Sumber gambar: NU Online |
Siapa yang meragukan keislaman seorang KH Abdurrahman Wahid
atau Gus Dur?
Ia menyebarkan Islam melalui pemikiran dan pergaulannya yang
terbuka. Sehingga agama menjadi pedoman untuk saling memberi hormat satu sama
lain. Baik sesama manusia atau pun
manusia dengan alam semesta.
Karena pemikirannya yang terbuka itulah, Gus Dur dekat dengan
semua agama dan tokoh budaya. Sebab baginya, kebesaran Islam akan memancar
dengan sikap terbuka yang ditampilkan oleh para pemeluknya.
Namun sebaliknya, kebesaran itu akan sirna jika pemeluknya
menutup diri dan merasa benar sendiri.
Gus Dur memiliki tekad besar untuk mencari kebenaran dan
menunjukkan kemuliaan ajaran Islam. Hingga pada suatu saat ia pernah menyatakan
bahwa akan menyampaikan kebenaran yang datang dari mana pun. Baik kebenaran itu
datang dari Injil, Bhagavad Gita, atau yang lain.
“Saya dan Romo Mangun berbeda agama, tapi satu iman,” kata
Gus Dur suatu ketika. Suatu pernyataan yang mengandung makna spiritual yang
sangat dalam.
Derajat tinggi seperti itu bisa dicapai karena Gus Dur
menempatkan Islam dalam kerangka universalisme peradaban.
Menurut Gus Dur dalam Universalisme
Islam dan Kosmo-politanisme Peradaban Islam, universalisme Islam itu
tercermin dalam ajaran-ajarannya yang memiliki kepedulian tinggi terhadap
berbagai unsur utama dari nilai kemanusiaan.
Kemudian, hal itu diimbangi oleh kearifan yang muncul dari
keterbukaan peradaban Islam sendiri. Keterbukaan itu membuat Umat Islam selama
beberapa abad mampu menyerap segala manifestasi kultural dan wawasan keilmuan
yang datang dari peradaban-peradaban lain.
Dengan demikian, pemikiran besar Gus Dur sepenuhnya bersumber
dari inti ajaran Islam yang dikembangkan oleh para ulama madzhab terdahulu.
Dari ajaran Islam ditarik sejumlah prinsip universal yang mendukung terciptanya
kemaslahatan umum dan prinsip-prinsip dasar kesejahteraan umat. Itulah yang
disebut sebagai prinsip maba’di khairi
ummah.
Itu semua adalah rangkaian patokan yang akan memungkinkan
Islam menjadi motor kehidupan bangsa dan negara tanpa mempersoalkan mana yang
lebih unggul antara ‘masukan Islam’ dan masukan lain yang datang dari mana pun.
Bagi Gus Dur, Islam harus ditempatkan sebagai agama terbuka dan
universal sehingga akan menjadi payung bagi semua kelompok yang ada. Kemudian
berkembang di tengah bangsa yang majemuk ini: Indonesia.
Hal tersebut dibuktikan secara nyata dalam keseharian Gus Dur
yang sangat dekat dan menghormati umat dari agama yang berbeda.
Pada saat yang sama, Islam yang terbuka juga bisa menjadi
faktor pendorong perubahan masyarakat. Sedangkan Islam yang tertutup justru akan
menjadi faktor kemunduran dan perpecahan di kalangan umat Islam sendiri. Terlebih,
di antara sesama warga bangsa yang begitu beragam keyakinan dan adat istiadatnya.
Hanya orang yang berakal cerdas dan berhati mulia-lah yang
mampu menerima kenyataan dalam perbedaan, serta mengembangkan pemikiran yang
menghormati perbedaan itu untuk kepentingan yang lebih luas dan bermanfaat.
Hal yang lebih istimewa lagi, nilai lebih Gus Dur
dibandingkan para intelektual lain adalah sikap keislaman yang terbuka itu,
diperoleh dari kemampuannya untuk menggali khazanah keilmuan pesantren dalam
rangka menjawab tantangan perubahan zaman.
Segala yang dilakukan Gus Dur itu bukanlah sesuatu yang mudah.
Akan tetapi bisa dilakukan karena kecintaannya kepada kiai, tradisi pesantren,
dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
(Tulisan diatas disarikan dari buku 41 Warisan Kebesaran Gus Dur karya M Hanif Dhakiri, dan ditulis dalam rangka Haul Gus Dur pada akhir Desember mendatang)