Selasa, 26 Mei 2020

Merindukan Ramadan Kembali (Idulfitri Bagian 3)


Ilustrasi. Sumber gambar: detik.com

Saat Idulfitri telah tiba, bahkan berjalan berhari-hari dengan begitu sangat cepat, sebagian orang pasti akan merasa rindu dengan suasana Ramadan. Tetapi tentu hanya sedikit saja yang betul-betul rindu dengan bulan diturunkannya Al-Quran itu. Sebagian yang lain, justru berbahagia ditinggal pergi Ramadan. Sebab, bagi mereka, Ramadan adalah bulan pemenjaraan kebebasan. 

Merindukan Ramadan, bagi sebagian besar muslim Indonesia, saya yakin sekali, adalah sebuah kalimat yang terdengar sangat klise. Pura-pura. Tidak tulus. Mengatakan 'Aku rindu Ramadan' hanya dimaksudkan agar orang lain menganggapnya sebagai muslim yang memiliki keimanan sungguh-sungguh kepada Allah. Padahal, tidak sama sekali. Pesan-pesan Ramadan yang penuh dengan nilai kebajikan, akan diacuhkan begitu saja saat Idulfitri dan segala kenikmatannya datang mengemuka. 

Kita tentu merasakan bahwa Ramadan yang baru saja berlalu itu, sangat terasa berbeda dari Ramadan-Ramadan sebelumnya. Di Ramadan kali ini, kemarin itu, kita diberikan banyak kesempatan oleh Allah untuk berbuat bagi kemanusiaan. Maka, benar saja, banyak orang yang berbondong-bondong menggalang donasi, menyalurkan bantuan sembako, dan bahkan menjual atau melelang harta-benda untuk membantu sesama yang terkena dampak ekonomi akibat corona. 

Ini menarik kita perhatikan agar nilai-nilai itu dapat terterap dan terserap ke dalam proses perjalanan sebelas bulan ke depan. Inilah kemudian yang menjadi bentuk pengejawantahan kerinduan kita terhadap Ramadan. Bagi saya, rindu yang tak terwujud dalam tindakan sama dengan membaca buku tanpa aksi. Hanya seperti onani. Maka, mari kita mewujudkan rindu itu ke dalam tindakan selama proses perjalanan menuju Ramadan berikutnya di tahun depan. 

Ramadan kemarin itu, telah banyak memberikan arti. Kini, saatnya kita menciptakan 'Ramadan' di dalam kehidupan kita. Bisakah? Tentu saja bisa. Anggaplah bahwa semua bulan dalam perjalanan hidup kita ke depan adalah Ramadan. Sehingga, hanya sedikit saja peluang bagi kita untuk bermaksiat. Kita harus kembali 'berpuasa' agar mampu menurunkan ego dan mengendalikan syahwat. Ini yang terpenting. 


Saat Idulfitri, pada Ahad lalu itu, saya dan Mas Nisfu berkali-kali menggeleng-gelengkan kepala. Apa gerangan yang membuat kami demikian? Begini...

Di pemukiman tempat kami tinggal, terdapat tiga rumah ibadah umat Islam. Satu masjid dan dua musala. Sementara di kelurahan kami, hingga saat ini, masih ditetapkan sebagai zona merah penyebaran virus corona. Hal ini bisa dilihat di aplikasi PeduliLindungi yang sangat tepat dan akurat. Tetapi, orang-orang telah gagal menurunkan ego dan mengendalikan syahwatnya dalam beragama. 

Sehari sebelum Idulfitri kemarin, ibu mengabarkan bahwa musala dekat rumah akan menggelar Salat Id. Ibu lalu menyuruh saya untuk juga salat di musala. Bukan hanya saya, tetapi juga seluruh anggota keluarga. Kalau bukan karena ibu, saya enggan untuk salat Id di musala yang sudah pasti berjubel atau berkerumun karena banyak orang yang berbondong-bondong ke sana. Padahal, daerah kami ini sudah ditetapkan sebagai zona merah penyebaran corona.

Awalnya, saya ingin salat Id di rumah saja bersama seluruh anggota keluarga sebagaimana gelaran tarawih selama sebulan yang dilaksanakan di rumah. Tetapi berbeda dengan ibu dan bapak. Mereka berdua, ingin turut salat di musala. Saya akhirnya mengalah, menurunkan ego. Walau tetap dengan menggunakan protokol kesehatan dalam menjalankan salat Id di musala itu, tapi bagi saya menggelar salat Id di musala yang mengundang keramaian adalah bentuk pengkhianatan atas upaya kita melawan corona. 

Salat Id yang sebenarnya berhukum sunnah, yang apabila tidak dikerjakan tidak mendapat dosa, justru seolah-olah adalah perkara yang wajib. Bahkan, mengabaikan anjuran pemerintah dan ulama agar salat Id di rumah saja jika berada di zona merah. Jangan hanya karena memperjuangkan perkara yang sunnah, kita justru acuh tak acuh terhadap kepentingan yang lebih besar bernama: kemanusiaan. 

Bagi saya, salat Id yang digelar beramai-ramai di rumah ibadah kemarin itu adalah bentuk dari syahwat beragama yang gagal dikendalikan. Parahnya, panitia Idulfitri, sesaat sebelum salat Id dimulai, menyampaikan maklumat bahwa sehari sebelum Idulfitri, dirinya sudah mendapatkan informasi dari pemerintah terkait bahwa kelurahan kami telah ditetapkan sebagai zona hijau.

Setelah panitia itu memberikan informasi, saya langsung membuka handphone, mengecek semua jalur informasi dari pemerintah terkait corona. Hasilnya? Kelurahan kami masih zona merah. Bahkan kita bisa melihatnya di aplikasi PeduliLindungi. Kalau zona merah, berarti dilarang untuk menggelar salat Id. Kalau dilarang tetapi tetap dilaksanakan, hanya karena ingin menjalankan perkara sunnah, maka apa sebutan yang pantas untuk itu? Saya rasa, menyebut hal itu adalah bentuk kebodohan, sangat tidak tepat. 

Jujur saja, seketika itu, saya sama sekali tidak menaruh simpati terhadap gelaran salat Id yang 'dipaksakan' itu. Bahkan dibumbui dengan informasi bohong dari panitia Idulfitri. Sesuatu yang seharusnya diraih dari berbagai aktivitas peribadahan selama Ramadan, akan hilang seketika saat memperjuangkan perkara sunnah dengan mengabaikan anjuran pemerintah dan ulama, serta ditambah membohongi masyarakat. 

Sebagaimana yang telah saya sampaikan dalam tulisan sebelumnya, bahwa orang yang bertakwa adalah mereka yang mampu menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya dengan sungguh-sungguh. Perintah-perintah Allah itu, terdapat dalam maqasid syari'ah yang lima. Yakni menjaga akal, menjaga kemanusiaan, menjaga agama, menjaga kehormatan, dan menjaga harta. 


Lalu menurut anda, pada kasus atau fenomena di atas, hal apa yang tidak diindahkan? Sila dijawab saja di dalam hati masing-masing. 

Jadi, saya pikir, hanya segelintir orang saja yang benar-benar mampu merindukan Ramadan dengan menyerap nilai yang telah didapat selama sebulan penuh. Yakni mereka yang mampu menurunkan ego dan syahwat. Terutama sekali ego dan syahwat beragama. Lebih gawat lagi, jika ego dan syahwat beragama itu tidak dibarengi dengan ilmu yang memadai. Bisa fatal urusannya. 

Guru saya pernah berkata bahwa orang bodoh yang menyelimuti diri dengan jubah agama akan sangat terlihat alim di mata orang awam ketimbang orang alim yang biasa-biasa saja. Inilah akhir zaman. Dimana orang-orang yang pengetahuan agamanya secuil, akan berani tampil mengurusi agama dan bahkan mereka akan marah jika didebat argumentasinya. 

Lantas bagaimana cara agar merindukan Ramadan dalam perjalanan sebelas bulan ke depan? Tentu saja dengan menghidupi kehidupan sehari-hari dengan wewangian Ramadan. Selain menjalani hari-hari dengan nilai-nilai Ramadan berupa amalan untuk diri sendiri, kita juga perlu agar peka terhadap sosial dan kemanusiaan di lingkungan sekitar. Jangan diabaikan hanya karena menuruti ego dan syahwat yang ada di dalam diri kita. 

Terakhir, saya ingin mengatakan bahwa tidak sembarang orang atau hanya segelintir orang saja yang dapat selaras; menyatakan kerinduan terhadap Ramadan tetapi juga menjalani hari-hari dengan berbagai nilai yang telah didapat selama Ramadan. Selebihnya, hanya klise atau pura-pura saja. [Bersambung]


Wallahua'lam...
Previous Post
Next Post

0 komentar: