Sumber gambar: boomee.co |
Barangkali, sudah menjadi rahasia umum, umat manusia di negeri ini punya agenda debat tahunan yang itu-itu saja.
Bangsa kita, dewasa ini, memang unik. Apa saja bisa menjadi bahan obrolan yang terkadang di satu sisi mengasyikkan, tapi di sisi lain juga menjengkelkan.
Pernyataan dari masing-masing kubu pembawa kebenaran ada yang cukup argumentatif, tetapi ada juga yang bicaranya selalu tidak berdasar. Akhirnya sesat pikir.
Agenda rutin itu adalah, pertama, Hari Raya Natal. Saban tahun, umat Islam, disibukkan soal hukum mengucapkan selamat dan merayakan Natal.
Sebagian ulama ada yang membolehkan mengucapkan selamat, ada pula yang tidak memperbolehkan sama sekali. Masing-masing ulama tersebut tentu memiliki dasar dalam mengemukakan pendapatnya.
Salah satunya adalah, boleh mengucapkan selama tidak meyakini kebenaran yang dianut oleh umat Kristiani bahwa Yesus atau Isa Al-Masih merupakan anak Tuhan, atau meyakini Trinitas.
Sementara yang melarang lebih kepada penjagaan akidah karena dikhawatirkan mempengaruhi kadar keimanan umat Islam.
Jelas, ulama yang berpendapat seperti itu punya referensi dan literatur yang mendasar. Tidak asal dan abal. Kita, sebagai umat Islam, berhak meyakini kebenaran yang kita anggap benar.
Kedua, persoalan Tahun Baru Masehi. Lagi-lagi umat Islam dihadapkan pada rutinitas debat yang tak kunjung padam. Ada saja yang memantik suasana menjadi panas, tetapi ada juga yang membuat atmosfer keberagamaan kita berubah menjadi sejuk. Hal ini tergantung dari sisi mana kita melihatnya.
Bagi sebagian muslim, Tahun Baru Masehi adalah tahun barunya umat Kristiani. Karenanya, haram untuk dirayakan dalam bentuk dan kemasan apa pun.
Tetapi, sebagian ulama kontemporer ada pula yang berpendapat bahwa sah-sah saja merayakan malam pergantian baru, dengan beberapa catatan. Misalnya istighotsah, dzikir, dan doa bersama.
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bekasi, KH Zamakhsyari Abdul Majid misalnya, berpendapat bahwa haram hukumnya jika malam pergantian tahun baru diisi dengan aktivitas yang tidak bermanfaat. Seperti misalnya hura-hura, pesta seks, mabuk-mabukkan, dan segala hal yang dilarang oleh agama.
Tapi toh, merayakan atau tidak merayakan, dirayakan atau tidak dirayakan, kita pasti melewati hari besar itu. Sementara itu, sebagai manusia yang menjadi khalifah di bumi, kita tetap dituntut untuk senantiasa berbuat baik.
Bagi saya pribadi, Tuhan tidak pernah memberikan larangan selama perbuatan yang dilakukan adalah baik dan bermanfaat bagi segenap umat manusia, khususnya di Indonesia.
Sebab, akan menjadi sesuatu yang sangat disesalkan ketika perdebatan itu justru menambah tebal kandungan racun kebodohan di otak kita. Karena akan berdampak pada peradaban bangsa Indonesia yang justru mundur.
Bahkan, bukan tidak mungkin, bangsa lain bisa tertawa melihat kelakuan bangsa Indonesia yang selalu punya agenda rutin debat tahunan hanya untuk mempersoalkan masalah yang itu-itu saja. Alangkah lucunya negeri ini.
Di awal-awal tahun nanti, seperti biasa, kita dipertemukan dengan tiga hal, yakni hujan, Imlek, dan Valentine.
Hujan dan Imlek memang menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan, hujan yang kian hari semakin deras justru membawa keberuntungan, bagi warga penganut ajaran Kanjeng Nabi Konfusius khususnya.
Karena Nabi Konfusius tidak termaktub dalam kitab suci secara harfiyah, maka ajaran Konghucu dianggap mengada-ada dan mengucapkan selamat kepada hal yang kebenarannya diragukan, oleh sebagian umat Islam dihukumi haram.
Tapi toh, puncak dari toleransi antarumat beragama di Indonesia ini adalah karena bisa menikmati hari libur. Bukan begitu?
Kemudian valentine yang jatuh pada setiap 14 Februari. Sebuah momentum yang oleh sebagian besar umat Islam diyakini bermuara pada cerita cinta perzinaan. Maka, menjadi haram untuk diucapkan selamat atau pun merayakannya.
Saya sendiri menganjurkan untuk mewarnai 14 Februari dengan perbuatan yang positif dan bermanfaat. Tidak dengan zina, mabuk-mabukkan, dan semua yang dilarang oleh syariat Islam.
Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Al-Ukhuwah Universitas Islam "45" (Unisma) Bekasi misalnya, saban 14 Februari, mereka melakukan aktivitas yang sangat baik. Yakni membagi-bagikan kerudung atau jilbab di Car Free Day. Mereka menamainya sebagai hari untuk menutup aurat.
Nanti, kita tentu akan menemukan berbagai dalil dan argumentasi keagamaan yang menyeruak ke permukaan media sosial. Menjadi asik jika penyampaian argumentasi itu memiliki dasar yang kuat.
Akan tetapi, menjadi sebuah paradoks manakala dalil yang diutarakan justru diniatkan untuk menyerang umat manusia yang dengan bahagia merayakan valentine secara baik dan positif, atau dengan kata lain, jauh dari perbuatan zina dan maksiat.
Begitu pula halnya saat Imlek. Dalil keagmaan kerap menjadi alat untuk menyerang orang-orang yang ikut membantu dalam perayaan. Padahal, Imlek sama sekali bukan perayaan keagamaan. Melainkan perayaan kebudayaan.
Apa pun agamanya, asal masih memiliki garis keturunan Tiongkok dan mempercayai kebenaran yang dibawa oleh Konfusius, maka boleh ikut serta merayakan.
Sandra Dewi, misalnya. Ia beragama Kristen, tetapi saban Imlek, artis cantik yang satu itu ikut berbahagia dan merayakannya.
Sebab, Imlek merupakan acara adat dan kebudayaan atau upacara untuk mengusir jin, setan, atau segala hal yang buruk lainnya. Silakan cari referensinya sendiri-sendiri ya.
Valentine pun demikian. Itu produk budaya. Tetapi kebetulan saja yang menjadi pelaku muasalnya adalah orang yang beragama. Kemdian, karena menurut sebagian besar umat Islam, rasa cinta seorang yang bernama Valentino luar biasa dahsyat itulah, maka tanggal kematiannya diperingati dan diberi nama Valentine Day.
Jadi, saya beranggapan, merayakan Hari Valentine dengan beragam hal positif yang jauh dari perbuatan zina dan maksiat, silakan saja.
Akan tetapi dengan catatan, merayakannya tidak dimaksudkan untuk melanggengkan perzinaan. Melainkan diberi niat untuk mengubah keburukan (perzinaan) menjadi kebaikan, melalui hal-hal positif lainnya.
Mengucapkan Selamat Hari Raya Imlek juga tidak menjadi masalah, karena dengan mengucapkan selamat, kita sama saja berdoa atas nama kemanusiaan. Semoga dalam perayaannya, teman-teman Tionghoa diberi kelancaran tanpa suatu kendala apa pun.
Kata "selamat" itu pun memberi makna, semoga perayaan Imlek membawa rezeki. Misalnya, mendapatkan angpao beserta isinya senilai seratus ribu. Lumayan untuk membeli paket data.
Bagaimana?
Kiranya, itulah agenda rutin debat tahunan bangsa Indonesia yang selalu mempersoalkan hal yang itu-itu saja. Kita berharap, semoga negeri ini dijauhkan dari marabahaya. Aamiin. Wallahua'lam.