. Penyembelihan binatang ternak dilakukan pada hari raya haji atau Iduladha, yakni pada 10, 11, 12 dan 13 Dzulhijjah. Dalam sejarah, qurban juga disebut udhiah (menyembelih binatang di waktu matahari sedang naik di pagi hari) yang berasal dari kata dahwah atau dhuha diambil dari kata dahiyah yang jamaknya udhiah.

Dasar Pelaksanaan Qurban

Setidaknya, terdapat tiga dasar pelaksanaan Qurban. Pertama, Firman Allah SWT: “Sesungguhnya kami telah memberikan nikmat yang banyak. Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berqurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.” (QS. 108: 1-3).

Kedua, Firman Allah SWT yang artinya: “Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagian dari syiar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat).

Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (tidak meminta-minta), dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur.” (QS 22: 36).

Ketiga, Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang memperoleh suatu kelapangan, tetapi dia tidak berqurban, janganlah ia menghampiri tempat salat kami.” (HR Ahmad dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).

Berdasarkan ayat dan hadits di atas, dapat dipahami bahwa hukum melaksanakan ibadah qurban bukan wajib, tetapi sunnah muakkad (sunah yang dikuatkan). 

Hal ini didasarkan pada hadits Rasulullah SAW: “Apabila kamu melihat hilal (awan bulan) Dzulhijjah dan salah seorang di antara kamu ingin berqurban, hendaklah ia menahan (diri untuk memotong) rambut dan kuku-kukunya (binatang yang akan diqurbankan).” (HR Jamaah kecuali Bukhari dari Ummu Salamah).

Sejarah Qurban

Asal usul ibadah qurban dalam Islam berawal dari peristiwa Nabi Ibrahim AS bersama anaknya, Nabi Ismail AS. Peristiwa itu berawal dari mimpi Nabi Ibrahim AS.

Dalam mimpinya, Nabi Ibrahim mendapat perintah dari Allah SWT untuk menyembelih anaknya. Oleh karena mimpi itu menurut keyakinannya merupakan mimpi yang benar, maka ia menawarkan kepada Ismail.

“Hai, anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah apa pendapatmu?” (QS. 37: 102).

Mendengar perintah ayahnya, Ismail pun dengan yakin dan ikhlas menjawab penuh hormat, "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar." (QS. 37: 102).

Kemudian  Nabi Ibrahim membawa Ismail ke suatu tempat yang sunyi di Mina. Sebelum penyembelihan dimulai, Ismail mengajukan tiga permohonan. 

Pertama, sebelum ia disembelih hendaknya terlebih dulu Ibrahim menajamkan pisaunya agar ia cepat mati dan tidak lagi timbul kesakitan maupun penyesalan ayahnya.

Kedua, ketika menyembelih wajah Ismail harus ditutup agar tidak timbul rasa ragu dalam hati ayahnya, karena merasa kasihan melihat wajah anaknya.

Ketiga, bila penyembelihan telah selesai agar pakaian Ismail yang berlumuran darah dibawa ke hadapan ibunya, sebagai saksi bahwa qurban telah dilaksanakan.

Dengan berserah diri kepada Allah, Ismail pun dibaringkan dan dengan segera Nabi Ibrahim menyentakkan pisaunya dan mengarahkan ke leher anaknya. Akan tetapi, Allah SWT mengganti Ismail dengan seekor domba besar (QS. 37: 107).

Peristiwa Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail kemudian diabadikan oleh Allah SWT menjadi salah satu unsur syariat Islam, yang hingga kini dilaksanakan oleh setiap muslim yang mampu.

Hukum Menyembelih Qurban

Pertama, ketentuan umum:
Sembelihlah (al-dzabihah) hewan yang dihalalkan untuk memakannya dan disembelih secara syariat Islam. Yaitu disembelih dengan cara memotong jalan darah (dua urat nadi) lehernya (wadajain), jalan napas (al-hulqum), dan jalan makanan, minuman, dan kerongkongan (al-mari’u) dengan menggunakan alat yang tajam seperti pisau dan alat lainnya selain gigi, tulang, dan kuku dengan terlebih dahulu menyebut nama Allah (membaca basmalah).

Hewan yang disembelih adalah hewan yang dihalalkan oleh syariat Islam berdasarkan keterangan dari Al-Quran dan hadits.

Kedua, ketentuan hukum:
Bahwa penyembelihan berdasarkan syariat Islam adalah penyembelihan hewan yang dihalalkan dengan mengikuti ketentuan syarat, rukun, dan adab atau etika penyembelihan.

Syarat bagi penyembelih adalah beragama Islam atau ahli kitab. Telah baligh, berakal, dan mumayyiz. Alat yang digunakan untuk menyembelih adalah benda atau alat yang tajam seperti pisau dan golok.

Cara penyembelihan adalah dengan memotong jalan darah dua urat nadi leher (wadazain), jalan nafas (al-hulqum) dan jalan makanan, minuman, atau kerongkonan (al-mari'u).

Sementara itu, syarat bagi hewan yang disembelih adalah hewan yang dihalalkan oleh syariat berdasarkan ketentuan Al-Qur'an dan Hadits. Kemudian, hewan yang tidak cacat karena bisa mengurangi dagingnya atau bisa menimbulkan bahaya.

Tak hanya itu, keadaan hewan juga yang memungkinkan untuk disembelih secara sempurna (maqdur 'alaih). Hewannya pun yang telah cukup umur, yakni untuk unta berusia 5 tahun, sapi atau kerbau berumur 2 tahun, dan kambing atau domba berumur 1 tahun memasuki umur 2 tahun. 

Waktu yang telah ditentukan syariat untuk melakukan penyembelihan hewan Qurban yaitu pada Hari Raya Iduladha dan Hari Tasyrik (10-13 Dzulhijjah).

Terdapat enam hal yang harus dilakukan saat menyembelih hewan Qurban. Keenam hal ini merupakan adab dan etika yang dianjurkan dalam Islam.

Pertama, niat untuk menyembelih sebagai ibadah kepada Allah. Kedua, membaringkan hewan yang akan disembelih ke sebelah kiri dan menghadapkannya ke arah kiblat. Ketiga, membaca basmalah, salawat, dan berdoa.

Keempat, tempat memotong di bagian bawah leher, dan leher tidak sampai putus. Kelima, menguliti hewan baru akan dilakukan setelah yakin bahwa hewan yang disembelih itu benar-benar mati. Keenam, hindari penggorokan leher hewan yang masih sekarat karena dipandang menyakitkan.

Hikmah Berqurban

Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada satu pun perbuatan manusia yang paling disukai Allah pada hari raya haji (selain) dari mengalirkan darah (berqurban). Sesungguhnya orang yang berqurban itu datang pada hari kiamat membawa tanduk, bulu dan kuku binatang qurban dan sesungguhnya darah (qurban) yang mengalir itu akan lebih cepat sampai kepada Allah (darah itu) jatuh di permukaan bumi.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Asyiah).

Sesungguhnya Al-Quran mengajarkan dan menyeru kepada kita untuk mencapai ketinggian derajat dan predikat terbaik. Sikap itu harus kita jadikan kepribadian yang senantiasa melekat dalam kehidupan sehari-hari. Firman Allah:

“Hai orang-orang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (Al Baqarah: 267).

Peristiwa-peristiwa yang dialami Ibrahim yang puncaknya dirayakan sebagai Iduladha atau Hari Raya Qurban, harus mampu mengingatkan bahwa yang dikorbankan tidak boleh manusia, tetapi sifat-sifat kebinatangan yang ada dalam diri manusia. 

Sifat-sifat itu semacam rakus, ambisi yang tak terkendali, menindas, menyerang, dan tidak mengenal hukum norma-norma apa pun. Sifat-sifat yang demikian itulah yang harus dibunuh, ditiadakan, dan dijadikan korban demi mencapai qurban (kedekatan) diri kepada Allah SWT.

Itu sebabnya Allah mengingatkan: “Daging dan darahnya sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketawakalanmu-lah yang dapat mencapainya.” (QS. 22: 37).

Dengan demikian, tidak ada kaitan antara daging, darah, dan qurban (kedekatan kepada Allah). Kalaupun ada, maka ia ditemukan antara lain dalam rangka meringankan beban yang butuh, serta mengangkat derajat kemanusiaan.

Bukankah daging-daging qurban itu seharusnya diberikan kepada mereka? Bahkan, bukankah penyembelihan Nabi Ismail itu justru bertujuan menyelamatkan manusia dan untuk menerima kasih sayang Tuhan? Inilah sebagian nilai yang terkandung pada Hari Raya Qurban. Selamat Hari Raya Iduladha 1440 H.
Previous Post
Next Post

0 komentar: