Senin, 25 Mei 2020

Memaknai Kembali Puasa Kita (Idulfitri Bagian 2)


Ilustrasi. Sumber gambar: arahjaya.com

Bagi saya, yang seharusnya bertanggung jawab terhadap persoalan masyarakat yang selama ini berpuasa hanya sebatas ritual-formalistik, tanpa mengetahui tentang substansi berpuasa Ramadan itu, adalah para penceramah dan dai. Sebab, sebagian besar dari penceramah kita pun adalah mereka yang tidak 'serius' dalam menyampaikan ajaran agama.

Bahkan parahnya, sebagian penceramah atau dai kita selama ini, tidak memiliki ilmu yang memadai dan hanya modal percaya diri untuk naik ke atas mimbar keagamaan membawa satu atau dua dalil, tetapi sesungguhnya mereka sendiri adalah penganut agama yang masih hanya sebatas ritual-formalistik. Walaupun ada juga sebagian penyampai agama dari kalangan Islam, yang menyampaikan agama secara substantif. Tapi jelas, untuk persoalan ini, yang harus bertanggung jawab adalah para tokoh atau penyampai agama itu.


Sebab, perilaku konsumtif yang kini menjangkiti masyarakat muslim telah menjadi sangat lazim dan kecenderungan umum. Bahkan, dalam ibadah puasa Ramadan, tak jarang kita menemui ada saja orang-orang yang gemar menyalahkan atau menyakiti orang lain, berkata kasar, dan berlaku semena-mena. Hal ini dikarenakan puasa sebagian besar masyarakat kita hanya sebatas formalistik semata.

Puasa yang formalistik itu hanya sekadar memenuhi syarat dan rukun yang terlihat saja. Sebagaimana yang telah dijelaskan di dalam tulisan sebelumnya, yakni puasa awam menurut Imam Ghazali. Sementara sebagian besar masyarakat kita, belum mampu melakukan ibadah puasa yang substantif. Yakni puasa yang benar-benar menghayati makna terdalam dari perintah-perintah puasa itu sendiri.

Imam Ghazali pernah menjelaskan soal rumusan tentang ibadah yang sangat substantif. Menurutnya, dalam salat misalnya, bukan hanya sekadar aqwalun wa af’alun muftatahatun bittakbir wamuhtatamatun bittaslim (kata-kata, ucapan-ucapan, dan perbuatan-perbuatan, yang diawali takbiratul ihram dan diakhiri salam). Tetapi Imam Ghazali menambahkan syarat khusyu. Artinya, menurut Imam Ghazali, jika orang tidak khusyu, maka salatnya batal.

Begitu juga soal puasa yang seharusnya tidak dilakukan hanya sekadar menahan haus dan lapar atau makan dan minum. Tetapi para dai juga harus menambah kadar atau bobot materinya tentang nilai-nilai puasa yang lebih substantif. Bahwa membicarakan orang lain (ghibah), fitnah, berlaku kasar kepada orang lain, dan menggunjing orang lain, sudah pasti dinyatakan batal puasanya. Bukan sekadar dinyatakan batal secara etika atau sebatas dikatakan hilang pahala puasanya. 

Lalu, setelah puasa Ramadan selama sebulan penuh sebagai sebuah penggemblengan agar kita mampu melakukan pengendalian terhadap ego dan nafsu, pribadi yang seperti bagaimanakah yang semestinya terbentuk?

Teman-teman pembaca yang terkasih, mari kita buka ayat ke-177 dalam surat Al-Baqarah. Ayat ini bagi saya, akan menghadirkan sebuah nilai yang sangat substantif dari segala yang telah kita lakukan selama berpuasa pada Ramadan kemarin. Di dalam ayat itu dikatakan bahwa kebaikan itu bukanlah karena dengan menghadapkan wajah kita ke barat dan ke timur. Sebab itu merupakan sesuatu yang hanya sebatas formalistik. 

Akan tetapi, kebaikan itu adalah ketika kita mampu beriman kepada Allah dan mengerjakan segala sesuatu yang telah menjadi ketetapan-Nya. Selain itu, kita juga dianjurkan oleh Allah untuk mampu memberikan harta sekalipun kita sedang mencintai harta itu. Kita harus memberikannya kepada kerabat, orang-orang yatim, dan orang-orang yang miskin atau dimiskinkan oleh keadaan; serta diharapkan kita juga senantiasa bersabar jika dalam keadaan susah.

Jadi, di dalam puasa pun, harus juga ada komitmen-komitmen yang seperti itu. Komitmen personal dan sekaligus komitmen terhadap sosial. Ketika kita sudah keluar dari Ramadan, kita diharapkan menjadi pribadi yang lebih baik dan sekaligus juga memiliki kepekaan terhadap sosial dan terhadap kemanusiaan. 

Singkatnya, pribadi yang berhasil dalam menjalani puasa Ramadan adalah yang mampu membebaskan orang lain dari kegelapan, dari belenggu penindasan, dan dari kemiskinan. Inilah yang disebut yukhrijuhum minadz-dzhulumati ilannur. Atau dalam istilah RA kartini adalah habis gelap terbitlah terang. Ya, kita harus menjadi cahaya bagi kemanusiaan setelah melewati fase Ramadan. Inilah seharusnya yang menjadi output dari puasa kita selama sebulan kemarin.

Ayat 177 surat Al-Baqarah itu sebenarnya diturunkan untuk merespon kegelisahan umat Islam lantaran Nabi memindahkan kiblat dari Masjidil Aqsa di Palestina ke Masjidil Haram di Mekkah. 

Lalu Allah menjelaskan bahwa yang dikehendaki bukanlah persoalan mau menghadap ke mana, tetapi yang harus dipegang teguh oleh umat Islam adalah soal komitmen-komitmen tadi yang harus menjadi hal penting bagi kehidupan manusia itu sendiri. Jadi, formalisme agama (yang hanya mengedepankan simbolisasi keagamaan) harus segera dilampaui dengan hal-hal yang lebih substantif. 

Jadi mari kita maknai kembali puasa kita. 

Tujuan puasa Ramadan adalah agar menjadikan orang menjadi pribadi yang bertakwa. Sementara takwa itu sesungguhnya terbagi menjadi dua. Ada takwa individual dan takwa sosial. Jadi, selain kita mampu menjadi pribadi yang bersih yang bersedia menjauhi segala larangan-Nya, kita juga harus mampu menciptakan struktur sosial yang adil; yang tidak menindas; yang peka terhadap nilai-nilai kemanusiaan. [Bersambung]


Wallahua'lam...
Previous Post
Next Post

0 komentar: