Sumber: twitter |
Kini, sebagian masyarakat Indonesia sedang ramai memperbincangkan salah satu organisasi Islam di Indonesia: Front Pembela Islam, soal diperpanjang atau tidak izinnya.
Sementara itu, santer dikatakan oleh pemerintah, sebagai pengelola negara, persoalan izin FPI sedang dalam proses pemeriksaan atau hanya berkutat pada wilayah administratif. Namun, ada anggapan bahwa proses yang lama ini terdapat unsur politis.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, misalnya, mengatakan bahwa seluruh ormas di Indonesia, tak terkecuali FPI, jika izinnya ingin diperpanjang, maka harus melalui tahap pemeriksaan terkait rekam jejak selama ini.
Ada pula yang mengatakan, bahwa FPI belum memenuhi beberapa syarat yang wajib dipenuhi, juga belum keluarnya surat rekomendasi dari Kementerian Agama. Lalu, bagaimana dengan kita sebagai masyarakat awam melihat FPI? Perlukah diperpanjang izin FPI di negeri ini?
Sebagaimana judul tayangan Mata Najwa, pada 31 Juli 2019, FPI ini menjadi 'Simalakama Ormas'. Segala sesuatunya jadi serba salah, bagi pemerintah maupun untuk kita sebagai bagian dari masyarakat yang tak terlibat secara keorganisasian di FPI.
Saya sendiri, sesungguhnya tidak sepakat jika FPI dibubarkan. Kenapa? Ada beberapa hal yang mesti kita kaji dan melihat berbagai kemungkinan yang terjadi. Baik secara politis maupun ideologis.
Di anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, sangat masif terdengar bahwa tidak ada menyebut FPI ini patuh terhadap ideologi negara; Pancasila. Tetapi pengurus FPI, termasuk Sekretaris Umum FPI, Munarman mengatakan, FPI adalah ormas yang taat dengan Pancasila. Secara retoris, dia mengatakan: "Aksi FPI yang mana, yang kemudian bertentangan dengan Pancasila?"
Kita tahu, selama ini FPI seringkali berbuat 'ulah'. Melakukan pengrusakan di mana-mana dengan dalih menegakkan Islam, melalui gerakan amar ma'ruf nahi munkar. Bahkan, banyak juga aksi-aksi yang dilakukan FPI ini memakan korban jiwa. Dalam hal ini, kelompok minoritas, seperti Ahmadiyah, punya pengalaman buruk tersendiri dengan FPI.
Begitu pula halnya para pecinta Gus Dur, penebar gagasan toleransi, keberagaman, dan perdamaian. Saya masih ingat, FPI melakukan aksi kekerasan di Monumen Nasional, saat sedang berlangsung acara lintas agama dan doa bersama. KH Maman Imanulhaq, politisi PKB, pernah mengalami luka-luka.
Bukan hanya itu, dalam tayangan galawicara di salah satu televisi swasta, Kang Maman, yang ketika itu kepalanya masih diperban karena luka, diadu argumentasinya dengan Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab yang tetiba saja mengatakan bahwa Gus Dur itu buta mata buta hati.
Habib Rizieq-lah yang menjadi sorotan utama masyarakat karena ucapan-ucapannya yang kerap menyakitkan hati banyak kalangan. Saat Gus Dur membela Inul Daratista dan Ahmad Dhani, secara membabi-buta Habib Rizieq mencaci-maki Gus Dur dengan umpatan yang sangat menyakitkan.
Selama 20 tahun FPI eksis, ada banyak sekali aksi-aksi yang dilakukan mereka itu menyakiti hati banyak orang, melukai fisik, dan bahkan menghilangkan nyawa.
Tapi, apakah amar ma'ruf nahi munkar yang dilakukan oleh FPI dengan kekerasan itu menggambarkan FPI secara keseluruhan? Tentu saja tidak demikian. Sebagaimana ormas-ormas yang lainnya, FPI juga kerap melakukan aksi-aksi kemanusiaan saat datang bencana alam di negeri ini.
Dalam hal ini, saya ingin mengutip pernyataan Imam Ghazali. "Kalau ada 99 tanda kekafiran dalam saudaramu, tetapi masih ada satu tanda kemusliman, maka peganglah tanda yang satu itu."
Pernyataan Imam Ghazali itu memang dalam ranah akidah. Tapi bagaimana kalau kita maknai untuk menilai FPI? Istilah kafir-muslim itu kan bisa dimaknai bukan hanya pada wilayah akidah saja. Kafir itu menutup, muslim artinya patuh.
Maksud saya, bisa saja kita maknai FPI ini telah banyak menutup kenikmatan menjadi warga negara dengan melakukan aksi-aksi yang seolah bertentangan Pancasila. Tetapi apakah sama sekali tidak ada kemusliman atau kepatuhan FPI terhadap negara --dan juga patuh pada nilai-nilai kemanusiaan?
Pertanyaan berikutnya, bagaimana bisa FPI dikatakan sebagai ormas yang pro-kemanusiaan karena aksi-aksi sosial saat bencana tiba, tetapi dalam waktu yang sama, mereka menghancurkan kemanusiaan itu sendiri?
Tetapi, seperti yang dikatakan Imam Ghazali tadi, apakah sama sekali tidak ada tanda kepatuhan FPI sampai-sampai izinnya harus disetop, sekalipun memang terdapat 99 tanda kekafiran FPI terhadap negara? Jawabannya, sudah pasti bahwa tidak semua yang dilakukan oleh FPI itu buruk, karena masih ada satu kebaikan yang harus dipegang.
Pertimbangan selain administratif, terutama pertimbangan ideologis dan politis tentu saja ada. Tidak mungkin, tidak. Seperti bagaimana keberlangsungan negara jika izin FPI diperpanjang --seperti yang dikatakan Munarman, aksi-aksi dalam rangka dakwah Islam melalui amar ma'ruf nahi munkar ala FPI yang melakukan tindak kekerasan, masih akan terus dilakukan?
Secara pribadi, sekali lagi, saya tidak sepakat jika FPI dibubarkan sekalipun secara pemikiran dan ideologis, berseberangan dengan FPI. Nah kemudian, bagaimana seharusnya negara bertindak? Kalau selama ini FPI dianggap sebagai kelompok Islam radikal, maka ke mana program deradikalisasi yang digencarkan oleh pemerintah tetapi kini sama sekali tak terlihat dampaknya?
Dalam kapasitasnya sebagai ormas, FPI tentu saja memiliki ideologi untuk tetap berjalan sesuai dengan cita-cita organisasi sejak didirikan. Kalau begitu, yang harus dilakukan oleh negara tentu saja harus melawan FPI juga dengan penyebaran pemikiran yang kontra-FPI. Bukan justru memanfaatkan kekuasaan untuk 'menggebuk' organisasi yang tidak sejalan dengan pemerintah.
Kalau ternyata dalam perjalanannya, FPI melakukan aksi intoleransi dan bahkan menghancurkan tatanan masyarakat, baik fisik maupun nonfisik, haruslah ditindak sesuai hukum yang berlaku. Tangkap dan hukum pelakunya, tetapi jangan lantas membubarkan organisasinya.
Organisasi memang bisa dibubarkan atau disetop izinnya, tetapi pemikiran tidak akan bisa dipenjara. Nah, ketika nanti FPI secara keorganisasian sudah tiada, maka pemikiran-pemikirannya yang radikal dan intoleran itu justru akan semakin liar tak terkendali, sehingga sulit untuk dideteksi.
Pemerintah semestinya belajar dari Hizbut Tahrir Indonesia yang sudah dicabut izin sebelumnya. Apakah ketika HTI ini sudah tidak ada secara organisasi, maka pemikiran tentang khilafah sudah mati? Justru semakin liar dan tak jelas arahnya. Pemikiran-pemikiran itu menyusup ke masyarakat paling bawah melalui pengajian-pengajian dan menunggangi tren hijrah yang selalu menarik perhatian.
Pemikiran tentang khilafah itu bisa dengan leluasa menunggangi apa dan siapa saja, tanpa bisa kita deteksi. Begitu pula FPI. Kalau dibubarkan, maka gagasan intoleransi, Islam marah, kaku, dan radikal akan terus hidup. Bahkan kian menjalar ke dalam kehidupan masyarakat.
Biarkan FPI tetap hidup. Bukankah negara menjamin kebebasan berserikat, berkumpul, dan berorganisasi? Terhadap pemikiran organisasi yang kontra-Pancasila, maka sebaiknya negara melakukan atau menggencarkan agenda deradikalisasi.
Pemikiran harus dilawan pula dengan pemikiran, tetapi bukan dengan pembungkaman dan pembubaran. Kalau tindak-tanduk FPI ini kemudian bertentangan dengan hukum, seperti melakukan pengrusakan, maka tangkap saja pelaku, oknum, dan dalang yang ada di baliknya.
Selain itu, bisa saja pemerintah kemudian memperpanjang izin FPI dengan syarat. Diperpanjang, tapi jangan melakukan aksi kekerasan yang dapat mencederai fisik, melukai hati, dan menghilangkan nyawa seseorang. Jika ke depan, FPI masih kedapatan brutal, pemerintah akan bertindak lebih tegas. Bagaimana?
Dan sesungguhnya, hal yang harus kita suarakan adalah menolak dan melawan pemerintah "neo-orba" yang gemar bertindak sewenang-wenang kepada warga negara!
Bagaimana? Bubarkan, kah? |
0 komentar: