Rabu, 14 Agustus 2019

Testimoni Inayah Wahid (4-Habis): Mbah Moen Tertawakan Diri Sendiri


Sumber gambar: detik.com

Almaghfurlah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Almaghfurlah KH Maimoen Zubair (Mbah Moen), dan KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) merupakan sosok yang selalu mudah untuk menertawakan dirinya sendiri.

Mereka bisa menjadi seperti anak-anak yang seperti tidak memiliki beban; orang-orang yang benar-benar paham untuk melepas segala hal keduniaan; menjalani hidup dengan riang-gembira, senang hati, dan bersuka-cita. 

Seperti itulah sebuah gambaran yang diungkapkan oleh putri bungsu Gus Dur, Mbak Inayah Wahid, saat menyampaikan testimoni tentang Mbah Moen, di Griya Gus Dur, pada Jumat (9/8) pekan lalu.

Dia masih ingat betul, ketika Mbah Moen dalam ceramahnya menceritakan dengan sangat tenang mengenai kejadian yang –seperti mustahil– pernah dialami. Peristiwa itu adalah saat Mbah Moen lupa jumlah takbir dalam salat jenazah. 

"(Beliau) ini kiai besar, lho. Ini menandakan bahwa kiai besar pun, sekaliber Mbah Moen bisa alfa," kata Mbak Inayah saat membuka memori tentang Mustasyar PBNU yang wafat pada Selasa, 6 Agustus 2019 itu. 

Kala itu, di Arab Saudi, Mbah Moen diminta untuk mengimami salat jenazah. Tetapi, beliau rupanya lupa jumlah takbirnya. Dengan sangat santai, untuk mengembalikan ingatannya itu, dilakukanlah hal-hal yang selama ini tak pernah terduga.

Dengan sangat cerdasnya, Mbah Moen bertanya kepada tukang gali kubur dengan seolah menantang atau mengetes kemampuan tentang pengetahuan Islam: soal salat jenazah itu.

"Eh kamu Islam, bukan?!" kata Mbak Inayah, menceritakan kembali yang diungkapkan oleh Mbah Moen kepada tukang gali kubur dengan nada setengah meledek. 

Lantas, tukang gali kubur itu terperanjat dan kesal. "Saya Islam. Memangnya kenapa?"

"Kalau kamu Islam, coba sini saya tes. Ada berapa jumlah takbir dalam salat jenazah?"

"Ada empat," jawab tukang gali kubur itu dengan mantap.

Menurut Mbak Inayah, kemampuan Mbah Moen yang seperti itu merupakan ciri dari seseorang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. Bahkan, beliau mampu menceritakan kembali kejadian itu di hadapan publik, dengan santai dan tanpa beban.

Baca juga: Testimoni Inayah Wahid (Part 3): Kesederhanaan Mbah Moen

"Jujur, Selasa kemarin itu adalah (awal) hari yang paling saya takutkan. Terlebih di situasi Indonesia yang sedang dalam sistem demokrasi 'ala-ala' (tidak jelas, red). Teman-teman milenial ke bawah, generasi Z, sebenarnya kebingungan karena tidak punya atau bahkan kehilangan pegangan," kata Mbak Inayah.

Saat ini, sudah sampailah pada situasi yang orang-orangnya sulit melihat sebuah kebenaran. Sedangkan segala macam kebaikan yang telah dilakukan Mbah Moen itu, sesungguhnya menjadi pegangan bagi generasi penerus bangsa.

"Ditinggal Mbah Moen itu, bagi saya adalah sebuah kehilangan yang besar. Bahkan, sebuah kerugian besar. Saya tidak tahu, adik-adik saya yang kehilangan Mbah Moen, apakah kemudian bisa mengecap (ajaran kebaikan) Mbah Moen, paling tidak sedikit saja? Semoga saja," kata Mbak Inayah dengan raut wajah yang sedih.

Satu-satunya yang bisa dilakukan oleh generasi milenial saat ini adalah menginterpretasikan berbagai kebaikan yang sudah diteladankan oleh Mbah Moen.

"Yang kedua menurut saya, ini yang harus kita lakukan tetapi sangat sulit. Yakni melakukan apa yang telah dilakukan Mbah Moen," tutup Mbak Inayah.

Sekian...

(Transkrip: Khaifah Indah Parwansyah)
Previous Post
Next Post

0 komentar: