Minggu, 30 Desember 2018

Agama, Politik, dan Kemunafikan


Prabowo dalam sebuah perayaan Natal

Akhir-akhir ini, beredar luas potret Prabowo Subianto merayakan Hari Natal. Ada adegan duduk di gereja, ada yang bawa lilin, ada lagi yang dalam pesta dengan berjoged; disebut di malam Natal.

Sebagian pendukung dan lawannya meributkan soal itu. 

Seorang pendukung mengeluh, "Aduh, Pak Prabowo kok  tidak taktis dan hati-hati. Bagaimana nanti orang mempercayai kesepakatan ulama yang mencalongkan dia sebagai pemimpin?"

Lawannya bilang, "Rasain.  Dia pasti bakal sulit dipilih karena ternyata bukan Muslim — bukan Muslim beneran.  Kan ikut ibadah Natal."

Bagi saya, tak sebaiknya agama Prabowo jadi soal pokok dalam pilpres nanti.  Kalaupun dia terus terang bilang, 'Saya  Kristen', atau 'Saya memang bukan Muslim yang diharapkan para ulama yang bersepakat memilih saya', —— itu bagi saya bukan cacat.  

Sebab yang jadi cela adalah apa yang disebut 'ukuran ganda'. Ahok disingkirkan karena non-Muslim, tapi Prabowo malah didukung. 

Ukuran ganda itu kata lain dari kemunafikan, ketidak-jujuran, atau sikap tidak adil.  Lambat laun, jika ini jadi pola perilaku sosial-politik kita, kepercayaan akan nilai-nilai akan ambrol, hilang. 

Sementara yang akan tersisa hanya nihilisme, atau sinisme, yang tak meyakini apa-apa selain kemenangan.

Seorang kenalan yang bingung bertanya lewat WA, "Jadi, mas, agama Prabowo itu apa?"

"Apa itu penting kamu persoalkan?"

"Saya gak mempersoalkan.  Tapi menarik juga jika ada seorang pemimpin yang suatu ketika Islam, dan lain kali Kristen.  Kan pos-mo?"

HP saya matikan.


(Goenawan Mohamad)
Previous Post
Next Post