Selasa, 01 Oktober 2019

Cikal-Bakal Pesantren di Indonesia


Sumber gambar: liputan6.com

Menjelang Hari Santri pada 22 Oktober mendatang, saya tertarik untuk mencari literatur tentang pesantren. Sebuah lembaga pendidikan Islam yang memiliki pengaruh sangat luar biasa bagi keberlangsungan khazanah keislaman di Indonesia. 

Sangat naif, kita sebagai manusia Indonesia, jika menafikan peran santri yang sebenarnya adalah tonggak penting bagi kokohnya agama Islam di Tanah Nusantara ini. Lebih-lebih, dari kalangan pesantren jua-lah yang ikut berkontribusi dalam memperjuangkan dan memerdekakan Republik Indonesia. 

Sesungguhnya, ada banyak literatur mengenai pesantren, tapi saya tertarik untuk mengulas tulisan dari Sekretaris Jenderal PBNU H Ahmad Helmy Faishal Zaini dalam buku yang berjudul, Pesantren Akar Pendidikan Islam Nusantara.

Sejarah kemunculan pesantren, seperti yang ia tuliskan, bermula dari Syaikh Maulana Malik Ibrahim, seorang pendakwah dari Timur Tengah, yang pertamakali membangun lembaga pengajian. Inilah cikal-bakal berdirinya pesantren sebagai tempat mendidik para santri. 

"Pada masa-masa itu, sesungguhnya sebagaimana kita ketahui, gairah belajar-mengajar agama sangat riuh, terutama di sepanjang pesisir utara pulau Jawa. Kota-kota perdagangan seperti Tuban, Gresik, Surabaya, dan Cirebon, merupakan kota-kota kosmopolitan yang menjadi jalur penghubung perdagangan dunia," kata Fatah Syukur dalam buku Dinamika Pesantren dan Madrasah yang dikutip Sekjen PBNU itu.

Kota-kota yang disebutkan itu juga menjadi tempat persinggahan para pedagang dan mubaligh Islam yang datang dari Jazirah Arab; Hadramaut, Irak, dan Persia. Para pedagang sekaligus mubaligh itu, di samping sehari-hari beraktivitas sebagai pedagang, mereka juga mengajarkan ilmu-ilmu agama meski dengan intensitas yang tidak simultan dan sporadis.

"Pada abad ketujuh masehi, terdapat komunitas muslim di Indonesia. Namun sayang, ketika itu, belum mengenal lembaga pendidikan pesantren. Lembaga pendidikan yang ada pada masa-masa awal itu adalah masjid atau yang lebih dikenal dengan nama meusanah di Aceh; tempat masyarakat muslim belajar agama," demikian Helmy Faishal mengutip dari buku Pendidikan Islam dari Masa ke Masa karya Marwan Saijo.

Menurut Helmy, yang dikatakan oleh Marwan itu sangat masuk akal. Sebab, berdasarkan analisis tentang teori masuknya Islam ke Nusantara, ada sebuah pendapat menarik yang patut ditelusuri dan didiskusikan kebenarannya. Yakni, yang menyatakan bahwa Islam sesungguhnya masuk ke Nusantara sejak abad ketujuh masehi.

Sebelum Islam masuk, Helmy menuturkan, tata sosiologis dan antropologis struktur masyarakat Nusantara sesungguhnya sudah sangat bagus. Kala itu, mereka sudah mengenal istilah caturwarna. Yakni, tingkatan derajat hidup manusia dalam konsepsi sosiologis yang didasarkan pada seberapa rendah ketergantungan seseorang terhadap harta benda.

Semakin rendah seorang bergantung pada harta duniawi, maka kian tinggi derajatnya dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan pembagian serta kualifikasi yang diterapkan dalam caturwarna itu, derajat tertinggi kehidupan di Nusantara dimiliki oleh mereka yang disebut sebagai Brahmana. Sebuah julukan bagi orang-orang zahid serta wira'i yang hidupnya ditahbiskan untuk menyembah Tuhan. Setelah Brahmana, berlanjut secara degradatif; Satria, Waisya, Sudra

"Nah, Sudra yang dikategorikan sebagai derajat terendah disematkan kepada mereka yang aktivitas kesehariannya dipenuhi dengan kegiatan duniawi. Mereka antara lain petani, nelayan, dan juga buruh," tulis Helmy.

Dalam konteks caturwarna itulah, tesis yang menyatakan bahwa perkembangan Islam pada abad ketujuh masehi tidak begitu menggembirakan. Sebab, Islam dibawa oleh para saudagar yang kesehariannya sibuk mencari uang. Sementara dalam konsepsi orang-orang Nusantara, yang berhak dan memiliki supremasi berbicara soal agama adalah mereka yang sudah mencapai derajat Brahmana.

Berbeda halnya pada abad ke-14, saat Maulana Malik Ibrahim mendaratkan kakinya di Nusantara. Ia dibantu oleh para Walisanga dengan waktu yang relatif sangat cepat, mampu mengislamkan Tanah Jawa. Namun, tentu saja hal ini masih berhubungan dengan teori tentang caturwarna.

"Mengapa Islam dengan sangat cepat menjalar dan diterima di Tanah Jawa pada masa Walisanga? Sebab, pembawa Islam adalah para manusia berkasta Brahmana," tulis Helmy.

Maka, dari sanalah sesungguhnya awal aktivitas embrio atau cikal-bakal pesantren ada di Indonesia. Dari aktivitas pengajaran-pengajaran kecil yang dilakukan oleh para Walisanga itu, pesantren menemui titik pijaknya. Namun, ketika itu, aktivitas-aktivitas tersebut masih sebatas pengajian dan belum menjelma menjadi lembaga pesantren sebagaimana yang kita kenal hari ini. 


Bersambung~
Previous Post
Next Post

0 komentar: