Kamis, 06 Desember 2018

Gus Dur, Pembawa Risalah Islam yang Terbuka dan Universal


Sumber gambar: NU Online


Siapa yang meragukan keislaman seorang KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur?

Ia menyebarkan Islam melalui pemikiran dan pergaulannya yang terbuka. Sehingga agama menjadi pedoman untuk saling memberi hormat satu sama lain. Baik sesama manusia atau pun  manusia dengan alam semesta.

Karena pemikirannya yang terbuka itulah, Gus Dur dekat dengan semua agama dan tokoh budaya. Sebab baginya, kebesaran Islam akan memancar dengan sikap terbuka yang ditampilkan oleh para pemeluknya.

Namun sebaliknya, kebesaran itu akan sirna jika pemeluknya menutup diri dan merasa benar sendiri.

Gus Dur memiliki tekad besar untuk mencari kebenaran dan menunjukkan kemuliaan ajaran Islam. Hingga pada suatu saat ia pernah menyatakan bahwa akan menyampaikan kebenaran yang datang dari mana pun. Baik kebenaran itu datang dari Injil, Bhagavad Gita, atau yang lain.

“Saya dan Romo Mangun berbeda agama, tapi satu iman,” kata Gus Dur suatu ketika. Suatu pernyataan yang mengandung makna spiritual yang sangat dalam.

Derajat tinggi seperti itu bisa dicapai karena Gus Dur menempatkan Islam dalam kerangka universalisme peradaban.

Menurut Gus Dur dalam Universalisme Islam dan Kosmo-politanisme Peradaban Islam, universalisme Islam itu tercermin dalam ajaran-ajarannya yang memiliki kepedulian tinggi terhadap berbagai unsur utama dari nilai kemanusiaan.

Kemudian, hal itu diimbangi oleh kearifan yang muncul dari keterbukaan peradaban Islam sendiri. Keterbukaan itu membuat Umat Islam selama beberapa abad mampu menyerap segala manifestasi kultural dan wawasan keilmuan yang datang dari peradaban-peradaban lain.

Dengan demikian, pemikiran besar Gus Dur sepenuhnya bersumber dari inti ajaran Islam yang dikembangkan oleh para ulama madzhab terdahulu. Dari ajaran Islam ditarik sejumlah prinsip universal yang mendukung terciptanya kemaslahatan umum dan prinsip-prinsip dasar kesejahteraan umat. Itulah yang disebut sebagai prinsip maba’di khairi ummah.

Itu semua adalah rangkaian patokan yang akan memungkinkan Islam menjadi motor kehidupan bangsa dan negara tanpa mempersoalkan mana yang lebih unggul antara ‘masukan Islam’ dan masukan lain yang datang dari mana pun.

Bagi Gus Dur, Islam harus ditempatkan sebagai agama terbuka dan universal sehingga akan menjadi payung bagi semua kelompok yang ada. Kemudian berkembang di tengah bangsa yang majemuk ini: Indonesia.

Hal tersebut dibuktikan secara nyata dalam keseharian Gus Dur yang sangat dekat dan menghormati umat dari agama yang berbeda.

Pada saat yang sama, Islam yang terbuka juga bisa menjadi faktor pendorong perubahan masyarakat. Sedangkan Islam yang tertutup justru akan menjadi faktor kemunduran dan perpecahan di kalangan umat Islam sendiri. Terlebih, di antara sesama warga bangsa yang begitu beragam keyakinan dan adat istiadatnya.

Hanya orang yang berakal cerdas dan berhati mulia-lah yang mampu menerima kenyataan dalam perbedaan, serta mengembangkan pemikiran yang menghormati perbedaan itu untuk kepentingan yang lebih luas dan bermanfaat.

Hal yang lebih istimewa lagi, nilai lebih Gus Dur dibandingkan para intelektual lain adalah sikap keislaman yang terbuka itu, diperoleh dari kemampuannya untuk menggali khazanah keilmuan pesantren dalam rangka menjawab tantangan perubahan zaman.

Segala yang dilakukan Gus Dur itu bukanlah sesuatu yang mudah. Akan tetapi bisa dilakukan karena kecintaannya kepada kiai, tradisi pesantren, dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.


(Tulisan diatas disarikan dari buku 41 Warisan Kebesaran Gus Dur karya M Hanif Dhakiri, dan ditulis dalam rangka Haul Gus Dur pada akhir Desember mendatang)
Previous Post
Next Post