Selasa, 13 Agustus 2019

Testimoni Inayah Wahid (Part 3): Kesederhanaan Mbah Moen


Inayah Wahid di Griya Gus Dur

Ketika di Arafah, terdapat sesuatu yang membuat Mbak Inayah Wahid, hingga kini, menjadi sebuah kenangan besar terhadap sosok Mbah Maimoen Zubair. Kejadian ini ketika rombongan yang lain sibuk berdoa dengan cara sembari (dipaksa) menangis.

Mbak Inayah merasa tidak nyaman melihat peristiwa tersebut, yang berdoa tapi harus dipaksa untuk menangis. Akhirnya, dia menghampiri ke tempat Mbah Moen dan mengatakan, "Mbah, kita doanya sama Mbah Moen saja ya."

Mbah Moen pun memimpin doa.

Mbak Inayah berkisah, bahwa doa yang dilontarkan Mbah Moen merupakan doa-doa yang sangat sederhana. Doa yang biasa dibaca saat menghadiri berbagai pengajian di Indonesia, di pesantren.

"Jadi tidak harus doa yang spesial hanya lantaran sedang edisi khusus. Doa Mbah Moen sangat sederhana," kata Mbak Inayah saat menyampaikan testimoni di Griya Gus Dur, 9 Agustus 2019 lalu.

Usai berdoa, Mbah Moen ditanya soal ritual atau doa-doa khusus selama haji yang harus dilakukan. Amalan-amalan khusus, misalnya. Mbak Inayah lantas bergegas menyiapkan catatan untuk mencatat segala yang akan diucapkan Mbah Moen. Rupanya, Mbah Moen hanya senyum-senyum saja. 

"Amalan apa saja tidak masalah. Karena yang terpenting hatinya senang. Sebab, sebaik baiknya amalan kalau dilakukan dengan hati tidak senang, maka akan menjadi sia-sia," kata Mbah Moen, disampaikan Mbak Inayah.

Menurut putri bungsu Gus Dur ini, di saat orang-orang yang lain sibuk mengumbar berbagai kegiatannya di Tanah Suci, Mbah Moen justru berbicara hal-hal yang terkesan sepele tapi sesungguhnya sangat substansial.

Mbak Inayah melanjutkan, "Disaat banyak sekali orang yang kemudian mengajak untuk ramai-ramai melaksanakan ibadah dengan sangat menggelora, Mbah Moen mengembalikan substansinya bahwa pada akhirnya tujuan utama dari ibadah adalah hati yang tenang dan tentram."
Bagi Mbak Inayah, Mbah Moen ketika itu sedang menggambarkan berbagai hal yang sangat simpel dan sederhana tetapi sangat berarti. Di saat orang-orang justru sibuk untuk rajin ibadah selama di Tanah Suci, Mbah Moen justru tidak merasa bahwa hal itu harus ditonjolkan.

"Itulah sesuatu yang menurut saya paling substansial, yang selalu dikemukakan oleh Mbah Moen. Bahwa yang terpenting adalah menonjolkan kesenangan hati dan rasa cinta," kata Mbak Inayah.

Selain momentum di Arafah tadi, Mbak Inayah juga menyampaikan testimoni saat Muktamar NU di Jombang pada 2015 lalu.

Saat semua orang sedang menunjukkan keakuannya, Mbah Moen justru tidak merasa seperti itu. Beliau duduk di kursi belakang, meskipun bukan di kursi yang paling belakang. Bahkan, saat orang-orang sedang salaman ke Mbah Moen, beliau tidak merasa diri sebagai sosok yang harus paling dihormati. 

"Begitu lagu Indonesia Raya dikumandangkan, Mbah Moen yang ketika itu menggunakan kursi roda, langsung berdiri untuk menyanyikan lagu kebangsaan itu. Seperti itulah rasa nasionalisme atau kecintaan Mbah Moen terhadap bangsa dan negara," jelas Mbak Inayah.

Selain itu, pernah suatu ketika, Mbah Moen diundang oleh anak-anak muda NU untuk bicara memberikan wejangan. Mbak Inayah saat itu datang telat. Dia datang saat Mbah Moen tengah menyampaikan mauizoh hasanah atau ceramah.

"Saya kira yang ceramah itu kiai muda atau aktivis karena suaranya begitu sangat lantang, jelas, lugas, dan kencang. Tapi ternyata Mbah Moen yang etika itu berusia 86 tahun," kata Mbak Inayah berkisah.

Tak hanya itu, Mbah Moen menyampaikan ceramah yang berdurasi selama satu jam sembari berdiri. Padahal, panitia sudah menyiapkan sofa tapi beliau lebih memilih untuk tidak duduk.

"Jadi, Mbah Moen itu ceramah selama satu jam dalam kondisi berdiri di usia 86 tahun. Sementara saya banyak kenal dengan orang yang masih muda tapi bicaranya sudah tidak jelas dan justru duduk tidak berdiri," kata Mbak Inayah.

Mbah Moen, bagi seorang Inayah Wahid adalah sosok yang rasa kecintaannya begitu sangat terasa kepada semua kalangan, tanpa terkecuali. 

Tak heran saat berita Mbah Moen wafat, seorang keponakan Mbak Inayah mengatakan bahwa Mbah Moen mirip seperti Yoda; tokoh fiksi dalam film Star Wars yang dikenal sebagai tokoh paling bijaksana. 

"Dan saya paham kenapa keponakan saya bicara seperti itu. Bukan karena secara fisik, Yoda dan Mbah Moen, sama-sama memiliki alis yang panjang, tapi karena memang ada kebijaksaan besar yang bahkan anak usia sembilan tahun pun bisa menangkap hal itu," kata Mbak Inayah dengan raut wajah yang sedih.

(Transkrip: Khaifah Indah Parwansyah)
Previous Post
Next Post

0 komentar: