Selasa, 14 Mei 2019

Hanya Lakukan Provokasi, Dakwah FPI Tidak Qur'ani



Sudah memasuki puasa hari kesembilan. Satu fase di bulan Ramadan akan segera berakhir. Yakni sebuah momentum dimana Allah memberikan rahmat atau kasih sayang-Nya kepada orang-orang beriman yang tekun beribadah. 

Fase kedua nanti, kita masuk ke dalam kubang pengampunan Allah yang Mahakaya. Siapa saja yang tulus dan atas dasar keimanan yang teguh dalam beribadah di bulan suci, maka sudah barang tentu mendapatkan ampunan dari Allah. 

Namun, di musim politik ini, bangsa Indonesia sepertinya agak susah mendapatkan rahmat dan ampunan Allah, walaupun kita tahu kedua pemberian Allah itu hanya Dia yang tahu. Tetapi kan indikasi-indikasinya bisa kita saksikan bersama. 

Pertanyaannya: apakah orang-orang yang gemar mencaci-caci maki, mengujar kebencian, mengajak permusuhan, dan mengancam pembunuhan akan mendapat rahmat dan kasih sayang Allah? Atau bisakah orang-orang yang tidak mampu memberikan maaf dan menyayangi musuh-musuhnya akan diberikan ampunan Allah? Sedangkan dia sendiri tidak bisa 'mengampuni' orang lain. 

Jadi begini...

Hiruk-pikuk politik negeri ini, menjelang pengumuman KPU pada 22 Mei 2019 menjadi sangat terasa hangatnya, bahkan berubah menjadi begitu panas. Hal tersebut diperparah dengan ajakan-ajakan provokatif yang disampaikan oleh Front Pembela Islam (FPI) melalui mulut Provokator Ulung, yakni Yang Mulia Habib Rizieq Shihab. 

People power itu rencananya memang akan dikerahkan untuk melawan 'kezaliman'. Sebab Pilpres tahun ini dirasa ada banyak 'kecurangan'. Tapi hingga detik ini, tidak ada satu pun tuduhan-tuduhan itu diungkapkan berdasarkan data dan fakta. Hanya tuduhan serampangan atau sembarangan saja. Tak lebih. 

Namun kabarnya, Selasa (14 Mei 2019) sore, Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi mengadakan pertemuan di Hotel Grand Sahid Jakarta, untuk mengungkap fakta-fakta kecurangan Pilpres 2019.

Silakan diungkap dengan sebenar-benarnya. Kita tunggu hasilnya, apakah kemudian fakta kecurangan yang diungkap itu dilaporkan sehingga melakukan proses sesuai prosedur yang berlaku, sebagaimana aturan yang berlaku di negara demokrasi ini? Entahlah.

Kembali ke people power. Ajakan itu kian masif di media sosial. Sepertinya memang ada pihak yang menyengaja untuk membenturkan sesama anak bangsa. Merekalah sesungguhnya penumpang gelap demokrasi. Ujung-ujungnya, mereka mendoktrin dan memprovokasi umat agar tidak mempercayai segala bentuk sistem yang berlaku di negeri ini. Solusinya? Khilafah! preeett...

Saya tuh gregetan dengan Provokator Habib Rizieq Shihab bersama FPI-nya. Mereka kerap membakar amarah umat sehingga mau turun ke jalan, secara brutal dan urakan --baik verbal maupun nonverbal-- dengan mengatasnamakan jihad. Atau sebutannya: jihad konstitusional. Bohong!

Jihad konstitusional itu adalah menaati segala peraturan konstitusi yang berlaku di negeri ini. Tidak menuduh bahkan cenderung fitnah kepada pemerintahan yang sah, bahwa telah melakukan kezaliman-kezaliman sehingga wajib untuk diperangi. Bulan puasa? Perang namanya. Sebagaimana perang badar serta perang-perang Rasulullah lainnya yang dilakukan di Ramadan, dan Islam pemenangnya. 

Kemudian timbul pertanyaan, apakah FPI dengan propaganda dan provokasinya itu --untuk mengajak turun ke jalan pada 22 Mei-- adalah jihad yang benar-benar mewakili seluruh keresahan umat Islam, sebagaimana ketika di zaman nabi? Jelas tidak, sama sekali. FPI hanya memprovokasi umat agar sama-sama berjihad membela kepentingan pragmatis-politis. 

Jangan mau dibohongi FPI. Karena cara dakwah FPI, terlebih di bulan Ramadan dengan penuh hasud dan dengki, sama sekali tidak mencerminkan dakwah Islam sebagaimana tertuang di dalam Al-Qur'an dan Hadits. Lantas mereka mengikuti siapa? Jawabannya, mengikuti hawa nafsu kepentingan dunia; bukan kepentingan umat Islam.

Sekali lagi, jangan mau dibohongi FPI. 

Dakwah-dakwah mereka sama sekali tidak Qur'ani. Bahkan bertentangan dan bertolak belakang dari laku yang dicontohkan atau diteladankan oleh Nabi Muhammad. Mereka hanya gila kuasa, berambisi besar untuk menguasai negeri ini, dan kemudian melakukan segala sesuatu yang selama ini mereka inginkan. 

Mereka bersama Habib Rizieq Shihab itulah sebenarnya-benarnya penista agama karena selalu membakar amarah umat dan mengajak untuk membenci, bermusuhan, dan membunuh satu sama lain: sesama anak bangsa bahkan sesama ahlul qiblah. Na'uzubillahi min dzalik. 

Dakwah Islam yang sesungguhnya

Bulan Ramadan adalah momentum kita untuk memperbaiki akhlak. Semacam madrasah, agar kita mampu menjadi pembelajar yang sukses pasca-Ramadan. Murid atau pelajar yang sukses bukanlah mereka yang sedang belajar ketika di madrasah, tetapi mereka akan terlihat sukses --atau tidaknya-- yakni ketika telah lulus dari madrasah tempatnya belajar. 

Begitulah sesungguhnya Ramadan. Maka, sungguh aneh jika bulan suci ini justru diisi dengan tindakan inkonstitusional yang mengatasnamakan Islam tetapi sesungguhnya justru sangat bertentangan dengan ajaran-ajarannya.

Seperti itulah FPI. Mereka sesungguhnya yang menjadi benalu demokrasi, yang selalu bertugas mengompor-kompori rakyat agar bergejolak melawan pemerintahan, dengan dalih membela agama. Bohong!

Kepada saudaraku yang berada di FPI, marilah kembali kepada Al-Qur'an. Mari kita kaji bagaimana dakwah yang sesuai dengan kondisi zaman. Sebuah zaman yang sudah tidak ada lagi perang.

Mari mengkaji agar Indonesia menjadi baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur. Bukan justru membuat anak bangsa saling mencaci-maki, memecah-belah, dan memusuhi satu sama lain, hanya karena berbeda pandangan yang tidak sampai melunturkan keimanan kita sebagai muslim.

Dakwah ala Rasulullah itu bukanlah dakwah yang hobinya memecah-belah. Tetapi dakwah yang mampu membersamai orang-orang lemah, kaum yang termarginalkan, dan orang-orang yang terzalimi. Rasulullah adalah orang yang penyayang.

Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman: Laqod jaa-akum rasuulun min anfusikum 'aziizun 'alaihi maa 'anittum hariishun 'alaikum bil mu'miniina ra-uufun rohiim.

Lalu apakah pemerintahan Joko Widodo ini telah zalim dan keluar dari koridor-koridor keislaman? Saya rasa tidak. Segala sesuatunya bisa diproses secara hukum yang berlaku di negeri demokrasi. Bukan justru dilawan dengan cara-cara brutal yang sangat terstruktur, sistematis, dan masif sebagaimana yang dilakukan FPI untuk mengompori dan memprovokasi umat. 

Lagipula, ini kan hanya persoalan pemilu yang lima tahunan. Kenapa seolah-olah persoalan pemilu ini menjadi persoalan yang kalau tidak diselesaikan, kiamat akan segera tiba? Tunggu saja lima tahun lagi, tarung lagi. Dalam demokrasi, pemilu, menang dan kalah itu biasa. Sangat biasa. Terlebih bagi orang yang sudah biasa menang dan sudah biasa kalah.

Kunci dakwah Islam yang dicontohkan oleh Al-Qur'an adalah mengajak orang-orang ke jalan Allah dengan cara-cara bijaksana dan keteladanan yang patut ditiru. Kemudian kalau memungkinkan untuk beradu argumentasi, maka kemukakanlah dengan santun. 

Ud'u ilaa sabiili rabbika bil hikmah wal mau-idzhotil hasanah wa jaadilhum billati hiya ahsan. Demikian pesan Allah kepada Nabi Muhammad agar kemudian diteruskan kepada umat Islam dalam rangka menjalankan program-program dakwah di muka bumi. 

Artinya, jika pilpres ini dirasa curang haruslah diprotes dengan cara-cara yang Qur'ani seperti itu. Bijaksana, keteladanan, dan cara yang santun. Tidak brutal dan anarkis, baik verbal maupun nonverbal. 

Kemudian Allah juga mengingatkan Rasulullah bahwa tugas dakwah itu hanyalah mengingatkan, bukan menjadi diktator (sebagaimana Soeharto pada masa orde baru). Fadzakkir innamaa anta mudzakkir, lasta ‘alaihim bi mushaitir.

Karena sesungguhnya hanya Allah yang memiliki hak penuh atas keimanan seseorang. Sebagai pendakwah, hendaklah tidak menggunakan cara-cara anarkis dan memaksa dalam upaya memperkenalkan agama Allah. 

Walau syaa-a rabbuka la-amana man fil-ardli kulluhum jamii’an, afaanta tukrihunnaasa hattaa yakuunu mu’miniin.

Sungguh, Allah sebenarnya bisa saja membuat semua orang di muka bumi beriman. Namun apakah kemudian kita akan memaksan orang yang berbeda --pendapat, keyakinan, dan pandangan-- untuk beriman sebagaimana yang sedang kita imani. 

Sebagai agama penyempurna yang telah paripurna, Islam juga mengajarkan tentang bagaimana cara untuk memperlakukan kejahatan dengan proporsional. Berbeda dengan agama-agama sebelumnya, yakni Yahudi dan Nasrani. 

Di dalam agama Yahudi, jika seorang berbuat zalim kepadanya maka haruslah dibalas tuntas seperti perbuatan yang dilakukan kepadanya. Itulah kemudian yang diadopsi ke dalam Islam, sehingga menjadi hukum yang kita kenal: qishos

Sementara di dalam tradisi Nasrani, jika seorang menampar pipi kiri maka wajib diberikan pipi kanan agar ditampar. Artinya, tidak membalas sama sekali. Tetapi justru membiarkan perbuatan zalim itu dilakukan, karena hanya Allah yang Maha Pemberi Pertolongan dan yang akan membalas kezaliman itu. 

Nah, di Islam kita diajarkan pula untuk melawan kejahatan. Bahkan, Islam memberikan dua opsi. Allah berfirman: Wa jazaa-u sayyiatin sayyiatun mitsluha, fa man 'afaa wa ashlaha fa ajruhuu 'alallah, Innallaha laa yuhibbu-dzh dzholimiin

Bahwa balasan untuk perbuatan kejahatan adalah kejahatan yang serupa (qishos), tetapi siapa orang yang mampu memaafkan kejahatan itu dengan tulus maka akan mendapat ganjaran atau apresiasi langsung dari Allah. Karena sesungguhnya Allah tidak suka dengan orang-orang zalim. 

Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa cara dakwah yang dilakukan FPI dalam rangka mengajak orang lain ke jalan Allah, sangat bertolang belakang dengan yang termaktub di dalam kitab suci. Saudaraku, Ramadan adalah bulan diturunkannya Al-Qur'an, maka mari kita kembali mengkaji Al-Qur'an agar tak salah jalan.

Terakhir, saya tegaskan bahwa dakwah model FPI sangat tidak Qur'ani. FPI hanya bertugas mengadu domba umat agar pecah-belah, saling bermusuhan satu sama lain, dan kemudian ada pertumpahan darah sesama ahlul qiblah. Na'udzubillahi min dzalik. 

Berikut ini contoh provokasi yang disampaikan FPI untuk melakukan people power pada 22 Mei mendatang.






Semoga kita senantiasa diberi rahmat dan ampunan dari Allah. Btw, ada yang mau dibantah?

Senin, 13 Mei 2019

Pengancam Presiden Jokowi adalah Korban Propaganda FPI


Hermawan Susanto, Pengancam Presiden Jokowi

Beberapa waktu lalu, kita dihebohkan oleh video yang viral saat gerombolan pendukung capres-cawapres nomor urut 02 melakukan aksi di depan Kantor Bawaslu RI, Jakarta. Video itu dibuat oleh seorang perempuan, yang merasa bangga karena sedang berada di tengah-tengah massa aksi menuntut 'keadilan' karena Pemilu 17 April 2019 lalu dianggap 'curang'.

Di belakang perempuan itu, ada seorang laki-laki --Hermawan Susanto namanya-- memakai peci dan pakaian khas keagamaan, meneriakkan kalimat takbir berkali-kali, seraya menyelipkan ungkapan atau keinginannya untuk memenggal kepala Presiden RI Joko Widodo.

Anehnya, saat diciduk oleh pihak kepolisian, Hermawan mengaku khilaf dan spontan saat mengungkapkan kalimat yang tak berkemanusiaan itu. Dia tidak sadar bahwa yang menjadi objek dari ungkapannya itu adalah orang nomor satu di negeri ini, disamping sebagai calon presiden (petahana) nomor urut 01.

Tapi apakah dalam berucap itu, Hermawan sedang dalam keadaan yang tidak sadar? Tentu saja tidak demikian. Dia pasti sadar, karena tengah melaksanakan ibadah puasa Ramadan. Lantas, apakah dia sudah mengotori kesucian Ramadan? Tentu saja. Ramadan yang semestinya diisi dengan berbagai macam ibadah, sebagai pengejawantahan dari keberimanan seseorang dalam mencapai derajat ketakwaan, akan ternodai dengan ucapan serampangan itu. Miris. 

Dia akhirnya diciduk di daerah Bogor, Jawa Barat, dengan wajah memelas seraya diakhiri permintaan maaf yang sangat mendalam. Sungguh, dia sudah berbuat salah. Dengan mengucapkan permintaan maaf atas ucapan bernada ancaman kepada presiden itu, menandakan bahwa dirinya memang tidak gila, alias sedang dalam keadaan sadar. 

Lantas apa yang tersisa dari ucapan yang tidak mencerminkan Islam, tidak mencerminkan kumandang takbir yang seringkali diucapkannya, juga tidak mencerminkan dari cita-cita perjuangan agama? Apa yang tersisa?

Usia Hermawan masih 25 tahun. Seperempat abad. Ancaman pemenggalan kepala terhadap kepala negara itu sungguh memprihatinkan dan membuat seluruh anak bangsa yang masih berakal sehat menjadi geram. Perbuatan seperti itu, sudah mirip dengan kelakukan para teroris, atau sebut saja: ISIS. 

Berbagai pertanyaan kemudian bermunculan. Seperti misalnya, dari mana dia belajar agama? Apakah selama ini lingkaran keagamaannya adalah ulama atau ustadz yang gemar menebarkan kebencian, ajakan permusuhan, hingga ancaman pembunuhan?

Kalau begitu, mungkin saja Hermawan ini sudah terdoktrin, terpengaruh, dan terhasut oleh berbagai provokasi dan propaganda yang seringkali dilakukan petinggi Front Pembela Islam. Salah satunya Yang Mulia Habib Rizieq Shihab.

Masih ingat dengan video monolog Habib Rizieq dari Arab Saudi yang mengajak kelompoknya untuk mengepung Kantor Bawaslu dan KPU? Betapa provokatifnya dia, sebagai seorang yang memiliki pengaruh besar.

Karena memang, sebagian besar ulama di FPI termasuk Habib Rizieq Shihab itu tak jarang melancarkan kritik terhadap pemerintah dengan nada kebencian. Apakah seperti itu adalah representasi dakwah yang dilakukan oleh para ulama terdahulu? Tentu saja tidak. Lantas, usai kasus yang menimpa Hermawan di bulan Ramadan ini, ke mana FPI? Apakah mereka cuci tangan? Atau akan memberi pembelaan kepada Hermawan?

Saudaraku, itulah sesungguhnya yang dikhawatirkan jika FPI terus-menerus dibiarkan berada di negeri ini. Para petinggi FPI akan selalu memberikan provokasi, propaganda, dan hasutan kebencian terhadap perbedaan, bahkan kepada ulil amri-nya sendiri. Pemerintah yang sah secara konstitusional. 

Menurut saya, selain Hermawan sebagai pelaku tindak pidana karena telah mengancam presiden, dia juga telah menjadi korban dari dakwah-dakwah kebencian yang kerap keluar dari mulut para petinggi FPI, termasuk Habib Rizieq. 

Apakah kini tugas FPI masih dalam koridor memperjuangkan nilai-nilai Islam, yang selama ini dibangga-banggakan? Tidak. Sama sekali tidak. Mereka lebih sibuk menyerang pihak lawan seraya membela kelompok tertentu dan kemudian serangan-serangan yang dilancarkan itu tanpa didukung fakta serta alasan yang jelas.

Hermawan telah menjadi korban kebrutalan FPI secara fikrah (pemikiran). Apa kita masih harus membiarkan kehidupan FPI langgeng di Indonesia? Saya harap, jangan sampai. Semoga Indonesia selalu diberi kedamaian tanpa harus ada organisasi Islam kemasyarakatan seperti FPI yang bercokol di permukaan dengan dalih membela, tetapi sesungguhnya justru yang terdepan menista agama.

Rasulullah hingga Walisanga yang menyebarkan Islam di Tanah Nusantara, tidak pernah menyampaikan kalimat sebrutal Hermawan yang merupakan korban dari doktrinasi yang selalu dilancarkan oleh FPI. Sebab berdakwah itu adalah merangkul bukan memukul. Mendidik bukan menghardik. Mengajak bukan mengejek. Memberikan teladan bukan menyerukan berbagai hasutan, terlebih ancaman pembunuhan.

Apakah kemudian atas kejadian Hermawan yang telah menjadi korban dari keganasan FPI itu, kita masih bisa berasumsi bahwa FPI adalah organisasi yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan? Bro dan Sis, kalau hanya terjun ke berbagai lokasi bencana, tidak perlulah mengklaim FPI sebagai organisasi yang paling manusiawi. Sebab, manusia sedurjana apa pun, pasti terketuk hatinya saat melihat saudaranya yang sedang tertimpa bencana. Bahkan, semua organisasi juga pasti turun ke lokasi bencana. Tak terkecuali partai politik. 

Karena selama ini, yang didengungkan oleh simpatisan FPI untuk mendukung agar organisasi preman berkalung sorban tersebut, hanya sebatas itu. Tidak ada yang lain. Kalau hanya soal itu, Nahdlatul Ulama melalui NU Care, juga sudah barang tentu hadir di lokasi. Tapi kan pertanyaannya, di sisi lain, apakah FPI kerap membela Islam dan menghadirkan sisi kemanusiaan dalam memperkenalkan agama Allah yang mulia itu?

Atau bisakah kemudian amar ma'ruf nahi munkar ala FPI yang kerap menimbulkan mafsadat (kerusakan) atau kemunkaran serta berbagai permasalahan baru itu, dapat dikategorikan sebagai dakwah yang menjunjung tinggi kemanusiaan? Orang yang berakal sehat di mana pun berada pasti tidak akan mentolerir berbagai tindak kebrutalan FPI dalam berdakwah.

Dakwah Islam yang patut dicontoh adalah berbagai laku yang telah diteladankan para wali di Nusantara. Mereka masuk ke lorong-lorong gelap, ke tempat-tempat maksiat, berbaur bersama orang-orang yang termarginalkan, dan mendedikasikan diri untuk membela orang-orang yang sedang terzalimi agar kemudian merasa tersentuh dengan keluhuran agama Islam.

Maka melalui tulisan ini, sekali lagi saya tegaskan bahwa ungkapan Hermawan Susanto yang ingin memenggal kepala Presiden Jokowi adalah bentuk pengejawantahan dari doktrinasi dan hasutan yang sering diungkapkan petinggi FPI.

Hermawan adalah korban. Sedangkan salah satu solusi agar tidak ada lagi korban selanjutnya, tidak ada kata lain, kecuali membubarkan organisasi radikal dan ekstrem semacam FPI.

Ada yang mau dibantah? 

Minggu, 12 Mei 2019

Bagaimana Jika FPI Dibubarkan Saja?


Sumber: suaradewan.com
Siapa yang tak kenal Front Pembela Islam atau FPI? Itulah sebuah nama organisasi keagamaan dan kemasyarakatan yang memiliki jargon NKRI Bersyariah. Atau, ormas Islam yang mendaku memiliki misi melakukan amar ma'ruf nahi munkar. 

Membawa label Islam, rupanya tak membuat orang-orang di dalam organisasi tersebut menjadi muslim: yang senantiasa berserah diri, pasrah, tunduk, memberikan keselamatan, kedamaian, dan menghindari kerusakan baik secara lisan, tulisan, atau pun tangan. 

Dengan label Islam, di kalangan akar rumput dan masyarakat awam, keberadaannya seolah baik dan menjadi representasi Islam, sehingga hanya FPI-lah yang pantas mewakili Islam? Apakah demikian? Saya rasa tidak. FPI hanya bagian kecil dari Islam: sebuah agama besar yang menjadi jawaban atas peradaban dan perubahan zaman.

Sesungguhnya FPI itu kecil, sangat kecil. Baik secara kualitas maupun kuantitas. Mereka tak sebesar dan memiliki pengaruh kuat sebagaimana Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah: dua ormas Islam yang menjadi elemen penting dalam berdirinya NKRI. 

Namun, mereka selalu saja merasa besar. Seolah menjadi Islam yang mayoritas sehingga tidak ada yang berani mengganggu. Walaupun sebenarnya FPI-lah yang seringkali mengganggu kedamaian berbangsa dan bernegara. Prinsip mereka, siapa orang yang tak menyukainya itu sama saja membenci Islam. Sebuah pemikiran picik nan sempit. 

Sejak kehadirannya, mereka selalu membuat suasana menjadi gaduh. Terlebih jika Ramadan tiba. Mereka seolah bekerja sebagaimana Satpol PP. Di bulan puasa, warung-warung yang buka dihancurkan atau dipaksa untuk tutup. 

Begitu pula halnya Imam Besar FPI yang diklaim sebagai Imam Besar Umat Islam --padahal keberadaannya sama sekali tidak merepresentasikan Umat Islam di Indonesia-- yakni Yang Mulia Habib Muhammad Rizieq Shihab, kerapkali bicara seenaknya saja. Atas nama agama, katanya, tetapi yang keluar dari mulutnya hanyalah ujaran kebencian dan ajakan permusuhan.

Dia sering menghina ulama-ulama NU, bahkan Presiden RI ke-4 atau cucu dari Hadlratussyaikh KH Hasyim Asy'ari, yakni KH Abdurrahman Wahid pun pernah dilecehkan. Habib Rizieq pernah mengatakan --dan tidak akan pernah bisa dilupakan oleh warga NU-- bahwa Gus Dur itu buta mata dan buta hati. Karena itulah kemudian, kini Islam Indonesia masuk pada sebuah fase baru: Islam caci-maki. Na'udzubillahi min dzalik.

Hal tersebut jika terus-menerus dibiarkan, maka akan berdampak kepada generasi penerus Islam yang juga mengikuti jejak langkah Habib Rizieq, Sang Provokator Ulung itu. Yakni gemar mencaci-maki, menuduh sesat, menghardik, mencela, dan parahnya mengajak permusuhan antarsesama anak bangsa. Itulah sebenar-benarnya penista agama Islam. Bukan yang lain.

Bersamaan dengan itu, masuk pula ajaran-ajaran yang tak kalah kasarnya. Yaitu penampilan Islam yang menonjolkan eksklusivitas, pemurnian Islam yang sesungguhnya hanya menurut versi mereka sendiri yang kemudian diklaim sebagai perpanjangan dari firman Allah, dan pengkafiran yang kerap digencarkan kepada kelompok yang tak sepaham-sepemikiran.

Alih-alih membela Islam, mereka justru seperti mengambil hak prerogatif yang hanya dimiliki Allah. Mereka menganggap dirinya sebagai pemegang kunci surga, sedangkan yang tidak sejalan sudah barang tentu dikatakan sebagai penghuni kekal di neraka jahannam. Na'uzubillahi min dzalik.

Seperti yang sudah kita ketahui bersama dan telah beredar pula di media sosial bahwa pada Juni mendatang, izin FPI sebagai ormas Islam akan habis. Di linimasa-linimasa media sosial juga sudah beredar ratusan ribu tanda tangan petisi yang tidak ingin FPI hidup dan berkembang di tanah Ibu Pertiwi ini.

Alasan penolakan terhadap eksistensi FPI sudah sangat jelas. Yaitu bahwa sumber kegaduhan berdalih memperjuangkan hak-hak keagamaan, Islam, harus dihentikan. Sebab yang mereka lakukan selalu saja menimbulkan kerusakan-kerusakan baru, baik fisik maupun mental. Oleh karenanya, Indonesia tak butuh ormas Islam yang tidak ada gunanya. 

Kalau persoalannya adalah mewakili kepentingan Islam dalam hal kehidupan berbangsa dan bernegara, maka sudah cukup dengan adanya Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang sudah sangat mumpuni. Keduanya telah sama-sama berjuang dalam menghadirkan udara kemerdekaan yang detik ini sedang kita hirup kesegarannya.

Jadi, sama sekali tidak ada alasan untuk memperpanjang izin FPI. Semoga, lembaga atau pihak yang berwenang dalam mengeluarkan izin terhadap ormas di Indonesia dapat lebih bijak dan terjaga marwah serta martabatnya.

Maka itu, mari kita ucapkan: Selamat Jalan FPI. Sebab mereka sudah sangat tidak pantas berada di NKRI. Terlebih berkedok membela agama yang rupanya hanya menimbulkan permasalahan-permasalahan bahkan kerusakan baru di Bumi Pertiwi ini.

Sesungguhnya keberadaan FPI yang seolah membela Islam merupakan penghinaan bagi Islam itu sendiri. Sebab secara logika sederhana, pihak pembela berarti memiliki kemampuan lebih dari objek yang dibela. Kalau demikian, berarti FPI menganggap bahwa Islam lemah dan tak mampu berbuat apa-apa jika tanpa pembelaannya.

Bagaimana mungkin ada sekelompok orang yang kemudian dengan angkuh dan jemawa merasa lebih hebat dari Allah, sehingga merekalah yang berhak membela Islam? Sungguh, Islam tak perlu dibela. 

Islam merupakan agama yang diturunkan Allah melalui Nabi Muhammad Saw sebagai sosok sentral yang mampu menjadi rahmat bagi semesta alam. Penuh kasih sayang terhadap sesama. Bukan dengan arogan, semena-mena, dan seenaknya saja. Seperti mengumbar kebencian serta memecah-belah anak bangsa agar saling bermusuhan satu sama lain.

Mari kita lanjutkan untuk menandatangani petisi dalam rangka menyatakan, 'Stop Izin FPI' agar kemudian menjadi pertimbangan kuat bagi pemerintah yang sedang berkuasa dan memiliki kewenangan di negeri ini. Klik di sini untuk menandatangani petisi.

*********

Berikut ini beberapa daftar kemunkaran yang diciptakan FPI dengan dalih amar ma'ruf nahi munkar dan membela agama Allah.

1 November 2004
Sebanyak 500 anggota FPI merusak kafe dan bentrok dengan Forum Masyarakat Kemang di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.

23 Desember 2004
Sekitar 150 anggota FPI bentrok dengan petugas keamanaan (sekuriti) JICT, Tanjung Priok, Jakarta Utara.

9 Juli 2005
Sekira 400 orang beratribut FPI menyerbu kampus Mubarak, Parung, Jawa Barat. Mereka memberi ultimatum: dalam waktu 7x24 jam, FPI akan bertindak lebih keras lagi.

1 Juni 2008
Sejumlah 27 aktivis Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, yang tengah melakukan aksi memprotes surat keputusan bersama Ahmadiyah, mengalami luka-luka karena dianiaya massa FPI di Monas, Jakarta Pusat.

8 Agustus 2011
Sekitar 30 orang FPI mengobrak-abrik Warung Coto Makassar di Jalan AP Pettarani, Makassar, Sulawesi Selatan, karena tetap buka siang hari saat Ramadan.

28 Agustus 2011
Ratusan anggota FPI merusak mobil Daihatsu Luxio di kawasan Senayan, Jakarta Pusat. Sementara di Matraman Raya, massa FPI bentrok dengan pemuda.

28 Oktober 2011
Ratusan anggota FPI bentrok dengan anggota Polres Metro Bekasi Kota saat menggelar unjuk rasa di depan Sekolah Yayasan Mahanaim di Rawalumbu, Bekasi, Jawa Barat. FPI menilai yayasan sekolah telah melakukan pemurtadan agama terhadap warga Bekasi sejak tahun 2008.

12 Januari 2012
Massa dari FPI dan Forum Umat Islam berdemo di depan kantor Kemendagri, Jakarta Pusat. Massa kemudian melempari gedung dengan batu dan telur busuk. Aksi protes dilakukan atas pembatalan Perda Miras oleh pihak Kemendagri.

8 Juli 2013
FPI terlibat bentrok dengan Warga Sukorejo, Kendal, Jawa Tengah, ketika melakukan pawai dan razia. FPI dan warga sekitar terlibat cekcok yang berakibat tewasnya seorang warga akibat tertabrak mobil Avanza yang dikemudikan anggota FPI.

12 Agustus 2013
FPI terlibat adu bacok dengan warga Desa Kandang Semangkon, Lamongan, Jawa Timur, yang diawali aksi penganiayaan anggota FPI kepada tiga orang warga di sebuah rental Playstation.

30 Desember 2013
Kepolisian Kota Depok, Jawa Barat, menangkap lima orang anggota FPI lantaran melakukan razia di sebuah toko di Cimanggis. Polisi menangkap mereka karena terindikasi anarkis dalam melakukan aksinya.

25 September 2014
Massa FPI dan Gerakan Pemuda Kabah terlibat bentrok saat demo di depan gerai McDonald, Kawasan Simpanglima, Semarang, Jawa Tengah.

3 Oktober 2014
Kejadian ini terjadi ketika FPI melakukan unjuk rasa menolak pengangkatan Ahok menjadi Gubernur menggantikan Joko Widodo. Bentrokan yang awalnya damai, berujung rusuh yang melukai belasan anggota polisi. Kepolisian berhasil menangkap koordinator sekaligus otak kerusuhan, Novel Bamukmin, bersama 21 anggota FPI lainnya.

Kasus Habib Rizieq

Pada tanggal 30 Oktober 2008, Habib Rizieq divonis 1,5 tahun penjara terkait kerusuhan pada tanggal 1 Juni di Monas karena terbukti secara sah menganjurkan orang lain dengan terang-terangan, dan dengan tenaga bersama-sama untuk menghancurkan barang atau orang lain sesuai dengan Pasal 170 ayat (1) jo Pasal 55 KUHP.

Pada tanggal 20 April 2003, Habib Rizieq ditahan karena dianggap menghina Kepolisian Negara Republik Indonesia lewat dialog di stasiun televisi; SCTV dan Trans TV. Dia divonis tujuh bulan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 29 Juli 2003.

Pada tanggal 13 November 2015, Habib Rizieq kembali menjadi sorotan saat diundang ceramah oleh Bupati Purwakarta di kota tersebut. Saat berceramah, dia memplesetkan kata "Sampurasun" menjadi "Campur Racun". Dalam bahasa Sunda, "Sampurasun" bisa diartikan sebagai salam hormat dan doa.

Atas kejadian tersebut, Habib Rizieq dilaporkan oleh Aliansi Masyarakat Sunda Menggugat yang diinisiasi oleh Angkatan Muda Siliwangi Jawa Barat ke Polda Jawa Barat atas tuduhan penghinaan dan pelecehan terhadap Budaya Sunda.

Pada 27 Oktober 2016, Ketua Partai Nasional Indonesia Marhaenisme yang juga putri dari Presiden Soekarno, Sukmawati Soekarnoputri melaporkan Habib Rizieq ke Bareskrim Polri karena dianggap telah menghina Pancasila dan Soekarno atas pernyataan "Pancasila Sukarno, Ketuhanan ada di Pantat. Sedangkan Pancasila Piagam Jakarta, Ketuhanan ada di Kepala".

Pada 26 Desember 2016, Habib Rizieq diperkarakan oleh Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) atas tuduhan penistaan agama karena telah berkata "Kalau Tuhan beranak, bidannya siapa?"

Pada 12 Januari 2017, Habib Rizieq dilaporkan oleh Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Komisaris Besar, Raden Prabowo Argo Yuwono atas tuduhan penghinaan terhadap profesi hansip karena telah berkata, "Di Jakarta, Kapolda mengancam akan mendorong Gubernur BIuntuk melaporkan Habib Rizieq. Pangkat jenderal otak Hansip" dan "Sejak kapan jenderal bela palu arit, jangan-jangan ini jenderal enggak lulus litsus."

Pada Februari 2017, tersiar rumor adanya percakapan pornografi antara Habib Rizieq dengan seorang perempuan bernama Firza Hussein beserta foto-foto syur Firza di WhatsApp. Pada 29 Mei 2017, dia ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini.

Berikut ini kata-kata FPI, terutama Habib Rizieq yang digunakan untuk memprovokasi umat.

1. Wiranto jadi Wiranti.
2. Jokowi jadi Jokodok. 
3. Ahok dibilang kutil babi.  
4. Jilat pantat cinanya. 
5. Polisi suruh pake beha.
6. Sampurasun jadi campur racun. 
7. Pancasila Soekarno ketuhanan ada di pantat. 
8. Pala lo bau menyan.
9. Cacing pasir.
10. Presiden goblok.
11. Istana Negara: Istana Setan.
12. Menteri Agama sesat.
13. Gusdur buta mata buta hati.

Jadi, bagaimana jika FPI dibubarkan saja?

Sabtu, 11 Mei 2019

Pelukan Cinta Anak TK Lintas Iman, Sinyal FPI Dibubarkan?


Sumber: radarmadiun.co.id
Puasa sudah memasuki hari keenam. Namun suasana perbincangan wacana politik-keagamaan di media sosial tak habis-habisnya bergulat pada amarah dan kebencian. Satu kubu dengan kubu lainnya saling melancarkan serangan, bertahan sesaat saja, selebihnya menyerang lagi. 

Serangan-serangan itu kian serampangan dan tak jelas arahnya. Siapa saja bisa terkena serangan yang membabi-buta itu. Sudah babi, buta pulak. Alamaaak! 

Dualisme dan politik pecah belah semakin jelas terlihat. Bahkan, orang yang kerap memposisikan dirinya berada di tengah atau netral, ikut juga menjadi bulan-bulanan dari serangan yang tidak jelas itu. Tidak ada lagi rasa welas asih kepada "wong liyan". Nilai-nilai keindonesiaan yang sejak lama dipupuk, yakni Pancasila yang jika diperas menjadi Trisila dan diperas lagi menjadi Ekasila (gotong-royong) itu telah hilang sama sekali.

Entahlah, saya bicara ke teman-teman diskusi tongkrongan di warung kopi, barangkali perseteruan dan perkelahian wacana di media sosial itu hanya terjadi di Jakarta dan daerah-daerah penyangganya saja? Bagaimana dengan wilayah Indonesia lainnya? Hmmmmmm, rencana pemindahan ibu kota mungkin saja itu langkah yang baik untuk memeratakan konflik di negeri ini.

Selain itu, saya merasa bahwa Ramadan tahun ini --di Jakarta dan sekitarnya, entah di daerah lain-- tidak seperti Ramadan sebagai bulan yang ideal, yang selama ini kita wacanakan persis dengan apa yang difirmankan Tuhan dalam Qur'an dan digambarkan Nabi dalam Hadits. Entahlah.

Terlebih jika kita melihat di media sosial. Ah, sudahlah. Pokoknya begitu. Semrawut.

Nah menariknya, saat suasana sedang panas karena saling serang itu, ada pemandangan indah yang ditampilkan melalui berita online radarmadiun.co.id, Jumat (10/5) kemarin. 

Yakni suasana dimana anak-anak TK yang berbeda keyakinan saling berpelukan. Itulah pelukan cinta. Kejadian tersebut terjadi saat momentum anak-anak TK Katolik Santo Bernadus mengunjungi TK Islam ABA Aisyiah di Madiun. Banyak teman saya di facebook yang kemudian mengunggah ulang foto tersebut menjadi postingannya sendiri. Ada rasa haru yang diciptakan.

Mereka, anak-anak kecil itu --yang belum mengerti persoalan orang-orang dewasa yang mengotak-kotakkan pergaulan, kubu-kubuan, dan saling bersitegang karena perbedaan pandangan-- berani menembus dinding penyekat yang oleh orang dewasa kekinian dianggap tabu.

Anak Katolik dan Muhammadiyah itu rupanya telah mengingatkan orang-orang dewasa tentang sesuatu yang sangat berharga, yang sulit ditemukan di zaman serba konflik seperti sekarang ini. Apa itu? Rekonsiliasi. Hal yang pasti tidak dipahami anak kecil.

Selain mengingatkan soal betapa pentingnya rekonsiliasi di kalangan elit negeri ini, bahasa tubuh anak-anak TK itu juga menyiratkan bahwa Ramadan merupakan bulan yang mulia. Sedangkan kemuliaan itu lahir bukan atas dasar permintaan agar dimuliakan oleh "wong liyan", tetapi kemuliaan justru bisa tercipta jika masing-masing kubu saling mengapresiasi satu sama lain.

Teman saya juga ada saja yang nyeletuk. Katanya, benarkah pelukan anak kecil lintas iman itu merupakan sinyal bahwa FPI akan segera menyusul HTI menjadi almarhum --secara harakah dan siyasah tapi tidak secara fikrah-- di negeri ini? Entahlah, mungkin benar tapi bisa saja tidak tepat. 

Kalau saya justru bertanya-tanya, bisakah FPI belajar dari anak TK di Madiun itu? Sepertinya tidak. Karena sudah tidak ada waktu lagi untuk belajar, karena insyaallah pada Juli mendatang, FPI sudah tidak ada di Bumi Pertiwi.

Btw apa kabar Habib Rizieq Shihab, Sang provokator ulung dari Arab Saudi? Semoga selalu diberikan kesehatan, agar provokasi dan propaganda kebencian senantiasa diperdengarkan oleh masyarakat FPI di Indonesia. Itulah yang menjadi salah satu cahaya yang sangat terang benderang bahwa FPI akan segera dibubarkan. 

Namun FPI dibubarkan atau tidak, semuanya ada di tangan Wiranto. Lho? 

Jumat, 10 Mei 2019

Fatwa Anjing Pak Kiai


Ilustrasi

Suatu ketika, di sebuah kampung terpencil, dihebohkan oleh seorang pemilik anjing yang hewan kesayangannya itu mati. 

Setelah mati, ia bersikeras untuk mengkafani anjingnya dan kemudian menyolatkan di musala kampung. Tentu, penduduk sekitar menolak dengan keras permintaan majikan anjing itu.

Untuk merendahkan tensi yang sedang memanas sekaligus menyelesaikan permasalahan dengan baik dan secara kekeluargaan, maka dipanggil seorang kiai kondang di kampung itu.

Pak Kiai akan dimintakan fatwa dan pendapatnya mengenai persoalan anjing mati itu yang membikin suasana kampung menjadi heboh. Tak lama, dari kejauhan nampak Pak Kiai sedang berjalan tergopoh-gopoh agak terburu-buru, bersama warga yang menjemputnya.

Setibanya di lokasi, Pak Kiai bertanya, "Mana pemilik anjing mati yang sudah dikafani ini?"

Seorang pria paruh baya maju dan berkata, "Saya pak Kiai."

"Atas dasar apa kamu minta anjing kamu itu dikafani lalu disalatkan sebelum dikubur? Dia kan binatang, bukan manusia. Selain itu tidak ada ajaran dalam Islam soal menyolatkan binatang yang mati!" tegas Pak Kiai.

"T..t..tapi Pak Kiai, ini adalah wasiat dari anjing saya."

"Bohong kamu. Itu tidak mungkin. Mana mungkin anjing bisa berwasiat?!" 

"Selain itu anjing saya ini juga berwasiat agar saya menyerahkan uang Rp100 juta kepada siapa pun yang menjadi imam salatnya."

Tak diduga, Pak Kiai tiba-tiba berkata, "Kalau begitu, siapkan prosesi salat dan ajak warga untuk menyolatkan anjingmu itu."

Tentu saja warga kian heboh karena mendengar jawaban Pak Kiai yang sangat absurd dan aneh. Namun, warga tidak ada yang berani menentang kiai kondang tersebut. Sebagian dari mereka pun berbaris di belakang Pak Kiai membentuk shaf salat jenazah.

Setelah selesai salat, ada seorang warga yang memberanikan dirinya untuk bertanya kepada Pak Kiai.

"Pak Kiai, mohon maaf pak. Kenapa Pak Kiai jadi berubah pikiran dan setuju untuk menyolatkan anjing itu?"

"Setelah saya telisik dengan saksama, ternyata anjing itu masih memiliki nasab mulia dari anjing milik pemuda Ashabul Kahfi," jawab Pak Kiai setelah mengambil nafas panjang.

Warga pun hanya bisa mengangguk, entah tanda mengerti atau sekedar ikut-ikutan saja.


*********

Kira-kira, hal apa yang bisa kita petik sebagai pelajaran? Wallahua'lam...

Kenapa Prabowo Hanya Menjadi Juara Kedua?


Sumber: Fanpage Prabowo Subianto
Ramadan memasuki hari kelima. Mari sama-sama kita jaga kesucian Ramadan dengan tidak menebar kebencian dan menabur ketakutan kepada sesama manusia. Sebab, ibadah kita di Ramadan dapat dipastikan sia-sia jika dilakukan dengan perbuatan yang tidak baik. 

Karenanya, pada kesempatan tulisan kali ini, saya ingin membahas alasan kenapa Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno menjadi juara kedua? Atau bahasa sederhananya, kenapa Pak Prabowo selalu menjadi juara kedua dalam ajang pesta demokrasi tertinggi negeri ini, yakni Pemilihan Presiden. 

Ya, Prabowo Subianto sudah tiga kali mencalonkan diri untuk maju menjadi pemimpin bangsa. Tetapi selalu saja kurang berhasil --untuk tidak mengatakan gagal dalam rangka menjaga perasaan pembaca-- sehingga menarik untuk diperbincangkan. 

Luar biasanya, dua kali berturut-turut Prabowo selalu kurang berhasil kala bertanding dengan Joko Widodo, si tukang kayu dari Solo. Kenapa sih sebenarnya Prabowo selalu juara dua? Jawabannya sederhana, yakni karena Prabowo tidak cermat membaca situasi politik dan selalu gegabah dalam mengambil keputusan politik.

Jadi begini, gaes...

Prabowo ini kan adalah seorang yang nasionalis, negarawan, dan putra bangsa yang sangat kita akui rekam jejaknya. Gerindra --partai milik Prabowo-- sebagai partai baru, cukup diminati oleh masyarakat. Namun sayangnya, kekurangberhasilannya --bukan gagal-- karir politik Prabowo justru akibat keputusan politiknya yang fatal. 

Lho kok asib, eh bisa?

Pada 2014 lalu, Prabowo sadar. Ia melihat bahwa latar belakang keluarganya adalah nonmuslim (merujuk pada hasil Munas NU 2019 di Banjar, saya tidak akan menyebut keluarganya Prabowo kafir tetapi nonmuslim), dan dirinya yang juga tidak begitu religius dapat menghambat mimpinya untuk menjadi orang nomor satu di Indonesia.

Prabowo tahu, bahwa isu agama akan menyerang dirinya dan ia takut suara kelompok Islam diambil Jokowi. Maka itu, Prabowo dan Hatta Rajasa berusaha merangkul kelompok Islam agar isu agama tidak menerpa dirinya, bersama koalisi. 

Rupa-rupanya, Prabowo Hatta terlalu jauh membuat manuver dengan menggandeng kelompok Islam yang gerakannya kurang lembut --untuk tidak mengatakan Islam garis keras-- dan membuat deklarasi Pemurnian Agama. 

Praktis, kedekatan Prabowo dengan Front Pembela Ibuibu, eh Front Pembela Islam dan saudara-saudaranya justru membuat kelompok Islam moderat, Islam minoritas (seperti Syiah, Ahmadiyah, dan Islam Tarekat) serta nonmuslim menjadi kecewa dan bahkan menarik dukungan.

Jadi begitu gaes.

Prabowo terlalu tidak dekat (jauh, maksudnya) membiarkan kelompok Islam kurang lembut itu tadi melempar isu agama kepada Jokowi. Prabowo berpikir, barangkali, dengan menggandeng kelompok Islam kurang lembut itu dirinya akan selamat. Bahkan, bisa saja menurut Prabowo, suara Islam akan mutlak jatuh padanya.

Namun rupanya Prabowo kurang benar. Bukan salah. Hanya saja, kurang benar. 

Begini...

Kaum Islam moderat, nasionalis, nonmuslim, dan minoritas justru enggan memilih Prabowo dan berpaling kepada Jokowi sebagai alternatif. Akhirnya, suara Prabowo tergerus dan Jokowi menang di Pilpres 2014 lalu.

Nah, di tahun 2019 ini Prabowo melakukan hal yang sama. Karena sama, maka silakan dibaca ulang dari atas. Intinya, para pembaca yang budiman (bukan sudjatmiko) harus paham, bahwa Prabowo tidak kalah, ia hanya kurang berhasil sehingga menduduki peringkat atau mendapat juara kedua (runner up).

Paham ya? Atau, ada yang curang? Siapa? Sila diproses. 

Terima kasih. Salam dungu! Eh, btw Rocky Gerung ke mana ya? Diculik sama Setan Gundul? Hmmm...

Rabu, 08 Mei 2019

Salat Tarawih dengan Gerakan Cepat? Jangan Kagetan, Dong!


Pura-pura salat

Di media sosial, tengah viral video salat tarawih berjamaah yang gerakannya sangat cepat. Berbagai komentar muncul, baik yang mendukung atau pun respons atas ketidaksukaan terhadap salat dengan gerakan yang sangat cepat itu. 

Saya memperhatikan, tanpa sedikit pun berkomentar. Walau sebenarnya, saya juga pernah merasakan salat tarawih dengan gerakan cepat sewaktu di Pondok Buntet Pesantren Cirebon. Saat saya di sana, yang menjadi imam tarawih adalah Ustadz (atau saya memanggilnya Kang) Ammar Firman Maulana. 

Bahkan menurut kabar yang beredar dari para senior terdahulu, ayahanda beliau --yang menjadi imam tarawih sebelumnya-- yakni Almaghfurlah KH Salim Effendi Anas, lebih cepat gerakannya. Bayangkan, salat tarawih 20 rakaat ditambah witir 3 rakaat hanya dilakukan dalam waktu kurang dari setengah jam. 

Maka sesungguhnya, bagi santri yang berada di lingkungan Nahdlatul Ulama, peristiwa yang demikian itu tadi, bukan lagi menjadi persoalan baru dan apalagi sesuatu yang aneh. Kalau toh, ada yang kaget dengan fenomena itu, dapat dipastikan bahwa dia bukan santri NU. Percayalah. 

Di facebook, saya berteman dengan Wakil Katib Syuriyah PCNU Kabupaten Bogor, nama penggunanya (username) adalah Cep Herry Syarifuddin. Beliau juga turut menanggapi fenomena yang ramai diperbincangkan di media sosial itu.

Beliau mengatakan bahwa Nabi hanya menganjurkan salat tarawih di malam Ramadan. Namun, cepat atau lambat gerakan salatnya terserah. Asalkan memenuhi kriteria tuma'ninah. Apa itu?

سكون بعد حركة بقدر سبحان الله 
"Diam sejenak setelah bergerak seukuran membaca Subhanallah."

(Perhatian: baca subhana robbiyal a'la wa bihamdih atau subhana robbiyal 'adzhimi wa bihamdih itu sunnah dan tidak termasuk ke dalam rukun salat. Yang menjadi rukun dan menjadi tidak sah salat seseorang itu adalah salah satunya tuma'ninah itu. Paham ya?)

Selain itu juga dipersilakan untuk memilih yang sedikit atau banyak jumlah rakaatnya. Sebab yang pasti Nabi pernah menjelaskan:

أجرك بقدر نصبك
"Ganjaranmu tergantung pada kadar kepayahanmu."

Hal tersebut juga pernah dikatakan oleh KH Husein Muhammad saat peringatan tujuh hari wafatnya KH Sahal Mahfudh di Kantor PBNU, beberapa tahun lalu. Saat itu, Kiai Husein diberi kesempatan untuk memaparkan Fiqih Sosial ala Mbah Sahal. 

Dalam paparannya tersebut, saya pun baru tahu bahwa orang berpuasa yang diperbolehkan untuk berbuka (sebelum waktu magrib) dilihat dari kepayahannya. Bukan hanya ditinjau dari jarak yang ditempuh.

Sebagai contoh, seseorang dari Jakarta hendak pergi ke Surabaya dengan menggunakan pesawat terbang. Secara jarak tempuh, orang tersebut diperbolehkan untuk tidak berpuasa dan menggantinya di hari yang lain di luar Ramadan.

Tapi apakah dengan menggunakan pesawat terbang ke Surabaya, orang itu menjadi sangat lelah sehingga situasi atau kondisi tubuh menjadi tidak stabil jika puasa dilanjutkan?

Contoh kedua, seseorang dari Bekasi ke Matraman dengan mengayuh sepeda karena ada kepentingan atau kebutuhan yang mendesak. Karena tidak ada opsi kendaraan lain, maka sepedalah yang menjadi alat satu-satunya untuk bisa tiba di lokasi tujuan.

Lantas apakah karena jarak tempuh yang diperbolehkan untuk berbuka puasa, tapi dengan kepayahan yang telah dirasakannya, orang tersebut tetap tidak boleh berbuka? Padahal, kalau puasa tetap dilanjutkan, maka akan sangat berbahaya bagi tubuhnya? 

Maka Kiai Husein mengatakan, Mbah Sahal Mahfudh memiliki pandangan bahwa orang yang diperbolehkan untuk tidak berpuasa (jika dalam keadaan bepergian) dihitung bukan berdasarkan jarak tempuh, tapi sesuai dengan kadar kepayahannya. 

Luar biasa, bukan? Baiklah, kita kembali ke laptop. 

Duh, berhubung laptop saya baterai lemah. Bagaimana jika dilanjut besok? Intinya, jangan kagetan. Cari referensi sebanyak-banyaknya. Saya juga mau cari referensi lain, nih. 

Terima kasih, ya,  sudah membaca. Pembahasan soal salat tarawih dengan gerakan cepat itu, nanti kita lanjutkan. 

Selasa, 07 Mei 2019

Puasa di Musim Politik




Puasa di hari kedua, masih saja dalam suasana pascapilpres yang semakin memanas. Berbagai macam adegan politik tanah air, menampilkan banyak kisah: kelucuan hingga kedunguan. Ada yang bilang, "Ramadan tahun ini ujiannya lebih berat dari sebelum-sebelumnya."

Berlebihan memang, jika dikatakan seperti itu. Tapi juga tidak salah, karena memang fakta yang berbicara. Toh, masyarakat awam seperti kita disuguhkan berkali-kali, kekisruhan dan kekacauan para petinggi negeri yang saling berebut kuasa. Mulai dari melempar isu, hingga masuk ke dalam Istana Rakyat yang dihuni Presiden Jokowi.

Hiruk-pikuk semakin kentara. Bising suara kebencian dan amarah kian jelas diperdengarkan dari hari ke hari, bahkan terpampang lima senti di hadapan wajah setiap detiknya melalui saluran media sosial. Lalu harus bagaimana kita bersikap agar puasa yang dijalankan tetap sesuai koridor, serta tidak hancur pahala puasanya karena tenggelam ke dalam samudera konflik?

Begini...

Jauh sebelum Prabowo dan Jokowi berebut kuasa yang mengorbankan masyarakat awam untuk saling bertengkar, Imam Ghazali dalam Kitab Ihya' Ulumiddin menulis dengan sangat indah sebagai gambaran manusia dalam berpuasa. Menurutnya, terdapat, setidaknya, tiga derajat atau tingkatan.

إعلم أن الصوم ثلاث درجات صوم العموم وصوم الخصوص وصوم خصوص الخصوص: وأما صوم العموم فهو كف البطن والفرج عن قضاء الشهوة كما سبق تفصيله، وأما صوم الخصوص فهو كف السمع والبصر واللسان واليد والرجل وسائر الجوارح عن الآثام، وأما صوم خصوص الخصوص فصوم القلب عن الهضم الدنية والأفكار الدنيوية وكفه عما سوى الله عز وجل بالكلية ويحصل الفطر في هذا الصوم بالفكر فيما سوى الله عز وجل واليوم الآخر

"Ketahuilah, bahwa puasa ada tiga tingkatan: puasa umum, puasa khusus, dan puasa paling khusus. Yang dimaksud puasa umum adalah menahan perut dan kemaluan dari memenuhi kebutuhan syahwat. Puasa khusus adalah menahan telinga, pendengaran, lidah, tangan, kaki, dan seluruh anggota tubuh dari dosa. Sementara puasa paling khusus adalah menahan hati agar tidak mendekati kehinaan, memikirkan dunia, dan memikirkan selain Allah. Untuk puasa yang ketiga ini (shaumu khususil khusus) disebut batal bila terlintar dalam hati pikiran selain Allah dan hari akhir."

Ketiganya, oleh Imam Ghazali disusun berdasar pada sifat manusia yang mengerjakan puasa.

Ada orang puasa, tetapi hanya sekadar menahan diri dari makan dan minum. Sementara mulut, tangan, dan seluruh anggota tubuhnya masih digunakan untuk berbuat dosa. Namun, memang itulah puasanya orang awam. Mereka mendefinisikan puasa, baru sebatas menahan diri dari berbagai hal yang dapat membatalkan puasa secara zahir.

Berbeda dengan tingkatan yang kedua. Yakni puasa khusus. Orang-orang yang berpuasa pada jenis ini, lebih maju daripada orang-orang awam berpuasa. Mereka meyakini bahwa puasa bukan hanya sekadar menahan lapar dan haus saja, tetapi juga menjaga seluruh anggota tubuh dari perbuatan yang dapat menimbulkan dosa akibat maksiat. Maka, mereka menjadikan maksiat sebagai pembatal puasa.

Terakhir, puasa yang paling khusus. Inilah puasa yang dilakukan oleh orang-orang tertentu saja. Sangat sedikit yang mampu melakukan dan mengerjakannya. Mereka berpuasa tidak hanya menahan haus dan lapar, tidak hanya menahan anggota tubuh untuk tidak berbuat maksiat, tetapi juga menjaga hati dari hal-hal keduniaan yang dapat melalaikan diri dari ingat kepada Allah. Karenanya, hal yang dapat membatalkan puasa, bagi mereka, adalah saat mereka memikirkan segala sesuatu selain Allah.

Dari penjelasan di atas, kita bisa segera melakukan introspeksi diri, di mana letak keberpuasaan kita selama ini? Masih berada di tingkat pertama, kedua, atau bahkan sudah mencapai tingkat ketiga? Dari situ kemudian kita mampu menjadikan puasa sebagai alat kontrol hawa nafsu untuk mengendalikan diri dalam kehidupan sebelas bulan pasca-Ramadan.

Kita juga bisa memberi penilaian kepada orang-orang di sekitar, atau mungkin saja para politisi dan elit negeri ini, tapi khususnya diri kita sendiri, soal bagaimana puasa yang sedang kita jalani ini. Memang, Ramadan adalah ruang privat hamba dengan Tuhannya. Tak seorang pun tahu, kecuali diri sendiri dengan Allah. Namun, gejolak-gejolak yang timbul dan kemudian menimbulkan hiruk-pikuk di tengah masyarakat, menyiratkan nilai atau kualitas puasa seseorang.

Kalau kita berpuasa, tetapi masih suka umbar kebencian dan amarah, terutama di media sosial, maka tergolonglah kita sebagai orang awam yang digambarkan oleh Imam Ghazali. Namun, ketika kita mampu menahan diri untuk tidak tenggelam ke dalam samudera konflik yang kian tak jelas arahnya ini, maka kualitas puasa kita di Ramadan tahun ini tentu sudah meningkat.

Bahkan, jika kita mampu senantiasa mengingat Allah tanpa memikirkan dan menghadirkan apa pun ke dalam hati dan pikiran, kecuali Allah, maka berbahagialah karena derajat kita sudah setara dengan para kekasih Allah.

Dengan demikian, puasa di musim politik era cebong-kampret ini memang menyedihkan, tapi sekaligus mengasyikkan. Kita bisa memilih untuk menjadi penengah, pemain, atau pura-pura jadi korban. Tinggal memilih saja. 

Tapi, melalui tulisan ini saya mengajak untuk bersama-sama meningkatkan kualitas puasa kita. Minimal, puasa kita adalah yang menurut Imam Ghazali puasa yang khusus atau tingkatan kedua.

Hal tersebut agar kita mampu menahan diri, menahan seluruh anggota tubuh kita dari maksiat, dari perbuatan yang dapat mengakibatkan konflik horizontal. Terutama dalam rangka berkehidupan di media sosial.

Lantas, bisakah kita berpuasa yang paling khusus itu? Hmmmm, jauh banget.

Senin, 06 Mei 2019

Ramadan Bulan Idealisme



Puasa hari pertama, kita masih dihadapkan pada situasi pascapilpres yang kian memanas. Masing-masing kubu merasa menang, dan kemudian diperparah dengan salah satu kubu yang merasa dicurangi. Lalu bagaimana seharusnya Ramadan ini berlangsung tanpa konflik?

Memang, konflik politik di negara yang sedang menuju kedewasaan dan pedewasaan berdemokrasi ini masih sulit terbendung. Tapi setidaknya, hemat saya, para politisi dan elit negeri ini mampu menetralisir atau bahkan mengurangi isu yang dilancarkan ke bawah. Sehingga masyarakat akar rumput tak terbakar oleh api amarah dan kebencian.

Baru hari pertama, tentu kita masih beradaptasi. Tak mungkin langsung menjadi sempurna. Namun, memang pada dasarnya, Ramadan adalah pelatihan paling ampuh untuk menahan berbagai hawa nafsu yang menyelimuti raga, dan juga jiwa.

Bagi saya, Ramadan adalah bulan idealisme kaum beriman. Siapa yang teguh berpendirian, ia akan mendapat gelar kemenangan dan memperoleh banyak kebaikan dari Allah. Syaratnya, harus tidak terpengaruh sama sekali oleh berbagai hasutan dan ajakan yang berakibat membatalkan pahala puasa.

Puasa Ramadan merupakan ruang privat yang diberikan Allah agar orang-orang beriman mampu meningkatkan kualitas. Caranya tidak mudah. Bukan hanya sekadar beribadah menahan haus dan lapar. Bukan hanya menahan berbagai perbuatan lahiriah yang kasat mata, yang dapat merusak ibadah, tetapi juga berbagai perbuatan batiniah yang hanya kita sendiri dan Allah yang tahu.

Maka, idealisme keilahian itu harus terus dijaga. Menjaga berarti mempercayakan. Mempercayakan berarti memasrahkan. Memasrahkan berarti sudah tak mempedulikan apa-apa, kecuali dirinya dengan Allah.

Karenanya, Allah sudah tidak lagi menjadi objek yang terpisah sehingga jauh dari diri. Tetapi, kita dan Allah sudah menyatu sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam diri, jiwa, raga, pikiran, nurani, dan segala unsur yang terdapat dalam tubuh; lahiriah maupun batiniah. Seluruh aktivitas yang dilakukan, Allah yang memiliki kuasa. Tak ada kekuatan apa pun, kecuali Allah. Hanya Allah di dunia. Tiada yang lain. 

Kalau sudah seperti itu, berarti yang keluar ke luar untuk kehidupan adalah berbagai hal yang baik. Idealisme, memang begitu, apabila terus-menerus dipertahankan, walau pahit dirasa karena harus melewati berbagai tahap rintangan, tapi di kemudian hari akan mendapat tuah yang tidak dimiliki oleh yang lain. Eksklusifitas idealisme akan senantiasa terengkuh bagi siapa pun yang komitmen menjaganya.

Ramadan adalah bulan idealisme, berarti sepakat untuk tidak membuat kerusuhan, baik rusuh secara fisik maupun nonfisik. Fisik berupa penghancuran terhadap bangunan-bangunan, bentrok antarkelompok, dan menggangu aktivitas manusia secara umum. Sedangkan nonfisik berarti melakukan penghancuran pemikiran, memberangus pendapat yang berbeda, atau bahkan memaksakan kehendak pikiran agar orang lain dapat seragam.

Selain itu, kerusuhan nonfisik juga kerap terjadi di media sosial. Kalau kita terhanyut dalam kerusuhan tersebut, maka batal sudah idealisme kita sebagai kaum beriman yang idealis. Sebab sudah terperangkap pada pragmatisme pemikiran yang mudah diterima, baik dikonsumsi untuk kemudian menghancurkan yang lain maupun justru menjadi korban dari penghancuran pemikiran itu sendiri.

Namun, sekali lagi, jika Allah sudah menempati di setiap ruang di dalam diri, maka takkan ada yang mampu menghancurkan keteguhan idealisme itu. Siapa yang dapat menghancurkan Allah? Satu pun sama sekali tidak ada. Kalau sudah kuat, teguh, dan kokoh, maka selama sebulan kita dapat menjaga idealisme itu. Sehingga di akhir Ramadan nanti, kualitas keberimanan kita, berkat idealisme yang dirawat dan dijaga, dapat meningkat menjadi level takwa.

Cara agar mampu menumbuhkan kualitas, utamanya adalah menjaga idealisme. Itu menjadi kunci agar mampu mengejawantahkan berbagai tugas-tugas keilahian yang kemudian terkristal menjadi perilaku kemanusiaan. Sebab tak mungkin, nilai-nilai ilahi yang terus ditingkatkan tetapi justru mengurangi dan bahkan sama sekali tak mampu menciptakan dampak, berupa nilai-nilai kemanusiaan.

Salah satu contoh dari tugas keilahian yang terkristal menjadi perilaku kemanusiaan itu adalah menjalankan berbagai ibadah puasa, seraya tidak merasa lebih baik dan lebih terhormat dsri orang-orang yang tidak berpuasa. Karena ketika sudah terbersit dalam pikiran, merasa diri lebih hebat lantaran melakukan tugas-tugas keilahian, gagal sudah kita meningkatkan kualitas. 

Saya membayangkan, jika para politisi dan elit negeri ini mampu menjaga idealisme di Ramadan kali ini, insyaallah sebentar saja, Indonesia akan menjadi negara yang ideal sebagaimana yang sejak dulu kita cita-citakan. Yakni, alladzii ath'amahum min juu'in, wa aamanahum min khouf. Negeri yang optimis, maju, adil, dan makmur.

Terbebas dari kelaparan, sehingga seluruh rakyat sejahtera, juga aman dari berbagai ancaman, sehingga orang-orang beriman dapat terhindar dari rasa takut yang dapat membahayakannya.

Pascapilres atau puasa di tengah hiruk-pikuk politik yang memecah-belah ini, menjadi penting untuk masing-masing diri melakukan sosialisasi perdamaian kepada manusia lainnya yang masih menginginkan negeri ini berjalan damai. Di masjid-masjid, musala-musala, dan majelis taklim adalah tempat-tempat yang cocok untuk menyejukkan masyarakat akar rumput dari konflik yang membabi-buta selama ini.

Mari menjadi penyejuk. Mari menjaga idealisme. Mari menjaga kesucian Ramadan. Mari untuk tidak jemawa karena beribadah. Mari beribadah seraya berkemanusiaan. Mari bersama-sama membangun Indonesia. Mari gotong-royong, bekerja sama, bahu-membahu mendirikan harga diri dan martabat bangsa yang semula jatuh karena permusuhan, menjadi terangkat oleh persatuan dan kesatuan yang solid. Mari kita jaga Indonesia. 

Bersatulah, wahai cebong dan kampret; wahai para pendukung militan Jokowi dan Prabowo, Sandiaga Uno dan Ma'ruf Amin; wahai para tim sukses atau relawan 01 dan 02; wahai bangsa Indonesia.

Sebab politik itu fana, Indonesia yang abadi. 

Minggu, 05 Mei 2019

Menyambut Ramadan (5-Habis)


Anonymous
Hati-hati
setan kerap masuk dari arah yang tak pernah diketahui
ia masuk menggoda anak manusia dengan berbagai janji-janji
tak terkecuali pada bulan suci

Cerita masa kecil tentang setan yang dikerangkeng sesungguhnya adalah mitos belaka
di Ramadan rupanya setan bisa menjelma menjadi apa saja
bahkan kini setan sudah berubah bentuk menjadi digital di dunia maya
media sosial adalah tempat teranyar bagi setan kekinian bersemayam manja

Ia menggoda manusia
menampilkan segala citra
menggoda agar bermalas-malas dalam ibadah
padahal tiap kali memosting adalah ihwal ibadah
dan kemunafikan kerapkali muncul di sana

Lalu, bagaimana seharusnya kita bersikap dan berbenah?

Sungguh,
Ramadan adalah momentum pendekatan diri kepada Allah
menjadi bekal untuk sebelas bulan setelahnya
Ramadan bukan event tahunan
Ramadan adalah batu loncatan
agar diri tak terjerembab pada lembah kemunafikan
dan pemunafikan

Ramadan hadir ke tengah-tengah kita
sesungguhnya agar jiwa terselematkan
dari jurang kesombongan
dan keangkuhan

Ramadan merupakan tempat saling berlomba
tapi juga bukan kompetisi yang berujung pada menang dan kalah
seusainya nanti, siapa yang menjadi juara
akan terjawab dan tersimpan di lubuk hati terdalam

Maka, mari bersihkan dan luruskan niat sebelum mengunggah postingan ke media sosial milik pribadi
bisa jadi, setan mewujud menjadi kesombongan yang sedang menyelimuti tubuh
karena sekalipun hati sudah bersih
niat telah lurus
setan akan beralih ke orang lain
sehingga timbul ujaran tak enak terhadap kita

Ramadan adalah bulan yang penuh dengan kepura-puraan
masihkah kita senantiasa membohongi diri?
selamat menjalankan ibadah kesungguhan di bulan suci
semoga kita tidak pernah merasa paling suci
karena di Ramadan, seluruh jiwa dan diri
akan disucikan kembali


Bekasi, 2019

Sabtu, 04 Mei 2019

People Power? Kami Tidak Takut!


Aksi bela bendera Hizbut Tahrir, beberapa waktu lalu

Mumpung belum masuk Ramadan, saya mau nyinyir. Jujur, sebenarnya saya malas bahas politik kekinian yang serba pecah-belah. Ditambah dengan elit-elit politik di atas yang kekanak-kanakan. Jelas saja jika akar rumput menjadi terbakar. Kalau tidak segera dipadamkan, bisa hangus dan menjadi abu.

Begini. Soal pemilu, sesungguhnya sudah selesai sejak 17 April 2019 lalu. Penyelenggaraan pemilu yang damai, tertib, dan sejuk menjadi nilai lebih karena sebelum pelaksanaan terdapat banyak kekhawatiran yang berlebih. Tapi toh, aman-aman saja kan? Alhamdulillah.

Kemudian, para relawan demokrasi tersorot oleh publik. Mereka bekerja demi terciptanya pemilu yang bersih, adil, dan tentu saja demokratis. Bahkan, hingga banyak yang tewas saat sedang menjalankan tugas. Kita mesti menaruh apresiasi dan tentu saja rasa belasungkawa kepada para pejuang demokrasi yang gugur itu.

Selain itu, pihak penyelenggara pun sudah bekerja sangat maksimal dan luar biasa. Walaupun ternyata ada banyak kekurangan, itu hal lain. 

KPU, dalam hal penghitungan suara sudah sangat transparan. Mereka juga membuka diri. Kalau ternyata ada yang dirasa janggal, seperti kecurangan atau kesalahan yang merugikan salah satu pihak, sila dilaporkan saja ke pihak yang berwenang untuk menindak. Sederhana sekali.

Tidak kemudian menyebar isu bahwa seolah KPU telah berbuat curang, sehingga apa pun hasilnya tidak akan diterima. Hmmmmm, maksud saya tidak akan diterima kalau kalah. Kalau menang, ya pasti diterima. Lucu sekali. Ini mirip saat saya masih kecil; inginnya menang. Kalau kalah, pasti ngamuk. Ya namanya juga anak kecil, belum dewasa. Kita tentu bisa memaklumi itu.

Ancaman-ancaman mulai dikemukakan. Termasuk juga ungkapan-ungkapan kebohongan. Ada pihak yang menuduh semua lembaga telah berlaku curang karena tidak ada yang memenangkan pihaknya. Sampai-sampai tidak mau ikuti aturan yang berlaku. Inginnya mengerahkan massa, yang mereka sebut people powder. Eh, people power. Mengepung KPU dan Bawaslu.

Padahal, people power dalam arti sesungguhnya, yang tepat dengan konteks politik keindonesiaan sudah kita laksanakan pada 17 April lalu. Kenapa harus menggunakan kekuatan massa untuk memaksakan kehendak? Jawabannya tak lain, karena gila kuasa dan ambisius. Ya Allaaaaah, bisa gilak kalau tidak kesampaian. Saya prihatin (pakai gaya Pak SBY). 

Kalau toh, mereka mengerahkan massa untuk mengepung ini-itu, atau bahkan membuat kerusuhan sehingga sesama anak bangsa menjadi saling tumpah darah, saya pastikan bahwa dalang dari semuanya adalah pihak-pihak yang memang menginginkan Indonesia hancur. Sudah sangat terang-benderang itu. Pihak-pihak itu merupakan penumpang gelap demokrasi, yang sesungguhnya menolak demokrasi.

Penggiringan opini kerap terjadi. Sejak kampanye hingga kini. Mulai dari isu-isu (hoaks) yang dilemparkan ke kubu lawan, sampai tidak percaya terhadap hasil apa pun. Ujung-ujungnya, saya yakin, mereka akan menggiring opini masyarakat untuk tidak percaya terhadap sistem demokrasi yang dianggap syirik, kecuali menggunakan hukum Allah yang sudah pasti. Duh, dulu pondok mereka di mana sih? Pondok Bambu, Pondok Kopi, atau Pondok Ungu? Hmmmm...

Kemarin, di Tayangan Mata Najwa, Egi Sudjana bilang tidak akan menempuh jalur hukum kalau memang jagoannya yang jomblo itu kalah. Hal tersebut berdasarkan pengalaman pribadinya pada tahun 2014 saat menjadi pengacara capres jomblo menuntut 'keadilan' ke Mahkamah Konstitusi. Katanya, percuma. Karena pengalamannya pahit. Maka, saat ini mereka akan mengandalkan kekuatan massa. Dasar pecundang! Heheheee. Memangnya kami takut? Disalawatin pakai salawat asyhgil, baru tahu rasa kalian!

Mereka itu lucu, mengajak yang masih unyu-unyu untuk teriak-teriak di media sosial. Walau ajakan itu tentu saja tidak secara langsung. Anehnya, banyak pendukung mereka yang sudah pasang baliho ucapan kemenangan, padahal pengumuman saja belum. Lebih lucu, mereka merasa menang, tapi menganggap ada kecurangan sehingga seolah-olah mereka itu kalah. 

Deklarasi berkali-kali ditambah dengan sujud syukur, tapi tetap saja menganggap pihak penyelenggara dan petahana sudah melakukan kecurangan, sehingga sebenarnya mereka merasa bahwa sejak awal mereka sudah kalah. Tahu gitu, sih, mending kagak usah ikut dari awal. Ngeribetin aja!

"Ada kecurangan? Laporkan saja dengan bukti berupa data dan fakta!" kata pihak penyelenggara pemilu. Tapi apa jawab mereka? Entahlah selalu berkelit. 

Nah kemudian, mereka selalu saja mengaburkan hal-hal makro menjadi mikro. Untuk bisa menjadi pemenang pemilu, tentu saja harus menunggu pengumuman KPU berdasarkan penghitungan dari seluruh wilayah se-Indonesia. Tetapi mereka tidak akan mempercayai itu. Mereka sudah merasa menang karena di Bengkulu dan Sumatera Barat, mereka menang.

Kan lucu...

Kemudian, kalau toh ingin pemilu itu diulang, maka keseluruhan harus diulang, termasuk Pemilihan Calon Anggota Legislatif, dari DPR-RI hingga DPRD Kota/Kabupaten. Itu tidak mungkin, karena akan menghabiskan banyak waktu dan biaya. Maka tak heran, kalau mereka ingin melakukan cara-cara instan, seperti rusuh dan turun ke jalan. 

Bulan puasa? Tidak masalah bagi mereka. Sebab yang dilemparkan semangatnya adalah jihad. Sebagaimana Rasulullah juga berperang saat Ramadan. Ya terus dipikirnya sama, gitu? Jihad di Ramadan, kalau mati dihitung sebagai syahid dan masuk surga ketemu bidadari dan wik-wik di sana? Duh konslet otaknya, serius.

Jujur, kalau saya melihat tingkah laku mereka, saya jadi teringat masa kecil yang dalam permainan apa saja, inginnya menang dan tidak mau menerima kekalahan. Ya, kalau kalah itu berarti pihak lawan telah melakukan kecurangan-kucurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif. Kemudian, rusuh. Diacak-acak. Diputar-putar, dijilat, dicelupin. eh.

Nah, di saat-saat genting seperti ini, terlebih sebentar lagi Ramadan, rekonsiliasi menjadi penting. Rekonsiliasi berarti merajut kembali persaudaraan yang sempat terkoyak dan terkotak. Mengakui bahwa kita semua adalah saudara, sehingga jika melakukan hal-hal yang mengakibatkan kerusakan menjadi tidak tega karena ada rasa cinta terhadap sesama. Ini harus terus diungkapkan, di berbagai forum.

Ajakan-ajakan rekonsiliasi antardua kubu yang bertikai harus segera terlaksana. Tidak boleh, tidak. Kalau salah satu diantara dua kubu, ada yang tidak menghendaki adanya rekonsiliasi karena menganggap tidak punya masalah, itu bagus. Tapi semestinya para elit negeri ini segera menampakkan kemesraan agar akar rumput tidak terbakar hangus. 

Oh iya, kemudian ada Ijtima' Ulama. Saya tidak mau banyak komentar soal itu. Hanya saja, saya tidak akan mengakui keulaman dan kealiman mereka. Toh, mereka juga tidak mewakili suara umat Islam secara keseluruhan. Begitu pula, Yang Mulia Habib Rizieq Shihab yang tidak mewakili suara umat Islam secara keseluruhan. Mereka tidak mewakili saya. Kemudian apakah saya menjadi munafik? Gundulmu! Eh, gundulku!

Terserah mereka mau apa. Mau jungkir balik atau dance ala rapper pakai sorban dan gamis, saya juga tidak akan peduli dan tidak berkomentar sedikit pun. Karena mereka itu bukan ulama yang menurut Mustasyar PBNU, KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus adalah, alladzina yandzhuruna ummah bi 'aini rahmah. Sebab mereka itu selalu menebar dan mengancam, sehingga yang timbul adalah ketakutan.

Mereka itu ulama-politis. Buktinya, ah sudahlah.

Intinya, begini. Saya ingin sampaikan, terakhir, bahwa kalau sampai terjadi kerusuhan, pihak-pihak yang menginginkan itu pasti akan senang sekali dan segera mengambil-alih negara ini. Ngeri!

Tapi kepada people power, mari kita lantangkan suara: KAMI TIDAK TAKUT!

Apelo? Botak! Emang.

Kamis, 02 Mei 2019

Prabowo Subianto, Manusia Titisan Allah


Manusia Titisan Allah (kanan)
Bagi masyarakat Jerman, Hitler terkenal sebagai sosok yang tak mau mengenal kata menyerah atau kalah.

Ketika itu, tidak ada tentara yang berani  mengatakan bahwa Jerman telah kalah dan lebih baik menyerah. Jika kata-kata itu terucap, Hitler akan marah besar. Bahkan, tak segan-segan mengambil senjatanya lalu mengatakan, "Sekali lagi kamu bicara kalah dan menyerah, saya akan tembak kepalamu!"

Hampir sama dengan Prabowo Subianto yang tidak pernah mau menyerah apalagi mengaku kalah. Bahkan, Prabowo sendiri sering marah sambil gebrak-gebrak meja atau melempar handphone jika ada yang berani menentang.

Hitler punya anak buah super hebat. Yakni Menteri Propaganda Jerman Joseph Goebbels. Ia terkenal dengan pernyataan kebohongan yang disebarkan secara terus menerus. Sebab kelak, kebohongan itu akan dipercaya menjadi kebenaran.

Teknik propaganda ala Goebbels inilah yang sedikit atau banyak telah diadopsi oleh Prabowo, BPN, dan gerombolan ulama-politis berstempel 212. Mereka seringkali menciptakan banyak kebohongan, bahkan yang berbau fitnah. Kelak, kebohongan itu akan dipercaya oleh sebagian kecil masyarakat, menjadi kebenaran.


Oleh pendukungnya, Hitler dianggap sebagai titisan dewa yang memegang kekuasaan absolut (mutlak). Ia merupakan sosok tidak pernah salah, dianggap manusia suci yang tak terbantahkan. Dipercaya, Hitler kelak akan membawa kemenangan dan kesejahteraan bagi para pengikut dan pendukungnya.

Begitu juga dengan sosok Prabowo yang dianggap titisan Allah oleh pendukungnya. Bahkan Prabowo dianggap manusia suci yang ucapannya selalu benar. Apalagi Prabowo bisa berbicara dengan nyamuk, semut dan ular. Titisan Nabi Sulaiman, Bung? Cuk!

Sama seperti Hitler, Prabowo merupakan sosok pemegang kekuasaan absolut. Karena segala ucapan Prabowo adalah sabda yang tidak boleh dibantah. Sekali membantah, handphone bakal melayang atau dimaki-maki sambil gebrak-gebrak meja.

Hitler pernah berkata, "Tak ada yang bisa mengalahkan bangsa Arya, ras paling unggul yang mampu menguasai medan peperangan hingga dapat mengantarkan kemenangan bagi rakyat dan bangsa Jerman."

Narasi seperti itu hampir sama dengan ucapan, "Prabowo pasti menang, kalau Prabowo kalah pasti dicurangi."

Semua narasi tersebut terucap karena ambisi yang sangat  besar untuk berkuasa dengan menghalalkan segala cara, delusional, dan menganggap kelompoknya sebagai pemegang amanat Tuhan. Palelo botak! Eh, pala gue deng. 

Sementara lawan politiknya dianggap sebagai kekuatan jahat yang mempergunakan ilmu sihir untuk melakukan kecurangan.

Sesungguhnya, masih banyak kesamaan lain yang tidak bisa diungkapkan, nanti aja disambung lagi, setelah pengumuman hasil penghitungan resmi dari KPU, 22 Mei 2019.

Kalau Prabowo kalah, mau ada people powder? Eh, power? Ahahahahaha. Siapa takut? Terus menganggap bahwa mengerahkan massa untuk rusuh di Ramadan itu merupakan sebuah jihad? Perang Badar maksud lo? Hahahaha. Palelo botak! Eh, pala gue deng.

Eh btw, Prabowo mau ditempatkan di RSJ mana? BPN dan relawan, itu tolong dipersiapkan dari sekarang. 

Bye!

(Tulisan di atas, disadur dari tulisan yang tak bernama. Kepada siapa pun penulisnya, saya mohon izin sadur)