Rabu, 19 April 2017

Haul Buntet 2017, Meniti Hati Menata Jiwa (1)




Kamis (13/4) pagi, aku berangkat. Di kereta Tegal Ekspress, membayang hal apa yang terjadi di sana. Buntet Pesantren Cirebon memang selalu menjadi objek kerinduan bagi siapa pun yang memiliki ikatan jiwa dengannya. Bahkan bagi sebagian orang, tanah berkah itu senantiasa menggenang dalam kenang. 

Sekitar jam 2 siang, aku tiba. Di depan komplek Pondok Buntet Pesantren, ramai bukan main. Aku mencoba tak peduli. Karena lapar, warung nasi di samping masjid menjadi incaran mataku saat itu. Baru sesuap, sirine polisi patwal terdengar. Penasaran, aku keluar. Ternyata, iring-iringan rombongan Presiden Joko Widodo pulang.

"Ah sial, telat dateng. Cuma dapet lambaian tangan presiden doang," gerutuku pada teman kampus yang kuajak menghadiri Haul Almarhumin Sesepuh dan Warga Buntet Pesantren Cirebon, Ahmad Nasrudin Yahya. Tertawa kecil dilemparkannya. Seperti meledek.

Iring-iringan pun sudah berlalu. Sembari melanjutkan makan, aku berpikir sejenak. Buntet keren juga, ya. Presiden dan beberapa jajaran kabinetnya datang. Bagi-bagi sepeda, tentu. Juga, sebagai peletak batu pertama untuk pembangunan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah. Anggarannya jelas dari pemerintah pusat. Melalui Badan Usaha Milik Negara. Miliaran rupiah dikucurkan. Dalam hati, "Pak Jokowi, semoga hidupmu berkah dan Indonesia aman, damai, dan sentosa."

Usai makan dan melihat lambaian tangan presiden, aku bergegas ke masjid. Melaksanakan ibadah salat Zuhur dan Ashar sekaligus. Jamak Qashar. Lantas, berdoa. Semoga keberadaanku di Buntet selama beberapa hari ke depan, mampu membawa perubahan bagi diri pribadi dan lingkungan sekitarku. Sementara itu, temanku takjub melihat keramaian di Buntet.

"Ini belum seberapa, masih di depan. Kita belum ke bagian ujung paling Barat, melewati ribuan manusia yang punya beragam kepentingan. Belanja, mencari berkah, reuni, dan peristiwa lainnya terjadi sepanjang perjalanan menuju ke dalam," tuturku pada Yahya, temanku yang bekerja sebagai buruh tinta di Radar Bekasi. 

Sepanjang jalan, aku menyapa dan disapa. Berpapasan dengan teman dan guru. Membuat hati merasa bahagia. Ketenangan jiwa tercipta. Meski raga dan energi terkuras sedemikian rupa karena tersengat matahari yang sedang berbahagia, perasaan lelah menjadi tak terasa. Sebab keinginan untuk cepat tiba di pondok menjadi penyemangat derap langkahku. 

Sekira hampir setengah jam perjalanan, aku tiba di kamar kesayangan. Di kediaman Nyai Atun, tempatku menaruh cita-cita dan harapan masa depan. Tulisan "27 Juli 2009, Selamat datang di Buntet," belum hilang. Sambil menikmati rindu di kamar, pikiranku melayang-layang. Menembus lorong waktu. Mengingat-ingat berbagai kejadian semasa di Buntet. Tak ingin bernostalgia dalam lamunan terlalu lama. Aku keluar. Mandi. Membersihkan diri. 

Usai mandi. Aku bertemu santri yang kini menempa ilmu di Langitan, Jawa Timur. Hasan, namanya. Dia mengajakku ke tempat penggilingan tepung di desa sebelah. Mertapada Wetan. Dengan penuh semangat, aku mengiyakan. Aku kembali diingatkan oleh kenangan tempo dulu. Meski bukan santri dapur, aku selalu sedia saat dimintai pertolongan. Atau, diajak untuk membantu kesibukannya. Aku masih ingat dawuh seorang kiai, "Sejauh apa pun kamu melangkah, begitu tiba di sini (tanah buntet), kamu tetap santri. Maka, jangan bersikap seperti tamu."

Sepulang dari tempat penggilingan tepung itu, aku kembali ke kamar. Yahya sudah rapi. Dia mengajakku untuk tamasya. Yang dimaksudnya bukan tamasya demokrasi atau tamasya Al Maidah, tapi tamasya spiritual. Sebuah kegiatan yang akan membangkitkan energi positif dalam jiwa. Spirit keberagamaan dan nilai-nilai luhur keagamaan akan lahir berkat tamasya spiritual itu. Jelas, bukan justru kebencian yang dipertontonkan.

"Ayo ziarah ke makam Sunan Gunung Djati. Mumpung di Cirebon. Sayang banget kalo gak sowan ke sana. Siapa tahu, kita dapet ketenangan. Pilkada Jakarta juga damai, hati tenteram, gak ada lagi kebencian. Yuk ah," ajak Yahya padaku. 

Tanpa ba-bi-bu, aku mengiyakan. 

Wefie di kediaman Ahmad Fadhol Dikjaya, Desa Mertapada Wetan, Astanajapura, Kabupaten Cirebon

Menjelang maghrib, aku bersiap pergi. Sebelumnya, kukabarkan Ahmad Fadhol Dikjaya. Dia juga seniorku. Sahabat sekaligus guru. Kampung halamannya di Mertapada Wetan, tidak jauh dari pemakaman di desa itu. Bapaknya seorang kiai jebolan Lirboyo. Membuka yayasan berbasis Islam. Cepat atau lambat, Fadhol akan meneruskan jejak bapaknya. Menjadi pengasuh sekaligus pengurus yayasan pendidikan itu. 

"Bang, ayo sowan ke Sunan Gunung Djati. Jemput dong. Lewat Desa Kiliyem aja. Udah mulai ramai soalnya," pesan singkatku untuknya. "Oke, berangkat," jawab dia.

Tidak lama, Fadhol tiba di depan Pondokku. Kami bertiga naik motor matic merah berplat E miliknya. Nikmat tiada tara, batinku. Kampus dan Buntet ternyata dapat memperkuat tenun persaudaraan kami.

Tiba di rumah Fadhol, kumandang maghrib terdengar. Kami salat berjamaah. Kembali, mendoa agar situasi Ibukota pra dan pasca Pilkada kondusif. Masyarakat tidak terbakar amarah. Kebencian tidak merajalela sehingga jalinan silaturahmi menjadi tak jelas rupa dan arahnya.

Sebelum berangkat ke Cirebon, kami ketawa-ketiwi terlebih dulu. Menikmati kopi dan makanan ringan yang disiapkan, berbagai cerita-cerita lucu kuceritakan. Lucu, memang. Kenangan indah menjadi santri tak pernah bisa terlupa. Maka menurutku, merugilah orang-orang​ yang tidak menikmati rasanya menjadi santri. Terlebih, orang-orang yang instan dalam mempelajari agama. Menjadi santri berarti menjadi pemantik arti, kehidupan beragama; berbangsa; dan bermasyarakat.

"Yuk berangkat," ajak Fadhol.


(Bersambung)


Bekasi Utara, 19 April 2017



  • Aru Elgete

Kamis, 13 April 2017

Apa Kabar, Buntet?


Sumber Gambar: Fanpage Website Buntet Pesantren

Sabtu, 15 April 2017, Haul Almarhumin Sesepuh dan Warga Buntet Pesantren Cirebon diselenggarakan. Acara tersebut sudah seperti lebaran. Ramai. Bahkan, Hari Raya Idul Fitri pun tidak semeriah kegiatan yang diadakan saban April itu.

Banyak makna yang terkandung. Masing-masing diri memiliki makna yang berbeda. Ada yang memaknai bahwa Haul Buntet merupakan ajang silaturahim. Ada pula yang menganggapnya sebagai wadah reuni tahunan. Selain itu, juga ada yang menjadikannya sebagai pemantik romantika nostalgia.

Para santri dari berbagai daerah kembali menyambung pertalian cinta-kasih. Warga Buntet pun demikian. Sanak saudara dan keluarga yang bekerja atau belajar di perantauan, berpulang diri demi melepas rindu. Apa pun alasannya, mencari dan mengharap keberkahan dari para guru merupakan hal yang paling utama.

Aku, memiliki banyak alasan mengapa mesti menghadiri Haul Buntet. Pertama, tentu karena kerinduan yang mendalam. Sebab Buntet adalah wadah pendewasaan sikap dan pemerdekaan pemikiran. Singkatnya, Buntet memberi dampak positif bagi keberlangsungan hidup di tengah masyarakat.

"Berkah!" Kata magis itu yang masih dipercaya bagi hampir seluruh santri Buntet. Ia serupa magnet yang membuat siapa pun ingin kembali. Merangkai canda, menguntai cerita, dan merajut cinta. Tenun kebersatuan terjahit oleh satu kata itu. Tak ada yang bisa memungkiri. Semua orang pasti mengamini. Karena mengimani perkara ghaib sudah tertuang dalam kitab suci.

Kedua, lika-liku perjalananku selama di Buntet menjadi alasan terkuat untuk kembali menyambanginya. Barangkali, sekadar ucapan terimakasih pun belum mampu membayar jasanya yang sudah menjadikanku seperti sekarang ini. Kalau kesalahan dan kenakalanku selama di Buntet ketika itu dihitung sebagai dosa, maka sudah berapa banyak dosa yang menggunung? 

Sementara hingga kini, belum kutemukan satu alasan pun untuk menghapus kesalahan itu. Pikirku, seumuran remaja (sewaktu aku masih menuntut ilmu di Buntet) masa puber sedang menjalar di tubuh dan otak. Sedangkan aku tidak bisa mengontrol dan mengcounter keburukan masa puber. Aku terlena, ketika itu. Sehingga berbagai kesalahan masih saja menghantui diri. Bahkan melalui mimpi-mimpi di malam hari.

Ketiga, soal janji dan bukti yang ingin kusampaikan pada setiap orang yang ketika itu memandangku sebelah mata. Bukan sombong. Tapi, sekadar unjuk gigi. Bahwa keakuanku kini sudah berbeda. Saat itu, aku punya janji, "From Zero to Hero." Kalimat penyemangat itu pernah diungkapkan salah seorang guru kepadaku. Seketika itu, aku berjanji. Pasti bisa!

Aku sempat terpuruk. Pernah mencapai titik nol. Merasa tak memiliki apa-apa, kecuali keberpasrahan diri. Hematku saat itu, ruang dan waktu akan menjawab semua pertanyaan serta pernyataan menyakitkan. Nah, kini sedikit demi sedikit sudah kutemukan jawaban itu. Walau kekuranganku masih tak berbilang, tapi setidaknya aku sudah memiliki prestasi untuk dibicarakan esok hari.

Keempat, tentu soal pemantik romantika nostalgia. Aku dan Buntet serupa sepasang kekasih. Satu kesatuan. Ia membuka diri untukku. Agar menceritakan berita, cerita, dan derita tentangku selama ini. Rindu untuk Buntet bukan sekadar rindu. Ada banyak kenangan yang masih mengenang. Tak bisa terlupa. Syukurnya, Buntet tak pernah menolak diri untuk menerima segala yang akan terungkap. Ia setia.

Ah, apa kabar Buntet? Semoga kau baik-baik saja. Simpan semua cerita buruk tentangku, ya. Simpan, hingga aku melambung jauh. Tapi, kalau kau ingin ceritakan, ceritalah ke semua orang. Biar mereka sendiri yang melihat bagaimana keakuanku saat ini. Supaya menjadi bahan untuk merangkai kerangka berpikir mereka agar bisa berpikir objektif. 

Buntetku, berkahmu masih kuharap. Semoga menambah semangatku untuk senantiasa memperbaiki diri. Tuntun dan bimbing aku dengan segala keberkahanmu itu. Sebab tanahmu berbeda dengan tanah-tanah daerah lain. Tanahmu berkah. Sebab puasa Mbah Muqoyyim. Sebagaimana cerita yang kudapat ketika itu.

Apa kabar, Buntet? Tunggu aku sore nanti. Kita kembali menjalin kebahagiaan...



Wallahu A'lam


Bekasi Timur, 13 April 2017


Aru Elgete

Minggu, 09 April 2017

Siapa Sebenarnya Peretak Persaudaraan itu?


Ilustrasi. Sumber: wowkeren.com

Pagi hari ini (9/4/2017), aku terbangun setelah dilahap mimpi yang indah. Angin segar dan kicau burung seperti menyambut hari baru. Pisang goreng dan teh hangat sebagai selimut kesejukan. Di Jl Percetakan Negara, Rawasari, Jakarta Pusat, Komunitas Gerakan Ayo Ziarah (GAZ) berkumpul.

Muhammad Ammar, sebagai tuan rumah tak merasa keberatan kalau kediamannya dijadikan titik kumpul. Abdussami' Makarim, Ahmad (Mamet) Mustofa Al-Qodiri Al-Baghdadi, Muhammad Syakir Ni'amillah Fiza, dan Ilhamul Qolbi saling bertatap muka. Silaturahmi lahir-batin tercipta.

Semalam, Komunitas GAZ mengunjungi tempat peristirahatan Maulana Al-Arif Billah Al-Quthb Al-Habib Hasan bin Muhammad Al-Haddad Al-Husaini Asy-Syafii yang popular dengan sebutan Mbah Priuk. Sebuah destinasi ziarah yang baru diresmikan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.

Berfoto di Makam Keramat Mbah Priuk..

Setelah menyaksikan pertunjukkan Matahari Hujan Teater di Laboratorium Teater Korek, aku bergegas menuju Jakarta. Teman-teman Komunitas GAZ hanya tinggal menungguku untuk kemudian berangkat ke Makam Keramat yang beberapa tahun lalu sempat dipersengketakan.

Tepat pukul setengah 1 dinihari, kami tiba di lokasi. Mamet bertindak sebagai pemimpin. Istighatsah dilakukan. Wirid Bela Negara. Harapannya tentu, agar agama dan bangsa menjadi satu kesatuan yang utuh. Tidak lagi dipertentangkan dan dihadap-hadapkan seolah keduanya mesti terpisahkan.

Hampir satu jam kami melangitkan dzikir, menengadahkan doa, dan mengalam-rayakan asa. Di depan makam Mbah Priuk, kami bermunajat. Meminta perantara agar kehendak kami disampaikan kepada Pemilik Jiwa. Minimal, agar jiwa-jiwa kami tak terbakar api amarah dan kedurjanaan duniawi. Usai istighatsah, kami melipir ke warung kopi. Mendiskusikan banyak hal.

Hal pertama yang dibicarakan adalah soal Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta pada 19 April mendatang. Ammar beranggapan, menjelang putaran kedua ini, atmosfernya tidak terlalu panas sebagaimana di putaran pertama. Aku dan teman-teman yang lain mengamini hal itu. Namun, ada juga yang sangat disayangkan. Yaitu soal kedua pendukung pasang calon gubernur yang seolah membabi-buta dalam menyampaikan kebenaran versi mereka.

Maka, ada satu pertanyaan yang terlintas dalam benak, "Siapa sebenarnya peretak persaudaraan itu?" Sebab, masing-masing diri menunjuk orang atau kelompok lain sebagai penyebab timbulnya dis-harmoni kehidupan berbangsa. Mereka yang pro-kebhinnekaan dianggap anti-Islam. Begitu pun sebaliknya. Kerangka berpikir manusia Indonesia akhir-akhir ini menjadi hancur. Dangkal.

Aku angkat bicara. Mencoba untuk mengingat-ingat sejarah politik kekuasaan Indonesia. Pada masa orde lama, di bawah kepemimpinan Soekarno, siapa-siapa yang tidak suka dengan pemerintahan dianggap anti-revolusi. Di zaman Soeharto, kelompok yang tidak suka dengan cara gaya kepemimpinannya disebut-sebut anti-Pancasila. Kini, yang gemar mengkritik Jokowi dibilang anti-kebhinnekaan.

Kesemuanya itu dengan sangat sederhana mendapat sebutan sebagai peretak persaudaraan antarbangsa. Padahal, menurutku, tidak demikian. Aku mengajak teman-teman untuk membedakan makna kata negara dan pemerintah. Jangan lantas berpikir bahwa keduanya adalah satu kesatuan yang ketika salah satunya tidak disukai, maka disebut tidak cinta yang satunya atau bahkan keduanya.


Sebagai generasi muda NU, Mamet mengungkapkan bahwa lambang NU yang saat ini kita tahu merupakan hasil dari istikharah pencetusnya. KH Ridlwan Abdullah. Hal yang menarik dari lambang itu adalah tali yang diikat tidak terlalu kencang juga tidak terlalu longgar. Begitulah seharusnya sikap kita dalam berbangsa, bernegara, dan beragama.

Tidak terlalu kaku dan longgar. Biasa saja. Menempatkan sesuatu sesuai porsinya. Kalau sedang dibutuhkan untuk bersikap longgar, saat itu juga dilakukan. Begitu pun sebaliknya. Semua memiliki ruang dan waktunya sendiri. Segala sesuatu pasti punya tempatnya masing-masing. Nah, NU jagonya dalam hal seperti itu. 

Dengan begitu, NU tidak akan bisa terpecah-belah. Ia akan terus hidup di dalam sanubari bangsa. Ia berdiri di semua golongan. Merangkul semua orang. Tapi dengan catatan; tidak mencederai negara dan agama. Diingatkan kembali bahwa negara berbeda dengan pemerintah. Begitu pula agama dan penyaji agama; jelas beda. Paham, kan?

Atas dasar kerangka pemikiran di atas, maka pertanyaanku pasti terjawab. Siapa Sebenarnya Peretak Persaudaraan itu? Sila dijawab dalam hati sebagai bahan introspeksi. Barangkali, ada beberapa perkara yang timbul dari diri; yang menyebabkan retaknya persaudaraan.

Harapku; semoga Komunitas Gerakan Ayo Ziarah tetap lestari. Sekalipun mati, ia akan hidup kembali dengan rupa yang baru dan lebih baik lagi. Ia abadi, sebagai benteng terakhir untuk menjaga nilai-nilai​ luhur bangsa dan agama. 



Wallahu A'lam



Bekasi Utara, 9 April 2017



Aru Elgete

Senin, 03 April 2017

Jihad Kata, Demi Menghapus Air Mata Bangsa


Sumber: radiosilaturahim.com

Genderang perang tertabuh. Sengaja atau tidak, entahlah. Masing-masing anak bangsa telah sepakat untuk berpecah-belah. Sejak akhir tahun lalu, permusuhan kian kentara. Pesan berantai penuh kebencian dianggap sebuah kebenaran absolut. Semuanya sibuk. Mengatur strategi untuk mengalahkan siapa saja yang dianggap lawan.

Tak peduli kedudukan dan jabatan, yang berbeda menjadi lawan. Ruang diskusi menjadi hambar. Sebab hanya tersisa amarah yang membara. Akhirnya, terbagi menjadi dua kelompok. Tentu keduanya merasa paling benar, yang di luar kelompoknya jelas salah. Menertawai, mencaci, serta mencari-cari kesalahan menjadi kegiatan baru manusia Indonesia.

Entah sampai kapan Devide et Impera terus berjaya. Peninggalan penjajah Belanda yang hingga kini masih relevan untuk meriuh-gaduhkan gelombang cinta Ibu Pertiwi. Sementara para pakar, akademisi, intelektual muda, dan mahasiswa hanya mampu memaparkan segala macam teori. Menjual kecap. Bahkan, mereka tak lagi jernih dalam berpikir. Barangkali sudah terkontaminasi oleh kepentingan politik praktis.

Melihat kegaduhan itu, aku mencoba masuk ke dalam sebuah ruang yang jarang diketahui orang lain. Sebuah labirin kesunyian yang hanya terdapat pesan-pesan kedamaian. Di sana, doktrin permusuhan terenyahkan. Ajakan untuk saling bermusuhan pasti tertolak. Tapi, siapa pun boleh masuk. Mengubah diri menjadi lebih arif dan bijaksana. Cermat dalam melihat. Memandang sesuatu tidak dengan kacamata kuda. 

Di sana terdapat banyak pilihan. Aku memilih untuk melakukan kesungguhan dalam menulis. Berkata-kata dengan keseriusan untuk mengubah negeri ini menjadi sebagaimana mulanya, Gemah Ripah loh jinawi; Tata Tentrem Kerta Raharja. Hijau permai nan damai. Kira-kira seperti itu gambaran surga yang dijanjikan Tuhan. Pikirku, untuk bisa meraih surga di akhirat, maka mulailah untuk tidak menciptakan neraka di dunia.

Singkatnya, labirin kesunyian itu memancarkan cahaya kebahagiaan. Aku menjadi tak berjarak dengan siapa-siapa. Merangkul sesama dengan suka-cita. Aku menyalami banyak orang acapkali bertemu di simpang perjalanan. Sembari melempar senyum tulus, tanpa kepura-puraan. Baik pendukung Prabowo maupun Jokowi, Ahok-Djarot atau Anies-Sandi, dan Ridwan Kamil atau Kang Dedi, semuanya menjadi teman sejati. Tak ada pembeda.

Pribumi atau non-pribumi. Baik pribumi yang berpakaian ala non-pribumi, atau non-pribumi yang bersikap baik sebagaimana sikap dan laku orang-orang pribumi, semuanya sama. Kalau baik, jadikan teman. Kalau tidak baik, jangan ditinggalkan, tetap jadikan teman dan rangkul agar kembali menjadi baik. Kurang-lebih seperti itu logika cinta berjalan. Sejalan dengannya, jangan sesekali ujaran dan umpatan menyakitkan terlontar. 

Jihadku bukan dengan teriakan yang menguras energi. Bukan kebencian yang menjalar ke sendi-sendi kehidupan. Bukan pula caci-makian yang menciptakan jurang permusuhan anak bangsa. Perlawananku bukan dengan perlawanan. Bukan dengan ancaman pembunuhan. Bukan dengan tinju yang menyakitkan. Bukan dengan pukulan yang membunuh. Bukan dengan belati yang mematikan. Bukan, bukan, bukan. Bukan seperti itu jihadku.

Aku berjihad melalui kata. Sebab kata-kata adalah peluru yang mampu menembus ribuan otak manusia. Kemudian diproses dan menjadi laku kehidupan. Demi keutuhan Indonesia, aku berjihad dengan kata-kata. Menggerakkan alam bawah sadar manusia untuk bergerak menuju kebaikan, menuju cinta-kasih dan kedamaian. Jihadku dengan kata-kata, agar menjadi sebuah ajakan tanpa mencipta neraka di dunia. Jihadku dengan kata-kata. Kata-kata yang bukan kata-kata. Kata-kata yang hidup. Bukan sekadar kata-kata. 

Kata-kata yang mampu menghapus air mata bangsa.




Wallahu A'lam



Bekasi Utara, 3 April 2017



Aru Elgete

Minggu, 02 April 2017

Mungkinkah Ada Aksi Bela Islam 234?


Konferensi Pers Aksi Bela Islam 313. Sumber: megapolitan.kompas.com

Aksi 313 pada 31 Maret 2017, usai. Berbagai adegan dan peristiwa terjadi. Kegaduhan di linimasa media sosial tercipta. Politis atau tidak, benar atau salah, dan baik atau buruk, biar menjadi subjektivitas masing-masing individu. Kebenaran di dunia memang bersifat relatif. 

Jum'at dinihari, Sekjen Forum Umat Islam (FUI) Al-Khattath diciduk karena dianggap makar. Padahal, tidak demikian menurut massa aksi 313. Mereka sedang memperjuangkan kebenaran Tuhan yang dinista oleh Fir'aun zaman modern. Yakni, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Walau dalam aksi tersebut, terdapat atribut yang bernuansa arabisme. Maaf, maksudku Islam. Singkat kata, ada banyak kepentingan di balik aksi yang berjilid-jilid itu. Salah satunya adalah misi utama Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) atau Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), yaitu menjadikan Bumi Pertiwi dengan berdasarkan pada kompilasi hukum Islam.

Saya merasa heran dan bertanya-tanya, ke mana atribut organisasi Islam yang memiliki motto, "NKRI Bersyari'at"? Organisasi itu adalah Front Pembela Islam (FPI). Apakah ada pelarangan dari pimpinan tertinggi FPI untuk mengikutsertakan atribut sebagaimana yang terlihat pada aksi-aksi sebelumnya? Entahlah.

Menurut pemikiran sempit saya, FPI sudah mulai tersadarkan bahwa ada pergeseran makna yang terkandung dalam aksi 313. Aksi 411 dan 212, jelas. Sebagian besar umat Islam yang menjadi massa aksi ketika itu merasa sakit hati atas ucapan Ahok. Saya pun demikian. Meski tak ikut turun aksi dan akhirnya memaafkan karena ketidaktahuannya. Toh, dia sendiri sudah minta maaf.

Hal yang menarik adalah, terselenggaranya aksi-aksi semacam itu diidentikkan dengan tanggal yang unik. Barangkali, agar mudah diingat. Sehingga menjadi kenangan yang berkesan dan tak terlupakan di kemudian hari. Tapi, saya melihat aksi seperti itu menjadi sangat politis. Bahkan, seperti menjadi barang dagangan terlaris untuk diperjualbelikan. Singkatnya, semacam alat komoditas.

Kemudian, saya berkeyakinan bahwa aksi 313 bukan akhir dari pergerakan dan pengerahan massa untuk menuntut agar Ahok mundur. Kekhawatiran saya adalah, akan ada aksi-aksi lanjutan hingga batas waktu yang tidak ditentukan sampai sebagian besar umat Islam merasa terpuaskan. Parahnya, aksi-aksi semacam itu menjadi bahan tertawaan bagi sebagian yang lain. Padahal menurut orang-orang yang menjadi bagian dari aksi tersebut, diyakini sebagai bagian dari perjuangan membela agama; sakralitasnya terjaga.

Pertanyaan sederhana yang akhir-akhir terlintas di benak adalah, bagaimana kalau pada 19 April nanti, Ahok-Djarot keluar sebagai pemenang? Akankah ada gubernur tandingan (lagi)? Mungkinkah akan ada aksi lanjutan di hari-hari berikutnya dan aksi tersebut dilakukan pada Minggu, 23 April 2017, sehingga diberi nama Aksi Bela Islam 234? Lalu, respon apa yang akan terjadi di tengah hiruk-pikuk kegaduhan masyarakat terkait hal tersebut? Atau bisa jadi, melihat jumlah massa yang sangat massif dan besar, salah satu produk rokok terbesar di Indonesia akan mensponsori kegiatan itu? 

Entahlah, segala macam asumsi berkembang liar di benak kebanyakan orang. Toh, Aksi Bela Islam kini menjadi lelucon hangat di warung kopi. Menjadi bahan selingan diskusi bagi aktivis pergerakan mahasiswa. Bahkan menjadi peluang bisnis untuk meraup keuntungan. Mari, kita lihat nanti. Sehari setelah pemilihan, hal apa yang akan terjadi? Siapkan kopi dan cemilan bergizi, kita sama-sama saksikan di media massa khususnya televisi yang sangat gencar menyorot perkembangannya.


Takbir!!! 
Allahu Akbar!!!


Wallahu A'lam



Sekretariat Teater Korek Unisma Bekasi, 2 April 2017



Aru Elgete

Kamis, 30 Maret 2017

Risih, rusuh, resah


Selat Sunda, 12 Desember 2016. Foto: Didi Mulyawan

Risih, rusuh, resah.
Resah, rusuh, risih, resah.
Rusuh, risih, resah, rusuh, risih.
Risih, resah, rusuh, risih, resah, rusuh.

Kapan tersudahi semua?
Soal permainan adiksimu atas kuasa tuhan.
Ya, tuhan.
Sebuah objek yang kau jadikan candu.
Menjadi penenang.
Padahal, tak sekalipun kau senang.

Resah, rusuh, risih.
Risih, resah, rusuh, risih.
Rusuh, resah, risih, rusuh, resah.
Resah, risih, rusuh, resah, risih, rusuh.

Kabarkan pada tuhan yang terkonsep di otakmu, itu.
Bahwa keabadian bukanlah dia.
tuhan itu hanya memberi nikmat sesaat.
Mengutopiskan khayal hingga kau bisa terlelap malam ini.

Rusuh, resah, risih.
Resah, rusuh, risih, resah.
Risih, resah, rusuh, risih, resah.
Rusuh, risih, resah, rusuh, resah, risih.

Objek di otakmu yang kau beri nama tuhan itu sesungguhnya adalah penyiksa.
Tak beri solusi apa-apa kecuali mengikuti kehendak otakmu sendiri.
Paham, kan?
Kau tau bagaimana laut?
Menenangkan.
Suatu saat, ia akan menumpahkanmu pada imajinasi tumpul.


Belajarlah mendewasa!!!



Bekasi Utara, 30 Maret 2017


Aru Elgete

Rabu, 29 Maret 2017

Akankah Nafsu Kebencian Mewarnai Rajab?


Ilustrasi. Sumber: duajadisatu.com

Rajab sudah tiba. Salah satu bulan yang istimewa, selain Muharram, Sya'ban, dan Ramadhan. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa ibadah di Bulan Rajab akan mendapat ganjaran yang besar. Pesan berantai pun bermunculan. Entah sekadar membagikan atau dilakukan, dikembalikan lagi ke diri masing-masing.

Di sisi lain, kondisi sosial-keagamaan masih terus bergejolak di negeri ini. Agama merambah ke permukaan. Bahkan, menjadi barang dagangan terlaris di semester pertama 2017. Politik kian menjadi-jadi. Agama pun terseret-seret. Masuk ke dalam. Menjadi retorika politik. Pelicin, sekaligus penghambat berpikir dan kedewasaan laku.

Dengar kabar,  di pengujung Maret akan ada aksi bela Islam. Atas nama Forum Umat Islam (FUI), mereka siap menyerbu kantor wakil rakyat. Tanggal dan harinya dibuat unik agar mudah diingat. Rencananya, 31 Maret. Disingkat menjadi 313. Inti tuntutannya hanya satu; penjarakan si penista agama; Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, yang disebut-sebut sebagai Fir'aun di zaman modern.

Berbagai isu telah lama dikembangkan. Mulai dari cina, komunis, hingga pelarangan mengurus jenazah pendukung Ahok, terus dikemukakan. Tujuannya agar DKI Jakarta memiliki pelayan baru. Maaf, maksudku penguasa baru. Ah, Aku sudah lama tak memperdulikan perseteruan murahan seperti itu. Siapa pun gubernurnya, tidak terlalu menjadi persoalan bagiku. Yang menjadi persoalan adalah saat orang-orang di akar rumput terbakar oleh nafsu kebencian hanya karena perbedaan pilihan. 

Oke, itu kan di Ibukota. Lalu, bagaimana dengan Jawa Barat (Jabar)? Setahun lagi, akan diselenggarakan pesta demokrasi. Muhammad Ridwan Kamil (MRK) dan Dedi Mulyadi (DM) sudah digadang-gadang menjadi pemimpin selanjutnya. Isu yang dikembangkan, lagi-lagi itu; agama, yang disebut oleh Ki Ageng Suryomentaram sebagai "Ageming Aji". Walikota Bandung itu, MRK, dianggap sebagai penganut Syi'ah. Sementara DM, Bupati Purwakarta, diklaim pengikut ajaran Sunda Wiwitan.

Kasihan, orang awam. Mereka diberi asupan kebencian setiap hari. Terdoktrinasi oleh amarah atas perbedaan. Memangnya siapa sih yang awalnya menyebar isu kalau MRK Syi'ah dan DM Sunda Wiwitan? Pasti kan, menurutku, pelakunya itu-itu lagi. Memangnya sudah tahu secara pasti kalau mereka berdua seperti itu? Atau, memangnya ada masalah kalau calon gubernur Jabar itu penganut Syi'ah dan Sunda Wiwitan? Ada masalah dengan agama? 

Sepertinya, fitnah dan ujaran kebencian sudah mendarah-daging bagi pelaku politik di negeri ini. Barangkali itu, yang dikhawatirkan oleh Hatta jauh-jauh hari. Bahwa Liberalisasi politik akan memecah-belah anak bangsa. Dulu, pendamping Soekarno itu sudah memiliki gagasan, sistem demokrasi kita ini memiliki khas tersendiri. Mengadopsi konsensus Piagam Madinah, Sosialisme Barat, dan kearifan lokal yang terus dipertahankan. Itu yang disebut sebagai Demokrasi Kerakyatan.

Kembali ke Rajab. Akankah bulan istimewa dalam sejarah Islam ini akan ternoda oleh nafsu kebencian? Mungkinkah amarah yang membabi-buta kembali mengemuka? Atas nama agama, segalanya pasti tercipta. Agama sudah menjadi candu, rupanya. Lho? Mau marah? Bukankah dalam agama dan keyakinan kita pasti memiliki candu? Kadar adiksi yang berlebihan, tentu akan membuat seorang tak sadar diri. Kurang lebih hampir sama dengan garam, gula, rokok, dan kopi. Kalau berlebihan tak baik. Secukupnya saja.

Tuhan tidak suka dengan orang yang berlebihan, kan? Lalu, kenapa selalu berlaku lebih atas nama agama? Kalau mau dilebihkan, kenapa tidak komunikasi kepada Tuhan saja yang ditonjolkan? Kemudian dari situ akan terkristal menjadi sebuah kebaikan pada sesama makhluk. Sudah lupa bagaimana Muhammad Putra Abdullah menyusun konstitusi di negeri madani? Di negeri yang berkeadaban. Di negeri yang ketenteraman tercipta.

Mari lakukan introspeksi. Perbanyaklah ibadah ritual, tapi jangan meninggalkan ibadah sosial. Lebih giatlah mendekat pada Pemilik Jiwa, tapi juga jangan lupa bahwa ada jiwa-jiwa yang masih perlu dididik, bukan dihardik. Masih banyak jiwa yang mesti diayomi, bukan dihakimi. "Apakah kamu tidak berpikir?" Begitu firman Tuhan dalam kitab suci.

Pemaksaan kehendak menjadi gaya baru dalam beragama, kini. Semua orang, mungkin lupa, bahwa Tuhan pernah mewanti-wanti Nabi, "fadzakkir, innamaa anta mudzakkir, lasta 'alaihim bi mushoitir." Bahkan, dia sendiri pernah mengatakan, "innamaa bu'itstu li utammima makarima-l-akhlaq." Sudah jelas kan? 

Dalam kitab suci pun sudah terkonfirmasi bahwa perilaku Kanjeng Muhammad di atas kemuliaan. Tidakkah, kita mencontohnya? Sebagai umatnya, bukankah sangat mulia jika kita meneladani perilaku kerasulannya? Tidak secara keseluruhan. Minimal, santun dalam bertutur, sopan saat berlaku, dan menawarkan wajah yang berseri-seri. Meninggalkan kebencian sekaligus meniscayakan kebahagiaan karena membawa cinta-kasih pada sesama.

Yuk, kita sama-sama songsong Ramadhan yang terhitung tinggal 2 bulan lagi dengan ibadah ritual dan sosial yang seiring-sejalan. Melakukan muhasabah, dialog pada diri sendiri. Sudahkah menjadi seorang manusia, hamba, dan umat yang mampu menebar kebaikan dan manfaat di muka bumi? Sehingga kebaikan itu akan mengantarkan pada keridhoan Tuhan agar berkenan menemui kita di hari kemudian.

Sudahlah. Jangan terlalu banyak membenci. Bersikap kritis, silakan. TapI dengan membangun, bukan menjatuhkan. Silakan laksanakan ibadah sesuai kepercayaan. Semoga menjadi niscaya kekristalan yang berbuah keistimewaan bagi kehidupan peradaban anak manusia. Cukupkan kebencian di Rajab. Maafkan lahir batin. Semoga diterima segala amal ibadah hingga Ramadhan nanti.

Allahumma baarik lanaa fii rajaba, wa sya'bana, wa balighna ramadhaaan.

Wallahu A'lam.


Bekasi Utara, 29 Maret 2017



Aru Elgete

Selasa, 28 Maret 2017

MRHTD, Teater Korek Merekatkan Bukan Meretakkan



Menyanyikan Mars Teater Korek usai MRHTD

Malam Renungan Hari Teater Dunia (MRHTD) menjadi langkah awal. Teater Korek sebagai perekat, bukan peretak. Jalinan silaturahmi dan tenun kebudayaan tercipta. Civitas akademika Unisma Bekasi, turut hadir. Tak terkecuali komunitas atau sanggar teater yang diundang.

Di Laboratorium Teater Korek Unisma Bekasi, 26 Maret 2017, semua menjadi saksi. Bersalam-salaman sembari lempar senyum merupakan kebahagiaan yang utuh. Tujuan diadakan Malam Riung memang seperti itu. Setiap bulan, mudah-mudahan lancar dan terlaksana. Intinya, semoga mendapat ketenangan lahir-batin.

Baca: Hari Teater Dunia, Korek Unisma Gelar Malam Riung

Senat Mahasiswa (Sema) Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip), Himpunan Mahasiswa Manajemen (Himma), Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Pusat Kajian Pancasila, Fakultas Teknik, Teater Camuss Universitas Islam Asy-syafiiyyah, Sanggar Teater Biru Jakarta Timur, dan Komunitas Ranggon Sastra Universitas Indraprasta PGRI (Unindra), hadir secara perwakilan.

Sebagai organisasi kemahasiswaan yang bergerak di bidang seni dan kebudayaan, Teater Korek masih sangat minim kajian. Maka, MRHTD itu adalah sebuah pergerakan yang nyata agar gerak dan otak menjadi stabil. Seimbang. Kaum terpelajar tak melulu gerak, juga tidak terus-menerus melakukan kajian. Kira-kira itu wejangan sehari-hari dari orangtuaku.

Namun, Teater Korek mesti punya tujuan yang jelas. Agar tak terombang-ambing oleh ketidakpastian. Harus segera berproses agar punya karya kembali. Setidaknya membungkam mulut yang mengatakan, "Teater Korek tak berkarya." Lucu. Padahal di Sekretariat Teater Korek, ada banyak sekali arsip sebagai bukti sejarah bahwa Teater Korek memang punya karya.

"Bicaralah sesuai apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan," begitu kata ulama kampung di lingkungan rumahku. 

Teater Korek sedang bangun. Kembali bangkit. Semoga mendapat ketenangan. Mencuci piring bekas pesta kemarin. Mempertanggungjawabkan segala hal yang sengaja dibebankan. Sejalan dengan itu, Teater Korek tidak menaruh dendam kepada siapa pun. Juga tak lagi menggantungkan harapan pada orang lain, kalau akhirnya justru diperkosa oleh keserakahan diri.

Kembali ke MRHTD. Malam itu, semua berbahagia. Masing-masing diri dan komunitas memberi apresiasi di panggung yang telah tersedia. Pembacaan dan dramatikal puisi, tarian, performance art, serta dramatical reading membawa keceriaan tersendiri. Tata ruang yang diatur sedemikian rupa, membuat tamu terkesima. Disediakan tempat berfoto dengan kumpulan foto aktivis yang dihilangkan pada masa orde baru.

Alat musik tradisional dikeluarkan. Dihidupkan kembali. Difungsikan lagi. Menjadi daya tarik untuk difoto oleh juru kamera salah satu media massa di Bekasi. Pencahayaan yang unik, merekatkan jiwa. Malam itu, di luar sedang turun hujan. Namun, kehangatan tetap tercipta. Sebab Teater Korek merekatkan, bukan meretakkan.

Kekurangan dalam hal penyambutan dan penyajian pasti ada. Tidak ada gading yang tak retak bukan? Maka, dengan segala kerendahan hati dan penyadaran diri, Teater Korek mengucapkan maaf yang paling tulus. Semoga ke depannya lebih baik lagi. Juga mengucapkan rasa terimakasih yang tak berhingga kepada seluruh diri dan komunitas yang telah membantu kelancaran kegiatan tersebut. 

Selamat Hari Teater Se-Dunia, 27 Maret 2017. Majulah Teater Indonesia. Jayalah Teater Bekasi. Teater adalah kehidupan, selamat menikmati hidup dan selamat berteater.



Wallahu A'lam



Bekasi Utara, 28 Maret 2017


Aru Elgete

Minggu, 26 Maret 2017

Masihkah Buku Menjadi Jendela Dunia?


Ilustrasi. Sumber: andikafm.com


"Masihkah buku menjadi jendela dunia?" kira-kira itu pertanyaan yang akhir-akhir ini terlintas dalam benak. Sejak dulu, orangtua seringkali memberi wejangan kepadaku agar giat membaca buku. Ibuku bilang, "Dari buku kamu akan melihat dunia."

Digitalisasi peradaban nampaknya berkata lain. Perlahan, buku ditinggalkan. Beralih ke digital. Bahkan, buku digital pun tidak lagi diindahkan. Keberadaan media sosial menambah runyam segalanya. Pemuda-pemudi lebih sibuk berselancar di media sosial ketimbang membaca buku.

Gramedia, toko, dan penerbit buku berlomba mendiskonkan buku. Bahkan, gratis. Taman Baca sepi pengunjung. Di titik strategis Car Free Day (CFD) setiap minggu, komunitas pecinta buku menjamur. Namun, hasilnya tetap tak memuaskan. Sepi. 

Hal yang menarik dari hadirnya media sosial, barangkali, menjadi wadah eksistensi yang sama sekali tak bernilai. Buku-buku yang terbeli hanya dipotret, tanpa dibaca. Hanya berharap mendapat like dan komentar yang baik. Pencitraan. Semua dilakukan agar mendapat pengakuan diri. Seperti yang dikatakan Abraham Maslow jauh-jauh hari. Bahwa kebutuhan manusia paling utama adalah pengakuan diri dan eksistensi.

Kembali ke buku. Perkembangan intelektualitas seseorang terbangun karena bacaannya. Dengan membaca, ia dapat memberi pengaruh positif bagi lingkungan sekitar. Selain itu, buku dapat membantu manusia dalam berpikir, bertutur, dan berperilaku. Ia akan menjadikan seseorang rapi, runut dalam berbicara, serta dapat memperhalus rasa.

Orang-orang terdahulu acapkali berdebat melalui buku. Imam Ghazali misalnya. Ia menulis buku yang memaparkan kesalahan-kesalahan pada filsafat Ibnu Rusyd. Tetapi Imam Ghazali juga menulis bahwa kritik itu ia layangkan setelah membaca dan mengkaji.

Kemudian, ada juga buku yang berjudul "Sidogiri Menolak Pemikiran KH Sa'id Aqil Siradj." Bermacam referensi dimaktubkan. Berdasar. Tulisannya pun rapi, runut, dan cenderung objektif. Aku pernah pula membaca buku "menolak madzhab wahabi" yang lagi-lagi terpaparkan fakta dan data. Tidak sembarang.

Mendebat atau mengekspresikan ketidaksukaan terhadap sesuatu dengan cara menulis menjadi sangat indah. Logika sederhananya, seorang penulis yang baik adalah pembaca yang baik pula. Buku menjadi jendela dunia. Membuka tabir kejumudan. Menyingkap sekat kebodohan dan ketertinggalan.

Kini, budaya semacam itu hampir tak terlihat. Orang-orang sibuk berkomentar dan melakukan ekspresi ketidaksukaan dengan seenaknya di media sosial. Tanpa dasar, data, dan fakta. Isu terakhir yang berkembang adalah kontroversi KH Ahmad Ishomuddin yang menjadi saksi ahli atas perkara penistaan agama. 

Semua orang berbondong melakukan cercaan terhadapnya. Pencerca itu pun belum tentu tahu secara keseluruhan, siapa KH Ishomuddin itu. Bagaimana kehidupan dan pengalamannya sampai ia mendapat gelar sosial dari masyarakat; Kiai Haji. Aku teringat pesan Tuhan dalam kitab suci, "Tidakkah kamu berpikir?"

Maka itu, seorang penulis kenamaan, Zen RS dalam cuitannya berkata, "Yang berbahaya dari menurunnya minat baca adalah meningkatnya minat berkomentar." Lalu, aku berpikir bahwa dampak negatif dari media sosial adalah menurunkan minat baca. Kemudian secara tidak langsung, media sosial pun mengajak penggunanya untuk giat dalam berkomentar. Gilak!

Akhir 2016, Mega Bekasi Hypermall bekerjasama dengan penerbit Kompas Gramedia mengadakan Mega Big Sale. Menjual buku dengan harga murah. Mulai Rp5000 hingga Rp10000. Semua orang bergegas menghampiri. Memborong buku sebanyak yang disuka. Pikirku, harus seperti itukah agar buku dibaca? Bagaimana perasaan buku? Dibandrol dengan harga murah, supaya cepat habis dan terbeli. 

Berbagai kalangan, dari anak muda hingga orangtua tak mau ketinggalan. Mereka menyerbu. Setelahnya, entahlah. Hanya menjadi eksistensi belaka atau buku yang dibeli dengan harga murah itu benar-benar dimanfaatkan untuk mendobrak dinding ketidaktahuan. Semuanya tergantung pada individu. 

Jadi, masihkah buku menjadi jendela dunia setelah ada istilah baru, "dunia dalam genggaman?" Orang-orang gaduh. Menyombongkan kebodohan dan kejumudan dalam berpikir. Lagi-lagi tanpa dasar. Berkomentar sesukanya. Jempol menjadi harimau, tidak lagi mulut.

Aku bisa menilai seseorang dari komentar di media sosial dan ucapannya dalam keseharian. Orang yang giat membaca buku, ia akan sangat berhati-hati. Menuliskan dan berkata-kata dengan tidak menggebu. Rapi, runut, dan tertata. Kasarnya, aku bisa melihat laku orang lain dan kemudian mengetahui buku macam apa yang dibaca. Kira-kira seperti itu.

Hingga detik ini, aku masih mencintai buku. Bukan yang sudah terdigitalisasi. Aku membaca buku agar mampu meruntuhkan kesombongan yang menuntunku pada jurang kedurjanaan. Aku membacanya demi menghaluskan rasa dan mempertajam pemikiran. Semakin banyak bahan bacaan, kian merunduklah ia. Tak lagi mengumbar omong-kosong layaknya pembual politik akhir-akhir ini. 

Sebab bagiku, buku adalah sahabat setiaku. Tak pernah membenci saat diperlakukan tidak wajar. Tetapi selalu menerima kapan pun saat ia dijadikan sahabat, bahkan ia sangat legowo ketika huruf demi huruf yang tertera di tubuhnya hanya dijadikan pengantar tidur oleh pembacanya.

Dunia tidak perlu digenggam. Buka bukumu sekarang juga, niscaya dunia akan terlihat jelas. Berapa jam dalam sehari waktumu dihabiskan untuk membaca? Semoga terjawab dengan laku, tidak hanya retorika belaka. Apalagi dalih yang menempel sesaat pada lidah. Yuk, baca buku.



Wallahu A'lam



Sekretariat Teater Korek, 26 Maret 2017



Aru Elgete

Selasa, 21 Maret 2017

Teater Korek Adalah Cinta, Bukan Kebencian


Pengurus Teater Korek 2017-2019 berfoto bersama saat banjir melanda Kampus Unisma, Jumat (17/3/2017).

Bagiku, Teater Korek adalah jalan sunyi. Menjadi alternatif ruang dakwah. Sebab, berdakwah secara verbal dengan teks, dari mimbar ke mimbar, sudah penuh. Bahkan tak jarang, dakwah semacam itu telah terdistorsi oleh kepentingan bisnis dan politis.

Sejak pertama kali menginjakkan kaki di Universitas Islam 45 (Unisma) Bekasi pada 1 September 2014, aku tertarik dengan organisasi kesenian dan kebudayaan itu. Bagiku, hanya dengan berteater-lah, keseimbangan diri dapat tercipta. Suci. Menjernihkan sudut dan cara pandang terhadap sesuatu.

Meski pada Maret hingga November 2016 aku sempat menghilang, tapi Teater Korek menjadi tujuan akhir. Selama hampir 2 tahun sebelum kehilanganku itu, aku mendapatkan kabar bahwa Teater Korek sering mendapat cibiran keji nan kotor. Bagiku, itu biasa. Sebab substansi lebih penting daripada terus-menerus berdebat soal definisi.

Akhir 2016, aku kembali. Awal 2017, aku diamanahi untuk memegang kendali roda organisasi. Menurutku, kepercayaan dan harapan yang diberikan itu adalah sebuah keniscayaan. Aku dapat belajar, bekerja, sekaligus berkarya. Menabur cinta dan menebar pesan-pesan damai adalah misi utamaku.

Membalas cibiran dan kebencian dengan permusuhan adalah hal bodoh, bagiku. Sebab Tuhan menyukai dan akan memberi apresiasi bagi sesiapa yang dapat membalas kebencian dengan cinta kasih. Dalam kamus hidupku, tidak ada kebencian. Sekalipun harus marah, itu bukan karena benci yang tertumpah; tetapi karena cintaku dilukai.

Namun, cinta akan semakin kuat saat luka datang bertubi-tubi. Maka, benci dan lukai-lah Teater Korek sepuasnya, niscaya teman-teman Teater Korek akan semakin gigih menebar cinta. Kira-kira itu doktrinasi yang bisa kuberikan di setiap diskusi dan rapat rumah tangga. Berteater adalah soal kesadaran, bukan karena paksaan.

Di dalam Teater Korek, tidak ada pencucian otak agar membenci organisasi atau komunitas lain. Semua adalah saudara. Tinggal bagaimana sesama saudara saling mengintensifkan silaturrahmi lahir dan batin. Sebab dengan hal itu, tabir kegelapan akan mencahaya. Sementara kebencian pasti pudar dengan sendirinya.

Teater Korek tak pernah menutup diri dengan siapa pun. Tidak eksklusif. Apalagi menganggap bahwa Teater Korek lebih unggul daripada organisasi atau komunitas lain. Itulah sebabnya kenapa Tuhan menciptakan perbedaan. Untuk saling melengkapi. Masing-masing pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Sedangkan kebencian akan membutakan segalanya.

Silakan datang langsung ke Laboratorium Teater Korek. Kita lakukan diskusi secara terbuka. Maka, yang akan ditemukan adalah cinta; bukan kebencian apalagi permusuhan. Parahnya, penyekatan diri dalam hal silaturrahmi. Karena memutus rantai persaudaraan, bukanlah sesuatu yang disukai; baik oleh sesama makhluk, maupun oleh Pemilik Makhluk.

Di kepemimpinanku yang baru berjalan sebulan ini; aku akan mempertahankan tradisi lama Teater Korek dan melakukan pembaruan dengan mengikuti pola kehidupan yang terus berkembang. Menghidupkan kembali ritual 19-an dengan metode tadarus puisi dan diskusi rutin di setiap akhir bulan.

Dimulai dari akhir bulan ini. Pada 26 Maret 2017 akan diadakan malam riung antar-organisasi kampus, maupun antar-komunitas teater di Bekasi dan sekitarnya. Selain untuk memperingati Hari Teater Dunia yang jatuh setiap 27 Maret, juga sebagai momentum untuk memperkaya pengetahuan dan menjalin silaturahmi batin.

Maka dengan ini, aku mengundang kepada siapa pun untuk dapat meramaikan kegiatan tersebut di atas. Silakan ekspresikan diri karena disiapkan panggung apresiasi. Mari membangun cinta dari hal-hal yang sederhana; menyatukan jiwa-jiwa yang berpencar dengan ketenangan batin tanpa kebencian dan permusuhan.

Penyakit hati yang sangat berbahaya adalah ketika menganggap diri paling unggul, sementara tanpa disadari ia telah memperlebar jurang kebencian dan perlahan menghilangkan kepekaan cinta yang sebenarnya terpelihara di setiap jiwa anak manusia.

Bagiku, Teater Korek adalah cinta. Bukan tempat untuk menebar kebencian. Karena dalam Kitab Ketentuan Dasar dan Rumah Tangga dimaktubkan bahwa tujuan ditetaskannya Teater Korek ke dunia untuk membuat diri bermartabat dan bertanggungjawab serta meningkatkan derajat di hadapan Tuhan Yang Maha Berbudaya.

Tuhan selalu bersama orang-orang yang berbudaya.



Wallahu A'lam



Perwirasari, Bekasi Utara, 21 Maret 2017



Aru Elgete