Minggu, 24 Mei 2020

Kembali ke Fitrah Kemanusiaan (Idulfitri Bagian 1)


Ilustrasi. Sumber gambar: suaraislam.com

Ada beragam orang-orang Indonesia dalam menulis dua kata: Idul dan Fitri. Ada yang menulis dengan kata yang terpisah: Idul Fitri, ada juga yang menulis dengan mengikuti aksen bahasa Arab: 'Iedul Fithri, tetapi ada juga yang menulis: Idulfitri. Mana yang benar? Jawabannya, tentu saja semua benar. Tetapi yang tepat menurut Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI)--dulu EYD--adalah yang saya sebutkan terakhir. 

Mari kita maknai Idulfitri. Secara bahasa, Idulfitri terbagi menjadi dua kata. 'Ied dan fithri

'Ied bermakna kembali. Sedangkan fithri berarti fitrah. Sebagian besar ulama memaknai fitrah sebagai kesucian. Karenanya, Idulfitri bisa diterjemahkan sebagai kembalinya seorang manusia pada kesucian diri. Makna inilah yang seharusnya menjadi titik utama bagi cara pandang kita terhadap segala yang dijalani selama satu bulan penuh, yakni berpuasa (dan berbagai aktivitas ibadah pada Ramadan kemarin). 

Para penceramah atau dai, di awal-awal Ramadan, pasti akan mengutip ayat nomor 183 dalam surat Al-Baqarah. Sebuah dalil penguat untuk kemudian menyampaikan materi tentang kewajiban berpuasa sebagai perintah langsung dari Allah (mahdlah) yang harus dipatuhi oleh setiap muslim yang beriman. Di akhir ayat 183 itu, ada sebuah tujuan mulia, serupa iming-iming. Apa itu? Yakni, la'allakum tattaqun (supaya kamu sekalian bertakwa).

Lalu apa hubungan antara puasa Ramadan dengan Idulfitri yang memiliki arti kembalinya seorang manusia pada kesucian diri? 

Menurut saya, orang yang bertakwa--sebagaimana yang tersurat di dalam ayat tadi--merupakan dampak positif dari ibadah puasa (ditambah dengan ibadah yang lain) yang dilakukan sepanjang Ramadan. Sementara takwa, secara umum, bermakna: meninggalkan segala larangan Allah dan menjalankan perintah-Nya dengan kesungguhan hati karena mengharap ridho Allah. 

Perintah Allah, apa pun itu bentuknya, sudah barang tentu tidak akan pernah melanggar kesucian. Sebagaimana tujuan ditegakkan syariat Islam yang harus berlandaskan pada lima hal: yakni menjaga agama, menjaga diri, menjaga keturunan dan kehormatan, menjaga harta, serta menjaga akal. Dari kelima tujuan tersebut, tidak ada sama sekali yang melanggar kesucian. Itulah perintah Allah yang harus dijalankan dan diwujudkan oleh orang-orang yang bertakwa.

Maka orang yang bertakwa, yang telah dinyatakan lulus dari penggemblengan selama sebulan penuh, adalah mereka yang mampu melahirkan pribadi-pribadi yang suci. Yakni, mereka yang kembali sadar terhadap fitrah kemanusiaan, sebagaimana tujuan syariat Islam itu tadi. Orang bertakwa, yang telah selesai ibadah di bulan suci Ramadan adalah juga mereka yang senantiasa mampu membantu, menolong, dan menyelamatkan orang lain. Mereka yang senang menebar salam kebajikan kepada siapa saja.

Demikianlah makna Idulfitri dari sebagian besar ulama. 

Tetapi kemudian, sebagian ulama ada pula yang memaknai Idulftri sebagai hari di mana kita kembali berbuka (makan). Artinya, bahwa memang untuk berpuasa tepat di Hari Raya Idulfitri, hukumnya adalah haram. Maka, diartikan Idulfitri sebagai kembali berbuka puasa. 

Fithri, sebagaimana pendapat sebagian ulama, juga sering disebut atau dimaknai dengan berbuka atau makan. Yakni, memiliki akar kata yang sama dengan futhur atau ifthar. Tetapi, bagi saya, pemaknaan yang kedua ini hanya memperlihatkan cara-cara awam di mana makan dan minum adalah sesuatu yang sangat lumrah. Sesuatu yang memang dibutuhkan oleh manusia. 

Tetapi, mari kita lihat makna Idulfitri sebagai fitrah yang dalam makna pertama tadi. 

Saya melihat kehidupan ini memiliki dua dimensi. Yakni kebaikan dan keburukan. Manusia juga diberi naluri-naluri fitrah yang ada di dalamnya. Bahkan juga ada kecenderungan-kecenderungan nafsu (syahwat). Ada nafsu yang terkadang ketika kita tidak menempatkan itu pada satu tempat yang benar, maka ia akan menjadi buruk. Itulah fitrah manusia. Diberi nafsu. 

Nah kemudian, Islam ingin mencoba menaklukkan nafsu-nafsu yang tidak bisa terkendali itu melalui proses puasa. Sebagaimana yang telah jamak kita ketahui, bahwa inti dari puasa adalah mengendalikan kecenderungan-kecenderungan buruk dari manusia, sehingga dapat dikendalikan. Tentu saja diarahkan kepada hal-hal yang maslahat bagi kemanusiaan. Saya kira, inilah tujuan Allah memerintahkan kita untuk berpuasa. 

Lalu, pernah ada pertanyaan yang diajukan kepada saya. Ramadan adalah bulan yang di mana kita, umat Islam harus mampu menahan diri dan mengendalikan nafsu; tetapi kenapa kok justru sikap konsumerisme yang meningkat? Bahkan tak jarang, di bulan Ramadan, kita seringkali mendengar ada orang atau kelompok yang tidak kuasa menahan amarah. Bagaimana?

Saya lantas teringat soal materi para penceramah di awal-awal Ramadan. Yakni soal tingkatan-tingkatan puasa menurut Imam Ghazali. Menurut filsuf bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i ini, puasa terbagi menjadi tiga macam. Yakni puasa awam, khawas (khusus), dan khawasul khawas (paling khusus). 

Puasa awam adalah istilah yang ditujukan untuk orang yang mampu menahan diri dari makan, minum, dan segala yang membatalkan puasa secara jasadi sejak terbit matahari hingga waktu magrib. Inilah puasa yang paling umum dan dipahami oleh sebagian besar masyarakat terhadap makna puasa. 

Tetapi puasa awam ini tidak akan memunculkan efek-efek psikologis. Sebab, bagi saya, puasa harus punya dampak terhadap pribadi yang semakin meningkat kebaikannya, berdampak pada tingkat kepekaan sosial, dan juga tentu saja harus berdampak pada peningkatan daya spiritualitas kita. Maka, kita harus sudah mulai masuk ke dalam tingkatan puasa yang kedua. Yakni, khawas (khusus).

Bagi Imam Ghazali, salah satu kriteria orang-orang yang berpuasa dalam tingkatan yang kedua ini adalah mereka yang tidak hanya menahan lapar, dahaga, dan nafsu syahwatiyah saja, tetapi juga menjaga panca indera dari berbuat maksiat dan berlebih-lebihan, termasuk soal perilaku yang konsumtif. Tetapi yang kedua ini jarang sekali disosialisasikan di tengah-tengah masyarakat, sehingga banyak yang menganggap bahwa puasa hanya ritual formalistik belaka: yakni menahan haus dan lapar hingga bedug magrib. 

Sementara tingkatan puasa yang ketiga adalah fase yang sangat sulit. Lebih-lebih bagi saya sendiri. Inilah puasa khawasul khawas (paling khusus). Tingkatan puasa ini hanya bisa dijalani oleh orang-orang tertentu saja. Yakni puasa yang harus membuat pikiran kita tidak beralih dari Allah sama sekali, sehingga semua hal harus memikirkan Allah. Sedangkan perkara keduniaan tidak akan pernah terbersit sedikit pun dari orang yang mampu berpuasa pada tingkatan ini. 

Puasa yang pada tingkatan ketiga ini yang tidak bisa diikuti oleh banyak orang. Sehingga dampak dari puasa selama sebulan penuh kemarin, sama sekali tidak bisa tampak pada 11 bulan ke depan. Jadi, puasa kita (sebagian besar muslim Indonesia) tidak sama sekali memiliki dampak substansi atau inti dari ajaran agama itu sendiri: yang mengajarkan agar mampu menahan diri dari sifat keduniaan seperti konsumerisme. 

Lalu siapa yang bertanggung jawab terhadap persoalan masyarakat muslim yang hanya berpuasa sebatas ritual-formalistik, dan tidak mengindahkan substansi ajaran Islam soal puasa yang harus berdampak pada kemaslahatan kemanusiaan di 11 bulan setelah Ramadan? [Bersambung]

Wallahua'lam...
Previous Post
Next Post

0 komentar: