Selasa, 09 April 2019

Haul Buntet 2019: Menyoal Santri dan Alumni


Usai ziarah ke makam Sesepuh Pondok Buntet Pesantren Cirebon, di Maqbaroh Gajah Ngambung
"Sejauh apa pun kau melangkah, jangan pernah lupakan Buntet Pesantren Cirebon sebagai bagian integral dari setiap proses perubahan-perbaikan diri ke arah yang lebih baik," kata saya, kepada diri sendiri, sesaat usai melangkahkan kaki dari tanah Buntet menuju Bekasi.

Haul Almarhumin Sesepuh dan Warga Pondok Buntet Pesantren Cirebon, pada Sabtu, 6 April 2019, sudah berlalu. Namun, kesan dan berbagai pesan yang didapat tak bisa dilalui begitu saja.

Saban tahun, saya turut merayakan haul dengan mendatangi serta melakukan sowan kepada beberapa guru dan kiai yang berjasa dalam perjalanan hidup saya.

Bagi santri, kiai adalah cahaya yang menerangi jalan; sejak masih berjibaku dengan perjalanan hidup semasa di pondok, juga setelah menjalani kehidupan nyata bersama masyarakat.

Satu hal yang saya dapati, pada Haul Buntet tahun ini adalah soal makna santri dan alumni. Bagi saya, santri adalah santri. Sampai kapan pun. Selamanya. Bahkan, hingga kiamat tiba. Sampai Israfil meniup sangkakalanya, kelak.

Saya merasa aneh, kepada mereka yang datang ke almamaternya dengan penuh angkuh; jemawa; dan merasa diri sebagai seorang yang tak lagi membutuhkan petuah para gurunya. Menurut hemat saya, santri tak pernah ada kata alumni atau mantan.

Sebab menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), alumni adalah lulusan sebuah sekolah, perguruan tinggi, atau universitas. Bentuk tunggalnya adalah alumnus. Bisa juga dimaknai sebagai mantan anggota, karyawan, kontributor, atau tahanan, selain mantan siswa.

Sementara santri adalah sebutan bagi seseorang yang mengikuti pendidikan agama Islam di pesantren. Biasanya menetap di tempat tersebut hingga pendidikannya selesai. Menurut bahasa, istilah santri memiliki akar kata yang sama dengan kata sastra yang berarti kitab suci, agama, dan pengetahuan.

Pertanyaannya: lazimkah sebutan mantan santri atau alumni santri karena sudah tuntas menyelesaikan pendidikannya di pesantren? Menurut saya, tidak demikian. Kalau toh, ada yang merasa diri sebagai alumni dari pondok pesantren (sebut saja: Buntet), silakan saja. Namun sungguh, itu kurang tepat.

Sebab bagi saya, sebutan santri sama maknanya dengan kata sifat. Siapa yang berstatus sebagai santri, selamanya akan menjadi santri. Seorang yang berguru kepada kiai, yang juga tak lazim jika disebut sebagai alumni atau mantan kiai.

Mensifati santri, berarti selalu takzim dan takrim kepada kiai hingga keturunan-keturunannya yang mewarisi pondok pesantren untuk terus diasuh agar tetap eksis dan kokoh berdiri.

"Kalau kamu merasa bahwa Buntet tidak memberi manfaat atau keberkahan kepada dirimu, percayalah bahwa anak-cucumu nanti bakal menerima itu sebagai dampak dari rasa takzimmu kepada kiai di Buntet," kata H Abdullah Sidik, Guru Sosiologi MA NU Putra Buntet Pesantren Cirebon, saat saya sowani, pada Ahad (7/4) dinihari.

Sedangkan Putra Pendiri Pondok Pesantren Al-Hikmah K1 KH Busyrol Karim, yang akrab disapa Kang Ale, mengatakan bahwa sejauh apa pun santri melangkah, ketika ke Buntet, maka pertama kali yang harus didatangi adalah kiai (atau dzuriyat kiai) tempat menggali ilmu agama semasa di pondok.

Artinya, ketika kiai yang dulu mengajari kita tentang akhlak dan budi pekerti sudah tiada, maka salah satu penghormatan kita adalah dengan mendatangi dzuriyat-nya: sowan. Sekalipun dzuriyat-nya itu lebih muda usianya dari kita.

Peringatan dan perayaan haul di Buntet Pesantren Cirebon, bagi saya, sama maknanya dengan hari raya atau lebaran. Itulah yang dinyatakan juga oleh Ketua Umum Yayasan Lembaga Pendidikan Islam (YLPI) Buntet Pesantren Cirebon, KH Adib Rofiuddin Izza.

"Kalau di pesantren-pesantren yang lain, yang dihauli itu adalah kiai atau pendiri pesantrennya. Tapi di Buntet, berbeda. Semua warga, sesepuh, dan santrinya pun sama-sama dihauli. Semuanya bersukacita, berbahagia, dan bergembira," katanya, dalam sambutan, pada acara puncak haul, Sabtu (6/4) malam.

Haul Pondok Buntet Pesantren adalah momentum terindah bagi santri, untuk menyatakan atau menceritakan keberhasilan di luar sana. Menjadi sebuah kebanggaan bagi para guru dan kiai, jika kebermanfaatan santri di masyarakat, selalu membawa kebesaran Buntet Pesantren Cirebon.

Maka, saya ingin katakan, bahwa Buntet Pesantren Cirebon adalah tanah keramat. Keberkahan yang dikucurkan menembus dimensi waktu. Itulah karomah yang diberikan Pendiri Pondok Buntet Pesantren Cirebon, Mbah Muqoyyim. 

Ia sebelumnya berpuasa selama 12 tahun. Empat tahun pertama dipersembahkan untuk tanah Buntet dan sekitarnya, empat tahun kedua untuk anak-cucunya, dan empat tahun ketiga untuk para santrinya.

Adakah Mbah Muqoyyim berpuasa untuk alumni Buntet Pesantren Cirebon? 

Maka, menjadi santri berarti selamanya adalah santri. Bukan alumni atau mantan santri. Dengan begitu, insyaallah keberkahan dari Mbah Muqoyyim akan terus menjadi cahaya dalam setiap langkah yang terderap, hingga anak-cucu kita. 

Pesan saya, dan juga menjadi pesan dari guru yang saya sowani, adalah jangan jemawa, angkuh, dan sombong hanya karena merasa diri lebih berilmu dari generasi penerus kiai yang mengajari kita, ketika itu.

Sebab jabatan, kedudukan, tahta, dan harta yang dimiliki saat ini adalah semata-mata karena para kiai di Buntet Pesantren Cirebon meridhoi perjalanan hidup kita. 

Lantas, apa yang mau disombongkan?

Buat kalian yang masih merasa dan menamakan diri sebagai alumni, silakan simak video saya berikut ini:


Wallahua'lam...

Previous Post
Next Post