Senin, 11 April 2016

Buntet Pesantren dan Identitas diri


Benar dugaanku, bahwa teramat banyak kisah yang harus tertumpahkan. Pun tak sedikit yang mengabarkan bagaimana Buntet bersikap setelah dua tahun tak bertemu.

Aku dan kakak kandung seperjuangan, mendapat banyak kritik dan pujian karena berani berbeda dari sebagian besar santri jebolan Pesantren Mbah Muqoyyim itu.

Kami dipuji atas pemikiran yang dianggap 'keluar jalur' serta mampu menerapkan gaya keislaman yang tidak kaku dan saklek ala pesantren salaf.

Seiring dengan itu, kritik juga menjadi hal yang memberi penjelasan atas gagasan kami yang selama ini sudah hampir tak sejalan dengan petuah para Ulama.

Untuk penyeimbang, ternyata kritik dan pujian datang secara bersamaan. Kami maknai itu sebagai sebuah kekhawatiran dari guru-guru di Buntet agar tak terlalu bablas dalam berpikir.

Mereka membebaskan untuk membaca apa pun yang harus dan perlu dibaca. Sebab 'iqro bismirobbik' menganjurkan seluruh umat manusia untuk membaca, apa pun bahan bacaannya.

Di ayat itu, tidak ada penjelasan atau pun perintah dan larangan sekaligus membatasi kita untuk membaca literatur yang satu, dan menolak literatur yang lain. Semuanya boleh dibaca dan dipelajari, asal harus dibarengi dengan menyebut nama Tuhan.

Sudah barang tentu, ketika membaca dan sebelum atau sesudahnya kita menyebut nama Tuhan, maka ilmu yang didapat akan menjadi keberkahan dan kebermanfaatan bagi masyarakat umum.

Walau begitu, bukan berarti kami melupakan jasa Buntet Pesantren Cirebon. Justru kami jadikan almamater ketika Aliyah itu sebagai benteng dan kedaulatan atas beragamnya ilmu pengetahuan dan cara pandang di luar sana.

Begitu melangkahkan kaki di tanah gelimang berkah itu, kami tetap meyakini diri sebagai santri yang harus takdzhim terhadap para Ulama dan guru terdahulu. 

Mereka dengan ikhlas mendidik dan sekaligus menanamkan identitas kesantrian yang berwatak lembut dan penyayang. Maka, kami tidak dengan serta merta jemawa atas keilmuan yang didapat di luar sana.

Dan ketika menginjakkan kaki di tanah Buntet; kami segan memakai atribut selain sarung, koko, dan peci hitam.

Menjadi percuma ilmu yang didapat dari pesantren Mbah Muqoyyim itu kalau diri merasa besar dan jemawa.

Bagi kami, atribut santri yang seperti itu adalah bentuk takdzhim kepada para guru dan Ulama.

Dari tiga guru yang kami temui, masing-masing memberi komentar dan tanggapan yang berbeda, tapi intinya tetap sama.

Pertama, bahwa Buntet itu dikenal dengan kanuragannya. Ada banyak amalan dan tirakat yang harus dilakoni santri agar tidak 'termakan' oleh penipu ulung di lingkungan masing-masing dan bisa berhindar dari marabahaya, atau minimal memperkecil kadar musibah yang datang.

Kedua, bahwa memiliki identitas diri itu penting. Seberapa jauh seseorang 'pergi', ia pasti akan 'kembali' pada tempat pertamanya berlabuh. Atau seberapa jauh pemikiran kami dianggap melenceng, saat berada di tempat keilmuan dan penuh keberkahan itu adalah tetap sebagai seorang santri.

Ketiga, bahwa membebaskan diri dari kebodohan dan keterpurukan juga harus dilakukan. Kami justru dilarang membatasi diri. Salah seorang guru menganjurkan agar membuka diri kepada apa dan siapa pun. Karena itu, Tuhan akan memberikan hidayah dan petunjuk-Nya. Membuka diri juga harus membentengi dan sudah memiliki kedaulatan atas pemahaman kebenaran sendiri. Artinya, kami harus mampu memberi pengaruh kepada yang lain, jangan justru menjadi objek yang dipengaruhi dan membuat kedaulatan diri hancur tak berbentuk.

Buntetku, kiranya ada maaf atas kealpaan selama ini. Terimakasih untuk pembentukan identitas yang telah kau beri.

Aku pulang dulu. Semoga tahun depan ada peningkatan keilmuan yang kian membanggakan. Jangan khawatir, bahwa ketersesatanku pada hakikatnya merupakan titik balik atas rasa bangga untukmu.

Takdzhimku untuk seluruh guru dan Ulama yang merelakan diri memberikan pemahaman agar santri dan muridnya tak terbawa arus modernisasi yang serba instant dan cepat saji.

Tegal Ekspress, 11 April 2016.
Previous Post
Next Post