Kamis, 31 Januari 2019

Harlah NU ke-93: Jangan Jadi Kader Mentah!


Bersama Ketua PC IPNU Kota Bekasi


Tepat 1 April 2017, saya telah sah menjadi bagian dari Nahdlatul Ulama (NU) secara struktural. Saya dilantik sebagai pengurus Pimpinan Cabang (PC) Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Kota Bekasi.

Tugasnya adalah membidani berbagai media, yang kala itu belum ada. Kalau pun sudah ada, tapi masih baru berjalan beberapa saja. Yang paling pertama, saya mengadmini akun instagram @ipnukotabekasi. Berbagai postingan menarik dan kegiatan-kegiatan keorganisasian, saya unggah. Walhasil, sila lihat sekarang. 

Kemudian tak hanya itu, keaktifan saya di NU Kota Bekasi, dengan mengemban tugas sebagai penguasa media, saya terus lakukan. Berkali-kali, saya bertanya kepada banyak pengurus, bahwa adakah website atau situs yang bisa saya kelola? Agar pemberitaan NU Kota Bekasi bisa masif dan membanjiri linimasa media sosial anak-anak muda.

Sebab, saya yang ketika itu (2017) sudah tiga tahun hidup di Bumi Patriot, sama sekali tidak mendapat informasi ke-NU-an dari media NU Kota Bekasi, padahal NU di sini sudah ada sejak Bekasi terpisah menjadi dua daerah; kota dan kabupaten. 

Saya tahu NU dari Ketua PC IPNU terpilih, ketika itu Adi Prastyo, yang rupanya kerabat saya di RW 08, Perwira, Bekasi Utara. Ajakan ber-NU, melalui IPNU, saya terima setelah sebelumnya, beberapa tahun yang lalu saya diajak Rizki Topananda, Ketua PC IPNU Kota Bekasi sebelumnya.

Kemelekatan diri sebagai penguasa media NU Kota Bekasi, kian saya buktinyatakan setelah diberi kepercayaan memegang website pcnukotabekasi.com (sekarang nubekasi.id) sejak Februari 2018. Hingga kini, sudah banyak artikel, tulisan, berita, dan sejarah kekaryaan ke-NU-an Kota Bekasi yang tercatat. 

Namun sebelum saya memegang website NU Bekasi itu, saya sering mengirim laporan aktivitas-aktivitas ke-NU-an dan kemudian diberitakan oleh Portal NU Online (nu.or.id). Hal tersebut lah, menjadi Jurnalis NU, yang membuat saya mudah dikenal dan mengenal orang lain. 

Bersama kader IPNU Kota Bekasi (kanan) dan Ketua IPPNU Bantargebang (kiri)

Pertanyaannya adalah, apakah saya ber-NU baru dimulai sejak saya dilantik sebagai IPNU pada 1 April 2017? 

Nyinyir, sindir, ledek, ocehan, dan berbagai omongan tak jarang menerpa saya yang rupa-rupanya masih cukup junior di NU, atau katakanlah, IPNU Kota Bekasi. Saya katakan bahwa aktivitas ke-NU-an saya secara struktural, memang dimulai sejak 1 April 2017.

Saya juga telah sah menjadi Kader NU setelah mengikuti Madrasah Kader Nahdlatul Ulama (MKNU) pada Agustus 2018 lalu di Wisma Kemnaker RI, Ciloto, Cianjur, Jawa Barat. 

Namun, secara kultur, saya sudah di-NU-kan secara biologis oleh kakek saya; Mbah Suwarno bin Mangkudimedjo. Seorang santri dari Kutoarjo dan kemudian menjadi kiai kampung di Kelurahan Kebon Kosong, Kemayoran, Jakarta Pusat, di era 80-an.

Sedangkan intelektualitas saya telah resmi menjadi NU, sejak 2009 di Buntet Pesantren Cirebon. Selama empat tahun digembleng menjadi santri di sana, ada banyak pengetahuan ke-NU-an yang tak banyak didapat oleh anak-anak NU di kota yang tidak berkesempatan nyantri.

Jadi, jauh sebelum saya ber-IPNU, saya sudah dikenalkan dengan berbagai aktivitas atau kegiatan NU kultur, seperti tahlilan, manaqiban, maulidan, ziarah kubur, dan lain sebagainya. 

Strukturalisasi diri ke-NU-an bagi saya adalah bukti bahwa ber-NU tidaklah cukup jika hanya sebatas ikut-ikutan leluhur yang melanggengkan tradisi amaliyah. Bersyukurnya saya adalah, sebelum menstrukturalisasi diri kepada organisasi NU, saya sudah dibekali berbagai pelajaran formal ke-NU-an di Buntet. 

Berorganisasi di struktural NU merupakan sebuah keniscayaan yang sempurna bagi warga NU kultur yang intelektualitasnya sudah tercerahkan. Maka, orang-orang di struktural NU itulah adalah kader NU yang sudah matang, sisi spiritualitas dan intelektualitasnya. 

Kalau toh ternyata, ada kader NU yang masih secara spiritual dan intelektual tidak mumpuni, maka percayalah bahwa mereka itu tetap menaruh takzim kepada para ulama atau kiai NU. Kalau toh tidak menaruh takzim kepada ulama, maka mungkin saja mereka itu hanya ikut-ikutan. Tapi bersyukurlah, karena tetap akan mendapat berkah, melalui washilah para ulama.

Terakhir, di Harlah NU ke-93 ini, saya tidak ingin terlalu banyak berceloteh tentang NU. Sebab, sebagian besar orang sudah tahu bagaimana kedekatan dan kemelekatan saya pada NU. Beberapa waktu terakhir ini, saya sengaja melabeli diri sebagai Jurnalis NU Kota Bekasi.

Bagi saya, NU adalah bagian paling penting yang telah banyak membawa perubahan kebaikan dalam hidup, dalam setiap gerak langkah, laku, perbuatan, dan tindak-tanduk saya selama menghirup udara di dunia. 

NU mengajarkan saya sebuah cara menyelaraskan tawa dan keseriusan. Hal-hal yang serius, bisa dibawakan dengan gaya humor yang membuat audiens tidak bosan mendengar atau menyimaknya. 

Sebab, begitulah para kiai NU mengajarkan santri-santrinya. Jangan terlalu serius, tapi juga jangan terlalu banyak bercanda (tawazzun). Sesekali boleh saja, tapi harus proporsional (i'tidal).

Karenanya pada logo NU, tali pengikat jagad tidak dikencangkan tapi juga tidak terlalu dilonggarkan. Menurut penjelasan para kiai, tali itu melambangkan bahwa NU memiliki sifat memahami yang lain, atau menghargai perbedaan (tasamuh), sehingga luwes dalam beragama akan dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat. Demikian para wali membawa Islam ke Tanah Nusantara. 

Di NU, saya banyak belajar tentang cara menertawakan diri sendiri sebelum orang lain menghina pribadi saya yang jelas banyak kealfaan. Mahasuci Allah yang telah menjaga aib-aib hamba-Nya. 

Jadi, sebelum orang lain menghina saya, saya sudah lebih dulu bersetubuh dengan diri sendiri, menertawai dan menghakimi tubuh sendiri. Jika suatu saat ada orang lain yang menghina, maka tak ada sikap yang mesti saya kemukakan, kecuali menertawakan diri saya yang sudah hina ini tapi kemudian masih bisa dihinakan. Apa mulianya tubuh ini? Hahahaha...

Di NU mengajarkan kemerdekaan. Kemerdekaan diri, kemerdekaan perempuan, kemerdekaan orang lain, kemerdekaan kaum lemah, kemerdekaan setiap orang, dan berbagai kemerdekaan lain adalah mutlak harus dibela.

Setiap orang punya kemerdekaannya sendiri, dan tidak boleh melanggar atau menabrak kemerdekaan orang lain. Kalau toh kemerdekaan diri kita dilanggar atau ditabrak oleh orang lain, kalau saya sih, lebih memilih untuk mencari kemerdekaan lain.

Kiranya itulah yang diajarkan kiai-kiai NU, termasuk Kiai Said Aqil Siroj beberapa waktu lalu, saat pidatonya di Harlah ke-73 Muslimat NU yang dipelintir oleh media mainstream tanah air. Tapi apakah Kiai Said bergetar atau menjadi takut? Tidak. Sama sekali tidak.

Duh, banyak ajaran NU yang silakan dicari sendiri dengan keikhlasan dan kekhidmatan ber-NU. Jangan berorganisasi NU hanya ikut-ikutan, supaya tidak menjadi kader NU yang mentah, yang kentang, yang nanggung, yang bahkan bisa busuk suatu saat nanti.

Selamat Harlah NU ke-93, semoga saya dan kita semua semakin paham bagaimana hakikatnya ber-NU supaya tidak ada rasa paling NU sendiri. 


Wallahua'lam...
Previous Post
Next Post