Rabu, 10 April 2019

Mengenal Kiai Ma'ruf Amin (4): Politisi Muda Taklukkan Jakarta


Sumber foto: pinterpolitik.com
Setelah dirasa cukup menuntut ilmu, saat usianya masuk angka dua puluh, Ma’ruf menikahi gadis pilihannya, Nyai Huriyah. Tak lama setelah menikah, pada 1963 itu, Ma’ruf memulai jejak pengabdiannya dengan hijrah ke Koja, Tanjung Priok. 

“Di Jakarta nanti,” ujar Kiai Romli saat menerima cucunya yang akan berpamitan merantau ke ibukota, “Kamu harus mengaji kepada kawan kakek saat belajar di Makkah. Namanya Habib Ali bin Husen Al-Attas. Orang menyebutnya Habib Ali Bungur. Beliau seorang alim...”

Di Jakarta, Ma’ruf mengikuti jejak kakaknya, Nyai Musawwamah, yang sudah lebih dulu menetap di Koja. Nyai Musawwamah adalah istri dari KH Ahmad Mi’an, seorang ulama terkenal di wilayah Priok. Ia populer sebagai Mua’llim Mi’an. 

Ia menjadi tokoh NU Tanjung Priok dan salah seorang pengelola masjid Al-Fudlola yang terkenal dan bersejarah. Ma’ruf banyak belajar kepada kakak iparnya ini. Di masjid ini ia berguru juga kepada Kiai Usman Perak.
Kehadiran Ma’ruf di Koja menambah kekuatan pengembangan NU. Apalagi hampir sebagian besar warga Koja merupakan pendatang dari Kresek, kampung halamannya. Pedagang di Pasar Ular misalnya, 80% berasal dari Kresek.

Ma’ruf pun memulai aktivitasnya di NU sebagai Ketua Gerakan Pemuda Ansor ranting Koja. Dengan dukungan kakaknya, Ma’ruf berhasil mengembangkan Ansor. Ia juga didukung oleh H Muhammad Ali, Ketua NU Tanjung Priok. Ayahanda Suryadharma Ali ini sosok yang low profile dan memberi ruang bagi munculnya anak muda. 

Dengan berbagai dukungan ini, Ma’ruf berhasil membentuk grup drum band. Satu-satunya drum band Ansor di Jakarta saat itu. Tak lama kemudian, kariernya naik, memimpin Ansor Cabang Tanjung Priok. Saat itu nama Jakarta Utara belum digunakan. Ia juga memimpin Front Pemuda yang beranggotakan pemuda dari berbagai organisasi.

Memasuki tahun 1965, Muallim Mi’an mulai meminta Ma’ruf mewakilinya dalam berbagai pengajian di seputar Tanjung Priok. Ma’ruf memenuhi mandat itu dengan baik. Ia menjadi seorang penceramah yang digemari. Seorang orator yang banyak menyisipkan guyonan dalam pengajiannya. Nama Ustaz Ma’ruf Amin mulai populer dan digemari jamaah.

Sejak memasuki kehidupan Jakarta, Ma’ruf tak lupa dengan pesan kakeknya. Secara rutin, ia mendatangi majelis taklim Habib Ali di Bungur. Di majelis ini, ia bersua dengan banyak ulama di Jakarta, antara lain Kiai Sya­fi’i Hadzami.

Di sela-sela kesibuk­annya Ma’ruf masih menyempatkan waktu untuk kuliah di Fakultas Ushuludin Universitas Ibnu Chaldun Jakarta. Tahun 1967, ia meraih gelar sarjana muda (BA).

Kepiawaian Ma’ruf mengelola organisasi, membuatnya dipercaya untuk memimpin Partai Nahdlatul Ulama (PNU) cabang Tanjung Priok (1966-1970). Saat itu NU memang merupakan sebuah partai politik, sesuai keputusan Muktamar tahun 1952.

Baca juga: Mengenal Kiai Ma'ruf Amin: Politik Jalan Tengah

Sebagai pengurus cabang, Ma’ruf ikut menghadiri Muktamar NU ke-24 tahun 1967 di Bandung. Inilah muktamar pertama yang dihadirinya. Dengan kedudukan ini dan dukungan kakak iparnya, Ma’ruf menjadi calon anggota DPRD I DKI Jakarta dalam Pemilu 1971. 

Itulah kehidupan Ma’ruf muda di Jakarta. Menjadi aktivis Ansor, mengaji kepada Mu’allim Mi’an, Kiai Usman Perak, dan Habib Ali Bungur, kuliah, dan keliling untuk berceramah. Tujuh tahun sejak kedatangannya ke Koja, kinerja Ma’ruf sudah mendapat simpati warga.

Ia terpilih sebagai anggota DPRD mewakili PNU. Suara PNU pun ikut naik signifikan untuk wilayah Tanjung Priok. Ia telah muncul sebagai tokoh muda NU di Jakarta bagian utara, mendampingi Kiai Syatibi, tokoh NU yang lebih senior.

Karir Politik yang Komplit

Sumber foto: gatra.com
Pada usia 28 tahun, Ma’ruf Amin dilantik sebagai anggota DPRD DKI Jakarta hasil Pemilu 1971. Ia menjadi yang termuda di antara 40 anggota. Sesuai aturan, ia memimpin persidangan pertama DPRD DKI mendampingi Sjamsidae Murdono (Golkar) sebagai anggota tertua (54 tahun).

Sejak dilantik pada 14 Oktober 1971, Ma’ruf sudah diingatkan oleh Gubernur Ali Sadikin, yang melantik mewakili Menteri Dalam Negeri, bahwa anggota DPRD DKI adalah wakil dari seluruh rakyat ibukota yang harus mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan lainnya. Pada periode ini, Ma’ruf dipercaya sebagai Ketua Fraksi Golongan Islam.

Ada empat inisitif Ma’ruf yang diterima sebagai kebijakan pemerintah DKI Jakarta, yaitu; pencantuman bulan dan tahun masa habis STNK dalam plat nomor kendaraan, pengaturan dana renovasi pasar yang menjamin pedagang lama tidak tergusur, dana bantuan untuk madrasah dan standarisasi dan pemerataan guru, serta soal pemakaman yang meliputi aturan pemakaman di tanah wakaf dan periode pembongkaran makam. 

Pada 1973, partai-partai politik Islam difusikan dalam PPP. Peserta pemilu hanya tinggal tiga saja: PPP, Golkar, dan PDI. Nama fraksi PNU kemudian berganti menjadi Fraksi PPP. Ma’ruf didaulat menjadi ketua fraksi. Dalam Pemilu 1977, Ma’ruf kembali menjadi anggota DPRD DKI. Ia menjadi pimpinan Komisi A yang membidangi urusan pemerintahan. 

Kedekatan Ma’ruf dengan konstituen dibuktikan dengan perolehan suara PPP di Koja yang selalu unggul dibandingkan Golkar dan PDI. Bahkan sampai Pemilu 1982, ketika ia sudah tidak mencalonkan diri lagi, suara PPP Kecamatan Koja tetap unggul. Kiai Ma’ruf kemudian berjeda dari kegiatan politik praktis, ia berkonsentrasi pada kegiatan dakwah dan pendidikan.

Sebagai rangkaian dari gerakan reformasi Mei 1998, PBNU mewadahi aspirasi politik warga NU dengan mendirikan partai politik, menyertai kelahiran 40 parpol baru setelah tumbangnya Orde Baru. KH Ma’ruf Amin sebagai salah seorang Rais Syuriyah, memimpin Tim Lima yang terdiri dari KH M Dawam Anwar, KH Said Aqil Siroj, KH Rozy Munir, dan KH Ahmad Bagdja.

Bersama tim lain yang dibentuk, pada 23 Juli 1998 berdirilah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Kiai Ma’ruf didaulat sebagai Ketua Dewan Syuro mendampingi Mathori Abdul Jalil sebagai Ketua Dewan Tanfidz PKB. Dewan Syuro adalah pimpinan tertinggi yang menentukan kebijakan partai. Ia kembali ke jalur politik praktis setalah jeda selama 16 tahun.

PKB meraih suara besar ketiga (12,61 %) setelah PDIP dan Golkar, dan mengantarkan KH Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI yang keempat.

Hasil Pemilu 1999 menempatkan Kiai Ma'ruf kembali sebagai anggota DPR RI. Ia menjadi Ketua Komisi VI yang membidangi agama, pendidikan, dan olahraga. Di samping itu, ia menjadi anggota komisi anggaran fraksi PKB, dan sempat pula menjadi anggota Komisi II yang membidangi urusan pemerintahan dalam negeri.

Baca juga: Mengenal Kiai Ma'ruf Amin (3): Kitab Kuning, Sepak Bola, dan Film

Karier panjang sebagai legislator itu membuatnya paham proses pembuatan undang-undang dan cara memperjuangkan aspirasi umat ke dalam kebijakan pemerintahan. Karier politiknya yang panjang itu ia jalani dengan disiplin. Ia tak pernah sengaja bolos sidang dan memakan gaji buta.

Ia bukan tipe anggota legislatif yang datang-duduk-duit. Ia dikenal sebagai sosok legislator yang disiplin, tak pernah terlambat datang di persidangan yang sudah terjadwal. Ia pun tahu bagaimana bernegosiasi dengan sesama anggota dewan.

Lalu lintas Jakarta Utara yang macet, ditambah tronton besar yang hilir mudik sepanjang waktu di jalan menuju rumahnya di Koja, tak menyurutkan langkahnya. Dari Jalan Deli Lorong 27 Koja, ia melintasi semrawutnya jalanan ibukota itu, bekerja untuk konstituen yang telah memilihnya dalam pemilu. 

Jalan politiknya menuju Istana Negara semakin komplit ketika ia ditetapkan sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden mulai 10 April 2007. Posisi itu dijabatnya sampai masa jabatan kedua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berakhir pada 2014. Ia membidangi hubungan antaragama dan kehidupan beragama.

Dengan kedudukan tersebut, Kiai Ma’ruf Amin sudah terbiasa dengan kehidupan kantor dan mengerti cara kerja di Istana Negara. Langkah yang akan memudahkannya dalam mendampingi Presiden Joko Widodo nanti.

(Iip D Yahya, dalam buku KH Ma'ruf Amin: Santri Kelana Ulama Paripurna)
Previous Post
Next Post