Rabu, 23 Januari 2019

Menuju Satu Abad, NU Wajib Mengubah Pola Dakwah




Tahun ini, organisasi massa Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) telah memasuki usia ke-93. Sepanjang itu pula, NU berkhidmat pada umat, bangsa, dan negara. 

Bahkan, dalam usia yang senja itu, NU masih saja eksis dalam melakukan transformasi nilai-nilai ajaran Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja).

Namun pada saat yang sama, upaya untuk melemahkan NU terus dilakukan kelompok-kelompok anti-NU. Persoalan ini kian mengkhawatirkan dengan adanya polarisasi di kalangan NU sendiri. Seperti munculnya fenomena NU Garis Lurus, beberapa tahun lalu. 

Gerakan yang mengatasnamakan NU Garis Lurus itu kerap mengkritik (bahkan menyerang) petinggi-petinggi NU, mulai dari Rais 'Aam, Ketua Umum PBNU, dan ulama-ulama sepuh NU lainnya. 

Kondisi ini jelas mengkhawatirkan, bahkan menyedihkan. Sebagai kader muda NU, saya merasa sedih melihat warga NU saling bertikai satu sama lain. Sementara itu, pada saat yang sama, kelompok-kelompok Islam radikal kian gigih menjalankan aksinya. 

Menguatnya kelompok Islam radikal, sebenarnya tidak berpengaruh secara signifikan terhadap NU secara kelembagaan. Sebab, NU akan tetap kukuh selama masih ada ulama, kiai, dan pesantren. 

Namun perlahan, NU akan lemah manakala warganya banyak menyeberang ke aliran lain. Atas dasar ini, kita perlu mengkhawatirkan warga Nahdliyin yang masih awam pemahaman keagamaannya. Mereka itulah yang rentan dimasuki dan dipengaruhi. 

Selain itu, keterdesakan ekonomi juga bisa menjadi salah satu faktor warga NU menyeberang ke aliran lain. Sebab, belakangan ini, banyak orang yang berani menggadaikan akidah karena keadaan ekonomi yang sangat mendesak. 

Fenomena itu diperparah dengan kebijakan ekonomi pemerintah yang masih timpang dan belum merata. Sehingga, kesenjangan ekonomi terjadi di mana-mana. Kemiskinan dan pengangguran grafiknya terus naik saban tahun. 

Di saat kesenjangan ekonomi semakin kentara, ada pula praktik korupsi di kalangan elit pemerintah yang kian marak. Akibat yang ditimbulkan adalah kesengsaraan rakyat makin menjadi-jadi, terlebih di era globalisasi ini yang sudah pasti menempatkan ekononi sebagai elemen penting dalam kehidupan manusia. 

Dalam kondisi ekonomi yang seperti itu, yang carut-marut, dan kacau-balau, aliran-aliran keagamaan yang bertentangan dengan paham Islam Ahlussunnah wal Jamaah terus bereaksi mencari massa ke daerah-daerah pelosok yang terpencil; perdesaan. 

Dakwah Melalui Pemberdayaan Ekonomi

NU adalah organisasi keagamaan dan kemasyarakatan yang getol mengampanyekan Islam moderat dan rahmatan lil alamin. Istilah rahmatan lil alamin ini kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai program seperti, sosial keagamaan, pendidikan, ekonomi kerakyatan, dan politik kebangsaan.

Melalui program-program itu, NU mesti menjadi mitra pemerintah dalam menciptakan stabilitas sosial dan kesejahteraan umat, dan kemudian menjadi benteng kuat NKRI melalui transformasi islam moderat dan toleran.

Menurut Yusuf Qordlowi, segala prilaku ekstrem yang terjadi di masyarakat antara lain karena: lemahnya pemahaman dan pandangan terhadap hakikat agama, kecenderungan tekstual dalam memahami nash-nash, sibuk mempertentangkan hal-hal sampingan kemudian melupakan permasalahan utama, pemahaman keliru terhadap beberapa pengertian, serta mengikuti yang tersamar dan meninggalkan yang jelas.

Karena itulah, tidak cukup hanya berdakwah dari mimbar ke mimbar, NU juga harus memberikan solusi agar warga NU dari kelas menengah ke bawah bisa keluar dari desakan ekonomi atau kemiskinan.

Pasalnya, berdakwah untuk mengajak pada kebaikan harus bersinergi dengan penyelesaian kebutuhan hidup masyarakat. Pesan-pesan takwa kepada Allah SWT menjadi tidak bermanfaat apabila disampaikan pada masyarakat yang tengah mengalami keterdesakan ekonomi.

Modifikasi Pola Dakwah NU



Volume dakwah dari panggung ke panggung atau mimbar ke mimbar harus dikurangi untuk selanjutnya menggalakkan dakwah melalui pemberdayaan ekonomi masyarakat. Sebab, dakwah pemberdayaan ekonomi inilah yang paling efektif dan efesien untuk memperkuat organisasi (NU).

Di samping memperkuat pemahaman ajaran Aswaja kepada warganya, dakwah bisa dilakukan sembari mendampingi masyarakat dalam mengembangkan perekonomian mereka. Dalam konteks ini, NU sebenarnya bisa memanfaatkan peluang ekonomi syariah yang kini sedang booming.

Dalam mengembangkan ekonomi syariah, NU bisa menggunakan instrumen pesantren dan organisasi (NU) mulai dari tingkat ranting hingga cabang. Jika NU mampu mengelola peluang ekonomi syariah ini, maka ia bisa memberikan solusi ekonomi pada umatnya. Sehingga organisasi ini semakin kuat dan mengundang simpatik dari masyarakat yang lebih luas.

Dakwah Melalui Media Sosial

Saya merupakan, barangkali, salah satu kader muda NU di Kota Bekasi yang sangat senang sekali menceburkan diri ke dalam ruang maya, bernama media sosial. Di sana, berbagai informasi membanjiri linimasa yang semakin ke sini kian mengkhawatirkan. 

Beberapa tahun lalu, berbagai pengetahuan Islam yang pertama kali muncul, dengan kata kunci fiqih, tasawuf, sufi, amaliyah, dan aktivitas keagamaan apa pun, di halaman awal google akan bermunculan portal-portal keislaman yang jelas bukan Aswaja, apalagi An-Nahdliyah. 

Namun kini, perlahan NU mulai bangkit. Warganya dibekali ilmu 'bela diri' untuk berperang dan bertempur di hutan belantara yang segala rupa tumpah-ruah di sana. Kata para pepatah, lebih baik terlambat daripada tidak sekali. 

Selain pengelolaan media sosial yang massif, terstruktur, dan terukur, NU harus terus menggiatkan warganya untuk menulis. Tentu, menulis dengan terampil agar enak dibaca dan mampu mempengaruhi pikiran pembaca. 

Sebab selama ini, yang saya lihat di lapangan, orang NU hanya pandai beretorika, pandai ceramah di mimbar-mimbar keagamaan, dan orasi yang meledak-ledak di acara lailatul ijtima' misalnya, tapi berapa banyak tenaga yang mampu mendokumentasikan itu, berupa tulisan (atau video) yang menarik, ke dalam postingan di media sosial?

Saya melihat, pelatihan-pelatihan menulis yang diadakan oleh NU atau badan otonom dan lembaganya, seperti hanya angin lalu saja. Sekadar formalitas, dimasukkan ke dalam daftar lembar pertanggungjawaban, dan tidak ada output yang benar-benar massif.

Pelatihan menulis tidak cukup dalam waktu sehari, tiga hari, seminggu, atau sebulan saja. Tapi mesti berkala, terus-menerus, serta dilakukan pendampingan secara nyata agar kemampuan dan keahlian warga NU terasah. 

Pertanyaan terakhir, yang tidak perlu dijawab. Ada berapa orang di setiap pengurus cabang (kota/kabupaten) yang punya keahlian menulis dan gemar berselancar di media sosial? 

Semoga di usia yang ke-93, menuju satu abad, NU tetap jaya dan berkenan mengubah pola dakwahnya agar bisa senantiasa beradaptasi dengan perkembangan zaman. Lebih jauh, agar tak hilang dimakan waktu karena digerus oleh paham keagamaan (Islam) populer, tapi radikal dan fundamental.
Previous Post
Next Post