Kamis, 15 Desember 2016

Ahok dan Air Mata Bu(d)aya



Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dipeluk kakak angkatnya (seorang Muslimah) usai membaca nota pembelaan, Selasa (13/12) siang. Sumber: bintang.com

Kata sebagian orang, ngomongin Ahok itu menyita waktu dan menguras tenaga. Lebih baik bicarakan hal lain yang lebih penting. Sebab, katanya, Ahok ini adalah pemecah belah bangsa karena sudah menista Al-Quran dan menghina Ulama.


Dia-lah biang keladi yang membuat gaduh Bumi Pertiwi, walaupun sebelumnya ada peran Buni Yani yang bertindak sebagai "Penerang Peradaban". Ah, tapi ada beberapa poin yang ingin saya kabarkan. Lagipula, saya tidak merasa capek kok.

Jadi, mari kita perbincangkan Ahok. Bukan untuk mencaci dan mem-bully karena dia sudah menyakiti hati sebagian besar umat Islam. Juga tidak untuk memuja layaknya para dewa di Mahameru.

Saya melihat, bahwa ada yang tidak beres dari cara pandang kita terhadap pecinta Gus Dur yang satu itu. Loh? Ahok itu, bisa dibilang, adalah Gusdurian juga. Dia hadir di perayaan Haul Gus Dur tahun kemarin (2018). Waktu itu, dia di-bully habis-habisan sama pembawa acara ternama, Soleh Solihun.

Begini, sewaktu Ahok membacakan nota keberatannya, Selasa (13/12) pagi, kenapa dia harus menangis? Apakah tangisan itu hanya artifisial untuk mendapat simpati orang banyak dan kemudian elektabilitasnya meningkat drastis? Mungkinkah dia baper dengan cara caper? Hmmmm, atau jangan-jangan tangisan itu benar-benar tulus?

Karena setahu saya, saat kejadian itu, di linimasa media sosial terdapat banyak tagar #AirMataBuaya sekaligus mengumpatnya dengan cacian yang menyakitkan. Ada juga tagar #BebaskanAhok yang dibuat oleh pendukung dan simpatisannya karena terenyuh mendengar kalimat-kalimat yang diungkapkan di depan para hakim. 

Hari itu, dunia menjadi hampir gelap, agak kelabu tapi cenderung pekat. Warga Indonesia menjadi dua kubu. Simpatisan dan Antipatisan. Semuanya tumpah ruah, baik di dunia maya atau pun dunia nyata.

Pada hari itu juga, saya memilih untuk merebah-pasrahkan diri di kasur yang empuk. Dari kamar yang hanya berjarak sekitar 5 meter dengan televisi, samar-samar saya mendengar Ahok sedang membacakan eksepsinya.

Jujur, detik itu juga saya menitikkan air mata. Entah terharu atau bukan. Yang jelas, saya menangis. Saya juga tidak tahu apa yang membuat tangisan saya tumpah di atas bantal bergambar "peta Indonesia" itu.

Setelah dua hari berlalu, saya baru tahu. 

Ketika itu, saya menangisi keadaan yang terjadi pasca-Ahok membaca dan bercerita di kursi pesakitan sebagai tersangka kasus penistaan agama.

Sekira lima menit setelah terbangun dan mendengar suara serak-serak basah Ahok itu, saya membuka handphone. Melihat semua linimasa media sosial yang saya miliki, seperti Path, Instagram, Facebook, Twitter, BBM, Google+, dan Line.

Semuanya tentang Ahok. Pembenci dan pemujanya saat itu, sedang berlomba dalam kebaikan; katanya. Dan ternyata, sesuatu yang saya tangisi langsung terjadi. Kalau boleh memberi tagar, saya akan gunakan #AirMataBudaya dan #SayangiAhok.

Loh, kenapa?

Karena sejak kasus Ahok ini bergulir, kita seperti sudah kehilangan budaya. Baik budaya bangsa maupun budaya agama (artinya segala sesuatu yang dilakukan Rasulullah sehingga dianjurkan untuk diamalkan secara turun temurun).

Saya rasa, kebiasaan atau budaya yang dilakukan Kanjeng Nabi dan para wali penyebar Islam di Bumi Nusantara ini adalah menyayangi sesama manusia, walau musuh sekalipun.

Saya curiga bahwa Ahok ini merupakan pintu masuk utama untuk menghancurkan nilai kebangsaan kita. Bayangkan, hanya karena Ahok, seorang santri bisa tidak lagi menghormati kiainya.

Bahkan, seorang Buya Syafii tidak lagi diakui sebagai sosok terhormat oleh jamiyahnya: Muhammadiyah. Padahal, adab itu mesti diletakkan di atas ilmu pengetahuan; itu kata kiai yang tetap saya anggap sebagai kiai, sekalipun berbeda pilihan politik.

Dulu, Pak Kiai sering mewanti-wanti para santri agar tetap berpegang teguh pada kebenaran dan keteguhan hati. Sekalipun harus berbeda pandangan dengan kiai, silakan kemukakan dengan argumentasi yang berdasar dan kedepankan adab.

Saat ini, para kiai, gus, ustadz, dan guru di Buntet Pesantren Cirebon ada juga kok yang tidak sepemikiran dengan saya. Tapi, saya gak berani berlaku kurang ajar, soalnya ilmu saya bukan dari google, tapi dari mereka. Hehehehe.

Kembali Ke Ahok 

Budaya menghormati orangtua, kini sudah luntur. Budaya memaafkan juga telah lenyap tersapu guntur. Budaya mencaci, membenci, dan mengumpat-damprat justru tengah menjadi sajian ternikmat sepanjang umur.

O, Tuhan. Ujian macam apa ini? Air Mata Budaya sudah membanjiri singgasana Ibu Pertiwi. Dia tenggelam dalam nestapa dan kedurjanaan duniawi. Terlihat dari kejauhan, dia menyeka airmata dengan kebayanya yang sudah compang-camping; akibat digerogoti anaknya sendiri.

Bukankah dalam Ali-Imran ayat 135 Kau mengungkap kriteria seorang yang bertakwa? Tuhanku, sungguh, Firman-Mu bukan hanya terdapat di Al-Maidah 51 itu. 

Kau katakan bahwa orang-orang yang bertakwa itu adalah mereka yang menafkahkan hartanya di waktu lapang dan sempit; mereka yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain, yang kini dan lalu. Semoga kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang bertakwa.

Duhai Tuhanku Yang Mahalembut, Kau juga pernah beri sinyal tentang kriteria takwa di ayat lain, kan? Aku pernah membacanya di Al-Maidah ayat 8.

Kau menyuruh orang-orang beriman agar mampu berlaku adil. Kau juga memberi ultimatum agar jangan sampai kebencian kepada kelompok atau seseorang tertentu mendorong kami (kaum beriman) untuk menjadi tidak adil. Kau menganjurkan agar kami berbuat adil, karena keberimanan kami akan Kau angkat menjadi sebuah ketakwaan.

Ahok, Pembenci dan Pembelanya

Saya pernah dinasihati ibu, ketika itu. Katanya begini:

“Kalau mencintai jangan berlebih, bila membenci jangan terlalu. Keduanya harus berada pada takaran yang pas. Untuk menghindari takaran yang berlebih atau bahkan kurang, maka cara pandangmu harus diubah. Bahwa di dunia ini tidak hanya ada warna hitam dan putih. Paham?”

Sampai saat ini, sesungguhnya, saya masih belum mengerti makna di balik kalimat itu. Silakan maknai sesuai dengan ukuran lingkar otak anda. Multitafsir pun tak masalah.

Saya tidak akan melaporkan anda ke MUI untuk repot-repot membuat fatwa, apalagi sampai mengerahkan massa untuk menuntut keadilan, agar anda dipenjara karena penafsiran anda tidak sesuai dengan saya.

Jujur, Wallahi, Demi Allah, saya kadang gregetan melihat tingkah laku si pembenci yang benar-benar antipati dengan si pecinta yang benar-benar fanatik. Kadang-kadang juga suka geli memperhatikan mereka semua. Aneh.

Ahok begitu kok dicinta? Ahok begitu kok dibenci? Payah.

Saya justru ingin banget ketemu Ahok. Tapi, saya masih takut dibilang dan dianggap pecinta fanatiknya Ahok atau pembela si penista.

Saat suatu hari nanti diperkenankan Tuhan untuk bertemu dan diberi kesempatan bercengkerama dengan Ahok, saya akan memberi kesempatan kepada dia untuk memperbaiki sikapnya.

Dakwah itu kan mengajak bukan mencak-mencak. Dakwah itu kan merangkul bukan memukul. Dakwah itu kan mendidik bukan menghardik. Dakwah itu kan dengan kebenaran dan kesabaran bukan dengan cacian apalagi ujaran pembunuhan. Demikian kata Pak Kiai.

Mari kita kembangkan budaya luhur bangsa kita. Kita jaga dan lestarikan teladan Kanjeng Nabi yang santun, yang tidak kagetan, yang tidak gampang marah, yang penyantun, yang penyabar, yang berdakwah dengan cinta.

Kita memang tidak bisa sejajar dengan Nabi Muhammad, tapi apa tidak bisa meniru, setidaknya hanya, secuil perilaku yang luhur itu? Secuil saja.

Kata siapa saya tidak tersinggung? Saya tersinggung kok. Tapi ketersinggungan saya tidak sampai melebihi batas kesabaran. Karena kata Mamah Dedeh, kesabaran itu gak ada batasnya.

Dengan ini saya katakan bahwa saya pembenci sekaligus pecinta Ahok; dengan kadar yang secukupnya. Tidak lebih dan kurang. Cukup. Sekian.



Wallahua'lam...


Kaliabang Nangka, Bekasi Utara, 15 Desember 2016


Aru Elgete
Previous Post
Next Post