Senin, 12 Agustus 2019

Gereja Santa Clara, Hari Raya Iduladha, dan Toleransi Kita


Walikota Bekasi Rahmat Effendi dalam peresmian Gereja Santa Clara. Sumber: tribunnews.com

Ahad, 11 Agustus 2019 lalu, bertepatan dengan perayaan Hari Raya Iduladha, umat Katolik Santa Clara Paroki Bekasi mengadakan peresmian gereja yang telah dinanti selama 21 tahun. Hal tersebut tentu saja menjadi kabar gembira bagi umat Katolik di seluruh dunia, di Kota Bekasi, terkhusus di Bekasi Utara. 

Untuk diketahui, saya mengutip dari TribunNews, Gereja Santa Clara semula merupakan sebuah stasi bernama Yohanes Pemandi yang terletak di wilayah Seroja dari Gereja Santo Arnoldus Janssen, Paroki Bekasi. Kemudian, Stasi Yohanes Pemandi resmi menjadi paroki baru dengan nama Paroki Bekasi Utara Gereja Santa Clara pada 1998.

Seiring pertumbuhan masyarakat, kebutuhan umat Paroki Bekasi Utara terhadap sebuah rumah ibadah yang layak dan dapat menampung semua umat menjadi sebuah pengharapan besar.

Sebelum bangunan Gereja Santa Clara yang baru resmi berdiri, umat Katolik di Bekasi Utara harus menggunakan sejumlah ruko di Perumahan Taman Wisma Asri untuk beribadah. Selama bertahun-tahun umat Katolik di sana harus beribadah di rumah ibadah yang memiliki kapasitas yang jauh lebih kecil dari jumlah umat yang ada.

Izin Mendirikan Bangunan terbit pada Juli 2015, tapi umat Katolik di Paroki Bekasi Utara harus menghadapi berbagai penolakan. Tepat pada 11 Agustus 2019 Gereja Santa Clara yang baru bisa diresmikan, tepat pada peringatan HUT ke-21 Gereja Santa Clara Paroki Bekasi Utara.

Selain itu, Gereja Santa Clara mampu menampung 1200 orang. Per 1 Agustus 2019, umat Santa Clara mencapai 8515 jiwa yang tersebar di Kecamatan Bekasi Utara. Gereja Santa Clara menjadi satu-satunya gereja Katolik di Kecamatan Bekasi Utara.

Sebagai muslim yang menjunjung tinggi nilai toleransi, perdamaian, persatuan, persaudaraan, dan kemanusiaan, saya turut berbahagia atas peresmian yang telah terselenggara. Namun, ada beberapa hal yang mesti kita perhatikan pada peristiwa peresmian yang terjadi itu.

Pertama, sejak lama pembangunan gereja ini memang sarat konflik dan polemik. Beberapa kelompok menganggap bahwa perizinan yang diterbitkan oleh Pemerintah Kota Bekasi terkesan manipulatif. Akan tetapi, semua itu bisa dibantah dengan berbagai data yang telah dipaparkan oleh Walikota Bekasi, Rahmat Effendi, bahwa secara perizinan memang sudah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan.

Kedua, hal yang menjadi tanda tanya saya adalah, mengapa peresmian tersebut dibarengi dengan perayaan besar umat Islam, Hari Raya Iduladha? Apa tidak ada hari lain atau digeser ke minggu berikutnya? Misalnya, dibarengi dengan perayaan hari kemerdekaan Republik Indonesia ke-74? 

Ketiga, karena berbarengan dengan perayaan Hari Raya Iduladha itulah, maka sebagian umat Islam, termasuk saya, jadi berpikir; apakah hal itu menjadi cara agar dapat memalingkan fokus sebagian umat Islam yang selama ini kontra terhadap pembangunan gereja Santa Clara? Dengan demikian, peresmian bisa berjalan lancar tanpa kendala atau penolakan dari berbagai pihak yang kontra.

Keempat, ini yang menarik menurut saya. Kenapa Walikota Bekasi, yang akrab disapa Bang Pepen itu justru lebih memilih untuk datang dalam peresmian gereja, padahal di waktu yang sama, dirinya diundang oleh pihak DKM Masjid Agung Al-Barkah untuk melaksanakan Salat Ied?

Kelima, bagaimana sikap saya terkait peresmian Gereja Santa Clara? Baik sebagai Aktivis Lintas Iman, Kader Muda NU Kota Bekasi, dan Penggerak Gusdurian Bekasi Raya. Jujur, ada banyak pihak yang bertanya-tanya soal ini, sebelum pelaksanaan peresmian itu.

Begini...

Kalau secara administratif, saya bisa menjamin bahwa panitia pembangunan gereja pasti telah memenuhi segala syarat yang telah ditentukan. Hal ini bisa saja kita uji dengan berbagai pihak terkait, sekalipun memang proses pembangunan gereja kerap menimbulkan protes dan percikan di masyarakat akar rumput, terutama di wilayah Bekasi Utara. Namun, hal tidak terlalu berarti.

Dalam hal peran sebagai kepala daerah, saya memberi apresiasi tinggi kepada Bang Pepen karena mampu melayani masyarakat tanpa pandang latar belakang, termasuk dalam hal pendirian rumah ibadah untuk umat Katolik di Bekasi Utara. Di berbagai kesempatan, beliau acapkali mendapat penghargaan sebagai kepala daerah yang berprestasi dalam hal menjaga kerukunan umat beragama di Kota Bekasi. 

Bahkan, pada Desember 2018 lalu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Setara Institute, Kota Bekasi menempati urutan keenam sebagai daerah yang menjunjung tinggi nilai toleransi, sehingga dapat menciptakan kerukunan antarumat beragama. Padahal, beberapa tahun silam, Wahid Foundation misalnya, merilis sebuah penelitian yang memaparkan bahwa Kota Bekasi termasuk 'zona merah' yang sebagian besar masyarakatnya terpapar virus radikalisme, ekstremisme, bahkan terorisme.

Kemudian, banyak yang bertanya-tanya mengenai waktu peresmiannya. Kenapa harus pagi dan pada 11 Agustus, bertepatan dengan umat Islam yang sedang melaksanakan Salat Ied dan merayakan hari besarnya, Iduladha? Kalau persoalannya adalah agar dibarengi dengan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-21 Gereja Santa Clara, kenapa tidak digeser saja jam pelaksanaannya? Atau setidaknya menggeser waktu ibadah misa, jam 10 pagi, misalnya. 

Dalam surat undangan, saya melihat acara peresmian diadakan pagi pada pukul 08.00 WIB lantaran terlebih dulu dilaksanakan ibadah misa. Kalau demikian, di mana letak toleransi yang selama ini susah-payah kita bangun? Gereja Katedral di Jakarta saja, bisa mengubah jadwal misa untuk menghormati umat Islam yang sedang melaksanakan Salat Ied, kenapa Gereja Santa Clara tidak bisa? Maka, ini ada kaitannya dengan kedatangan Walikota Bekasi dalam acara peresmian itu.

Kalau waktu (maksudnya, jam) pelaksanaan digeser agak mundur sedikit, maka tentu saja tidak mengganggu atau memberikan kesempatan kepada Bang Pepen —sebagai seorang yang beragama Islam– untuk melaksanakan Salat Ied terlebih dulu di Masjid Agung Al-Barkah.

Walhasil, jika seperti itu yang dilakukan oleh panitia peresmian Gereja Santa Clara, minimal, akan meminimalisasi konflik atau polemik di tengah masyarakat muslim. Atau barangkali pihak Santa Clara justru sedang menghindar agar umat Islam tidak merecoki agenda peresmian karena tengah disibukkan dengan perayaannya sendiri? Entahlah.

Kemudian, bagaimana sikap saya? Tentu saja kecewa. Pertama, karena agenda peresmian yang terkesan sengaja dibuat berbarengan dengan pelaksanaan Salat Ied. Kedua, kecewa karena Santa Clara tidak mencontoh Gereja Katedral yang menggeser waktu misa untuk menghormati umat Islam.

Ketiga, kecewa karena Bang Pepen, sebagai kepala daerah, di satu sisi sedang mengayomi masyarakatnya, tetapi di waktu yang bersamaan justru sedang menghancurkan nilai-nilai toleransi itu sendiri. Keempat, kecewa karena Bang Pepen justru lebih memilih datang ke acara peresmian gereja ketimbang datang ke Masjid Agung Al-Barkah untuk Salat Ied, sehingga untuk mewakilinya diutuslah Kabag Kesos, Bapak Ahmad Yani.

Terakhir, saya ingin sampaikan bahwa toleransi tidak mungkin bisa terwujud kalau diantara kita tidak ada keterbukaan. Maka, secara pribadi, saya mengajak kepada seluruh elemen, pihak, dan unsur yang sama-sama berkeinginan supaya Kota Bekasi kian menjadi daerah yang rukun dan toleran, kita mesti sering-sering jadikan diskusi sebagai wadah pembauran agar kemudian kita bisa merasa sebagai suatu kesatuan yang saling menguatkan satu sama lain.

Tidak bisa kita berharap Kota Bekasi menjadi sebagai daerah yang rukun, tetapi dalam waktu  bersamaan kita justru menghancurkan nilai-nilai toleransi yang sudah susah-payah dibangun bersama. Atau barangkali, kita ingin diskusi soal bagaimana konsep toleransi yang baik? Yuk!

Kalau ada yang keliru dalam tulisan di atas, maka ada dua kemungkinan. Saya yang salah membaca data dan berita atau memang saya kurang ngopi. Kita bisa mendiskusikan hal ini kapan pun dan di mana saja. Salam takzim untuk semua.

Sekian. Wallahua'lam...
Previous Post
Next Post

0 komentar: