Rabu, 07 Agustus 2019

Sebuah Renungan Pasca Wafatnya Mbah Maimoen Zubair


Sumber: kumparan.com

Kemarin, Selasa (6/8) Indonesia berkabung lantaran ulama kharismatik yang sangat alim, Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Penasihat Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Pengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar Rembang, Jawa Tengah, Syaikhona KH Maimoen Zubair wafat di Tanah Suci Mekkah saat sedang beribadah.

Kita semua tentu sangat merasa kehilangan. Beliau adalah guru bangsa sekaligus ulama panutan yang segala tindak-tanduknya semasa hidup patut dijadikan teladan. Nasihat-nasihat beliau yang sering diperdengarkan adalah tentang persatuan, persaudaraan, dan kemanusiaan. Tidak ada sama sekali ujaran kebencian yang terlontar walau hanya sekalimat saja.

Sebuah untaian yang sangat populer sering terdengar, baik melalui ucapan maupun lewat teks di media sosial, bahwa matinya ulama adalah tanda matinya alam semesta. Selain itu, bagi siapa saja yang tidak bersedih karena wafatnya seorang ulama, maka dapat dikategorikan sebagai kaum munafik.

Berbagai ucapan belasungkawa, shalat ghaib, dan tahlil di mana-mana dilakukan mengiringi kepulangan beliau ke haribaan sang kekasih. Tak terkecuali Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj yang menyatakan bahwa Mbah Moen adalah pasaknya bumi. Sehingga, ketika pasak itu dicabut oleh Allah, kita semua merasa kehilangan keseimbangan. 

Seorang santri yang mendampingi beliau selama ibadah haji menuturkan, saat Mbah Moen sedang melaksanakan ritual haji, ada doa-doa yang tidak seperti biasanya. Mbah Moen berdoa layaknya seorang yang merindukan kekasihnya. 

Karenanya, tak heran saat cuaca di Tanah Suci seketika mendung, tidak seperti biasanya yang menandakan bahwa semesta pun ikut merasakan kesedihan yang mendalam. Mbah Moen pun dimakamkan di pemakaman Ma'la, Mekkah, Arab Saudi. 

Makam Mbah Moen berada dalam satu lokasi dengan para kekasih Allah lainnya. Diantaranya Sayyidah Khadijah, Sayyid Abu Thalib, Sayyid Abdul Manaf, Sayyid Abdul Muththalib, dan ulama kenamaan Indonesia Syekh Nawawi Al-Bantani. 

Seperti itulah kekuasaan Allah. Dia akan mengumpulkan kekasih-Nya dalam satu lokasi yang sangat berdekatan. Ke depan, jika umat Islam Indonesia melaksanakan ibadah haji, pasti akan menziarahi makam Mbah Moen dan kekasih Allah yang lainnya.

Jenazah Mbah Moen, sebelum dimakamkan, terlebih dulu disalatkan di Masjidil Haram oleh jutaan umat Islam dari seluruh dunia yang sedang melaksanakan ibadah haji di Tanah Suci. Sungguh, Allah telah menampakkan kemuliaan Mbah Moen kepada kita semua, khususnya umat Islam di Indonesia.

Pertanyaan kemudian, apakah yang harus kita lakukan pasca-wafatnya Mbah Moen? Tentu saja, kita tidak akan berlarut dalam kesedihan. Merasa kehilangan adalah sebuah hal yang sangat wajar sebagai manusia biasa. Tetapi, kita harus menghadirkan semangat baru demi melanjutkan perjuangan Mbah Moen. 

Beliau bukan hanya seorang negarawan, tetapi juga pemuka agama yang senantiasa menyampaikan pesan-pesan universal. Terutama amanah untuk senantiasa menjaga negara dan meneguhkan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah yang menjunjung tinggi sikap moderat, toleran, dan inklusif.

Dalam satu kesempatan, Mbah Moen pernah berungkap, "Islam tak akan roboh hanya karena menghormati pemeluk agama lain."

Dengan kata lain, kalimat itu bisa dimaknai bahwa kekuatan Islam justru terdapat pada sikap penghormatan kepada agama lain, bukan malah sebaliknya. Hal tersebutlah yang sudah semestinya menjadi dasar Indonesia agar tetap tegak berdiri.

Karenanya, tak heran kalau ada salah satu Gereja Katolik di Mojokerto yang menggelar doa bersama untuk Mbah Moen. Sebab, beliau adalah guru bangsa, penerang peradaban bagi kita semua: lintas agama, lintas iman, dan bahkan lintas generasi. 

Tak hanya itu, saya pernah mendapatkan kabar dari seorang santri PP Al-Anwar Sarang, Rembang, Jawa Tengah, yang menuturkan bahwa hampir setiap minggu, Mbah Moen meluangkan waktunya ke Istana Negara untuk memberikan masukan untuk presiden.

Namun kegiatan tersebut, Mbah Moen meminta kepada pihak istana agar tidak ada satu media pun yang meliputnya. Hal yang dilakukan Mbah Moen itu, sering berkunjung ke istana kepresidenan, lantaran ketidakrelaan beliau kalau kebijakan pemerintah tidak sesuai dengan keinginan rakyat, terutama umat Islam.

Maka, Mbah Moen pasti akan merasa sedih dan kecewa jika generasi penerus Islam, santri, dan bangsa Indonesia secara keseluruhan tidak saling menghargai satu sama lain sebagai satu kekuatan. Dalam setiap doa-doa yang dipanjatkan, saya yakin, Mbah Moen pasti menyebut Indonesia agar bangsanya hidup rukun dan damai.

Beliau, semasa hidupnya, dikenal juga sebagai sosok yang selalu merasa rendah hati setiap kali berbincang dengan lawan bicaranya. Padahal kita semua tahu, kealiman beliau tidak ada yang menandingi di jagat Bumi Pertiwi ini. Beberapa kiai-kiai muda mengatakan, bahwa Mbah Moen adalah kiainya para kiai atau gurunya para guru.

Dalam satu kesempatan, Mbah Moen pernah menyampaikan kalimat yang menandakan bahwa beliau adalah sosok yang senantiasa tawadhu. Ungkapan-ungkapan yang keluar dari lisan beliau terlontar secara alami dan sama sekali tidak ada unsur paksaaan dari siapa pun. 

Mbah Moen bertutur:

طال عمري وقل عملي

"Umurku panjang tapi amal baikku sedikit."

Pertanyaannya kemudian, jika amal beliau yang telah menghabiskan umurnya untuk khidmah Islam dan Muslimin dianggap sedikit, lalu bagaimana dengan amal kita?

عمري فوق التسعين، ادع لي أن أموت على دين الإسلام

"Umurku sudah 90 tahun lebih. Tolong doakan agar saya meninggal dalam keadaan membawa agama Islam," kata Mbah Moen kepada Syaikh Abdun Nashir al-Malibari yang pernah sowan kepadanya.

Bayangkan, ulama dan waliyyullah besar ini masih minta didoakan meninggal dengan membawa agama Islam. Padahal, amal kesalehan beliau untuk kemaslahatan umat Islam, khususnya muslimin Indonesia sudah tak terhingga.

Sungguh betapa tawadhunya beliau, seakan tidak menganggap amal baiknya hingga takut meninggal tidak membawa Islam.

 أنتم صاحب المؤلفات وأنا ما عندي تأليفات

Tak hanya itu, beliau juga berkata kepada Syaikh Abdun Nashir al-Malibari, "Anda penulis banyak kitab. Sedangkan saya tidak punya karangan apa-apa."

Padahal kita tahu Mbah Moen itu punya banyak kitab. Diantaranya adalah Tarajim Masyayikh Sarang, Maslak at-Tanassuk al-Makki, Ta'liqat 'ala Jauharatit Tauhid, dan Ta'liqat 'ala Bad'i al-Amali. Karena teramat tawadhunya, seakan semua kitab itu tidak beliau anggap sebagai karangan ilmiah.

Syaikh Abdun Nashir al-Malibari pun berkata sambil menunjuk kitab Tarajim Masyayikh Sarang, "Lha ini, Kiai. Ini kan tulisan Panjenengan."

Mbah Moen menjawab:

إنما هي تراجم، وليس فيه علم

"Kitab ini hanya kumpulan biografi. Tidak ada ilmunya."

Maka itu, mari kita semua senantiasa mengamalkan segala macam petuah, nasihat, dan teladan yang telah disampaikan oleh Mbah Moen selama 90 tahun hidup di dunia.

Jasad Mbah Moen memang sudah tiada, tapi segala macam hal kebaikan dan prestasi, serta perjuangan beliau haruslah menjadi lecutan semangat untuk kita lanjutkan demi kejayaan agama, bangsa, dan kemanusiaan. Wallahua'lam...
Previous Post
Next Post

0 komentar: