Sumber: cimsa.or.id |
Setiap manusia tentu memiliki pemaknaan yang berbeda tentang kemerdekaan. Siapa pun boleh dan bisa saja menafsirkan terma kemerdekaan berdasarkan pengalaman atau pengetahuannya sendiri.
Merdeka dari penindasan dan penjajahan pada masa kolonial merupakan makna denotatif bagi bangsa Indonesia. Namun secara konotatif, kemerdekaan tidak sembarang termaknai. Setiap jiwa pasti dan harus merdeka. Maka, kemerdekaan bersifat multitafsir. Singkatnya, kemerdekaan itu dapat dirasakan setelah melewati rentetan perjuangan.
Seorang ibu, misalnya, bisa jadi ia menafsirkan dan dapat menikmati udara kemerdekaan ketika melihat dan merasakan kesuksesan buah hatinya di hari tua. Akan tetapi, kesuksesan pun tidak bermakna tunggal. Setiap orang boleh menafsirkan sesuai kebutuhan dan jangkauan kehidupannya.
Seorang penyair juga akan merasakan kemerdekaan, barangkali, ketika ia sudah dapat mengejawantahkan kenyataan yang ada di hadapan mata ke dalam karya-karyanya. Siapa pun berhak merdeka dengan pemaknaannya masing-masing.
Secara umum, para bijak bestari mengatakan bahwa puncak dari perjuangan adalah torehan kemerdekaan. Walau demikian, bukan tidak mungkin bakal lahir perjuangan-perjuangan lain yang harus dilewati agar dapat merasakan kemerdekaan yang lebih bermakna.
Dalam tradisi tasawuf, seorang sufi akan benar-benar merasakan kenikmatan dari sebuah kemerdekaan ketika sudah bertajalli dengan Tuhannya. Tajalli, dapat dirasakan setelah melewati proses perjalanan perjuangan –atau katakanlah pembersihan diri, guna menemukan kesucian yang sejati.
Allah berfirman, "Bersyukurlah kepada-Ku maka nikmat akan ditambah." Kalimat tersebut bisa saja kita maknai sebagai kemerdekaan yang sudah semestinya didapat. Artinya, rasa syukur atas nikmat yang telah diberi Allah merupakan tanda kemerdekaan.
Maka jika nikmat kemerdekaan terus-menerus kita syukuri, bukan tidak mungkin Allah akan menjadikan Indonesia menjadi bangsa yang unggul, maju, optimis, adil, dan makmur. Dalam bahasa agama, "Baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur." Sebuah negeri yang baik dan berlimpah ruah ampunan dari Allah.
Kemudian, rasa bersyukur itu tentu saja dicapai melalui proses perjuangan yang tidak sepele. Yakni seorang manusia harus terlebih dulu berikhtiar. Lalu, berpencar di muka bumi untuk mencapai derajat kemerdekaan (baca: takwa) di hadapan Allah.
Barangsiapa yang tidak mampu melewati proses, maka ia takkan merasakan kemerdekaan dalam dirinya. Sedangkan Allah tidak memberikan perjuangan untuk dilalui oleh manusia melebihi batas kemampuan yang dimiliki.
Maka, siapa pun orang yang menyerah dalam proses perjuangan, bisa dikategorikan sebagai manusia yang gagal memperoleh kadar kualitas (kemerdekaan) terbaik di hadapan Allah. Terkecuali mereka yang memasrahkan segala sesuatunya setelah melalui proses panjang dari perjuangan yang harus dihadapi. Tawakkal.
Indonesia Merdeka
Kemerdekaan Indonesia yang sudah lebih dari tujuh dasawarsa ini, merupakan hasil dari proses perjuangan panjang yang dilalui oleh para pendiri dan pendahulu. Mereka berjuang demi anak-cucu, demi nusa-bangsa, demi kehormatan, harkat dan martabat yang harus dinikmati oleh penerusnya. Mereka berontak, bertindak, serta beranjak dari penindasan juga kekuasaan bangsa lain yang menjajah dan menjarah kekayaan negeri.
Nikmat kemerdekaan, pikir mereka ketika itu, harus dapat dirasakan oleh manusia Indonesia saat ini. Sementara nikmat tersebut hanya bisa dirasakan jika seluruh negeri bersyukur atas udara kebebasan yang terhirup.
Tugas kita sekarang adalah menjaga kemerdekaan yang sudah susah-payah diraih oleh para pejuang tempo dulu agar kenikmatan selalu terasa, sekalipun model dan gaya penjajahan yang dilakukan oleh bangsa lain –atau bahkan dari kita sendiri, selalu berubah-ubah.
Perlombaan Tujuhbelasan
Berangkat dari hal itu, sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat kemerdekaan yang sudah diperoleh, maka setiap tahun pasti diadakan perlombaan. Tujuannya untuk merangsang anak-anak agar tak lupa pada sejarah. Selain itu agar senantia mengingat dan menghargai perjuangan pahlawan dalam merebut kemerdekaan dari para penindas.
Jenis perlombaan sangat beragam. Diselenggarakan dengan semangat perjuangan dan rasa suka-cita. Karena sesungguhnya, rasa syukur atas nikmat kemerdekaan yang diejawantahkan ke dalam bentuk perlombaan itu adalah sebagai pemersatu.
Rasa persatuan sangat kentara, tidak hanya pada saat proses berlangsungnya perlombaan, tetapi juga ketika perumusannya. Harapannya adalah agar tercipta harmoni dan estetika yang lebih dialektis. Sehingga, perjalanan perjuangan yang akan dihadapi berikutnya menjadi mudah terlewati secara kekeluargaan. Itulah yang menjadi pengimplementasian dari kearifan lokal bangsa kita sejak ribuan tahun lalu: gotong royong.
Perlombaan tujuhbelasan menjadi perkara wajib diadakan dan akan merasa berdosa ketika meniadakannya. Sebab, di dalamnya terkandung makna sangat dalam. Yaitu sesuatu yang harus terserap pada setiap jiwa manusia Indonesia.
Peserta lomba akan merasa sangat bahagia dan merasakan kemerdekaannya ketika telah berhasil melewati tahap perjuangan. Sekalipun tidak mendapat juara pertama, kedua, maupun ketiga, mereka akan tetap merasa bahagia. Kenapa? Karena sejatinya, perlombaan itu diadakan dengan tujuan agar muncul rasa persatuan dan persaudaraan.
Sebab kemerdekaan yang hakiki, hanya dapat dirasakan setiap manusia, saat rasa persatuan dan persaudaraan menyertai dalam setiap proses perjuangan. Maka, makna kemerdekaan yang sejati pada perlombaan tujuhbelasan adalah terciptanya rasa kekeluargaan, kebersamaan, persaudaraan, dan persatuan untuk berjuang bersama melawan kejahatan, penindasan, keserakahan, kehancuran, dan perpecahan.
Bukankah pepatah mengatakan dalam peribahasa: "Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh?" Itu makna kemerdekaan kita. Bersyukurlah karena bersatu dan jangan memecah-belah persatuan. Karena ketika kita terpecah-belah, kemerdekaan akan sirna. Menjadi semu, absurd, dan bahkan menghilang dalam pribadi kehidupan sebagai bangsa.
Wallahua'lam...
(Ditulis di Bekasi, pada 11 Agustus 2016 diperbarui pada 17 Agustus 2019)
0 komentar: