Minggu, 11 Agustus 2019

Testimoni Inayah Wahid (Part 1): Tentang Kebesaran Mbah Moen


Foto bersama usai diskusi

Jumat malam Sabtu, 9 Agustus 2019, saya bersama Koordinator Gusdurian Bekasi Raya  M Shofiyulloh (Kang Opi) dan rekan-rekan yang lain dari Bekasi, menghadiri acara doa bersama untuk KH Maimoen Zubair, yang diselenggarakan oleh Gusdurian Jakarta, di Griya Gusdur, Taman Amir Hamzah, Matraman, Jakarta Timur.

Di sana, ada beberapa pembicara. Mas Hamzah Sahal, Mas Rumadi, Gus Aang Arif Amrullah, dan Mbak Inayah Wahid. Nama yang saya sebut terakhir, sesungguhnya menjadi daya tarik saya, secara pribadi, untuk hadir. Selain bertujuan agar tahu kisah-kisah tentang Mbah Moen, saya juga ingin tabarukan dengan dzurriyat Gus Dur. 

Sebab selama ini, bisa dikatakan, saya adalah orang yang paling rugi. Mengaku orang atau santri Nahdlatul Ulama dan Penggerak Gusdurian Bekasi Raya, tapi belum pernah sowan dan bertemu sama sekali dengan Mbah Moen, Gus Dur, dan dzurriyat-nya. Bersyukur, kemarin ada Mbak Inayah Wahid. 

Orang-orang ramai sekali, tidak seperti biasanya. Ruang diskusi menjadi sangat sesak. Hampir tidak ada tempat bagi orang yang datang terlambat, seperti saya dan teman-teman Gusdurian Bekasi Raya lainnya. Maklum saja, Bekasi memang jauh. 

Karena datang telat, kami justru mendapat tempat paling depan. Karena budaya di Indonesia itu, siapa datang pertama, maka duduk di tempat paling belakang. Saya, karena duduk di paling depan, maka berhadap-hadapan dengan pembicara.

Saat tiba di ruangan, Mas Hamzah Sahal, pemilik website alif.id itu, sudah hampir habis bicaranya. Kemudian tidak lama, mbak moderator yang sedari awal dilirik oleh Kang Opi itu, memberikan kesempatan kepada Ketua Lakpesdam PBNU Mas Rumadi Ahmad. 

Namun, Mas Rumadi tidak berbicara panjang lebar, hanya sebentar saja. Usai itu, hak berbicara diberikan kepada Mbak Inayah. Saya lantas memperhatikan dia berbicara. Wajah dan gaya bicaranya yang lucu tapi berisi, mirip sekali dengan Gus Dur. Sehingga kami, tidak merasa bosan mendengarnya bicara.

Usai salam, Mbak Inayah menyampaikan kalimat pembukanya, "Kalau tadi Mas Hamzah dan Mas Rumadi sudah membicarakan Mbah Moen dalam konteks ke-NU-an, maka saya akan membahasnya tidak dalam konteks ke-NU-an sama sekali. Saya tadi sempat tidak tahu mau ngomong apa, maka saya tadi sempat cerita ke adik-adik Gusdurian yang membuat saya terpaksa berbicara malam ini."

Maka, pada kesempatan itu, Mbak Inayah hanya sebatas memberikan testimoni tentang kebersamaannya atau pengalaman yang pernah dia alami bersama Mbah Moen.

"Ya sudah (cerita yang disampaikan ke adik-adik Gusdurian) itu saya jadikan testimoni dari kacamata orang yang tidak tahu Mbah Moen. Saya yakin, sebenarnya lebih banyak yang gak tahu (cerita itu). Jadi mungkin ini akan lebih tebal," kata Mbak Inayah. 

Alasan dirinya tidak ingin membahas Mbah Moen dari konteks ke-NU-an adalah karena yang hadir di sana, bukan hanya dari kalangan NU saja. Tetapi juga ada yang nonmuslim, dari Indonesia Timur, dan berbagai kalangan, karena memang Mbah Moen merupakan ulama lintas segalanya. 

"Kita bisa lihat kemarin, banyak sekali orang-orang yang memposting bagaimana teman-teman di gereja dan di klenteng melakukan doa bersama untuk Mbah Moen," kata Mbak Inayah.

Hal tersebut menggambarkan bahwa sebenarnya Mbah Moen adalah ulama yang tidak hanya lintas generasi, tetapi juga lintas agama. Mbak Inayah kemudian mengaku bingung harus berbicara apa terkait Mbah Moen. 

"Saya bukan kakak saya yang selalu membanggakan dirinya yang selalu dibanggakan Mbah Moen, karena dari keempat anaknya Gus Dur, dia yang paling disenangi. Saya katakan ke orang-orang, itu karena Mbah Moen jarang ketemu saya," kata Mbak Inayah, disambut tawa gemuruh oleh hadirin yang memadati ruang diskusi.

Dia mengaku bukanlah seorang yang sangat sering mengikuti pengajian Mbah Moen. Bahkan, pertemuan terakhirnya dengan politisi PPP itu adalah saat Haul Gus Dur pada Desember 2018 lalu.

"Saya ingin berbicara dalam konteks orang urban yang meskipun tahu Mbah Moen, tapi hanya sebatas (dari) sosial media. Meskipun saya pribadi punya pengalaman dengan beliau. Saya mau berbicara tentang apa yang saya lihat terhadap beliau," katanya.

Mbak Inayah melanjutkan, "Mbah Moen itu kiai besar. Saya yakin kita semua tidak akan menolak pernyataan itu. Kalau tadi kata Mas Rumadi, semua orang dari berbagai unsur mendoakan dan segala macam, bahkan orang yang sering menghujat Mbah Moen tetapi pada saat yang sama memanfaatkan beliau."

Menurut Mbak Inayah, kelompok yang sering menghujat tetapi memanfaatkan kebesaran Mbah Moen, sesungguhnya mengakui kebesaran ulama kharismatik itu. Bahwa tanda-tanda kebesarannya memang sudah sangat banyak terlihat.

Namun bagi putri Gus Dur yang terjun ke dunia seni itu, kebesaran Mbah Moen bukanlah ketika beliau wafat dan kemudian kepergiannya itu menjadi headline di semua media massa selama berhari-hari. Kebesarannya bukan karena di koran terpampang wajah Mbah Moen yang besar dan memenuhi satu halaman.

Bukan pula lantaran prosesi pemakamannya yang menakjubkan dan kemudian menjadi viral, karena jadi rebutan untuk saling menyampaikan  atau menjadi pemimpin doa untuk Mbah Moen.

Sebagaimana Mas Hamzah Sahal, Mbak Inayah pun sepakat bahwa kebesaran Mbah Moen justru karena sikap humble (rendah hati) yang sering diperlihatkan semasa hidupnya. Mbah Moen selalu melepas jarak atau sekat antara kiai dengan santri. 

Mbah Moen tidak pernah segan untuk bertanya lebih dulu kepada santri. Hal ini tentu saja sudah menjadi sesuatu yang biasa bagi sosok yang besar karena ilmu dan kealimannya.

Namun bagi orang yang mengerti tradisi pesantren, pasti tahu soal hierarki yang sering terjadi dan diperlihatkan, yakni soal bagaimana sesungguhnya para pimpinan-pimpinan itu, punya ego yang besar terhadap orang-orang yang ada di bawahnya.

"Tapi kemudian Mbah Moen mampu mendobrak (budaya) itu semua. Itulah yang menjadi kebesaran Mbah Moen. Bagi saya, kebesaran itu adalah akumulasi dari hal-hal yang kecil. Mbah Moen, sebagai seorang kiai besar, memunculkan hal itu setiap hari," kata Mbak Inayah.

(Transkrip: Khaifah Indah Parwansyah)
Previous Post
Next Post

0 komentar: