Jumat, 15 April 2016

Iqro Bismirobbik sebagai kunci kesuksesan


Buntet Pesantren Cirebon banyak memberi pembelajaran yang tidak orang lain tahu, terlebih mereka yang belum menginjakkan kaki dan merebahkan raganya di sana.

Seminggu sudah, raga ini berpisah dari tanah keilmuan, dari rahim kebermanfaatan, dari ruang keberkahan, dan dari mihrab keagungan Tuhan serta dari sajadah kemasyarakatan dan kemanusiaan.

Saat itu, setelah dua tahun dipisahkan oleh jarak dan waktu, aku dipertemukan lagi bersama dengan lampias kerinduan yang tertumpahkan dan kembali memeluk erat tubuh keilmuan.

Aku yang datang dengan pengalaman di luar, tercemooh karena berbeda sekaligus mendapat stimulus untuk meneruskan perbedaan itu, pesan guruku hanya satu; status santri tidak pernah membekas, jiwa santri harus terpatri dalam diri pada keabadian.

Salah satu yang barangkali tak pernah terlupa adalah petuah guruku menyoal kunci untuk mencapai kesuksesan dan menggapai keniscayaan di masa depan; yakni, Iqro Bismirobbik.

Ayat pertama yang turun dalam Al-Quran itu harus selalu diingat agar tak pernah berhenti belajar, sembari merasa bahwa diri masih jauh dari kebenaran yang hakiki dan kecerdasan yang mumpuni.

Guruku bilang, 'Iqro' di dalam ayat itu merupakan kata kerja yang tidak membutuhkan objek, karena tidak ada penjelasan mengenai hal apa yang harus dibaca. Maka, 'Iqro' bisa diartikan secara luas; bukan hanya sekadar bacaan tertulis, tetapi segalanya yang tak terdapat dalam buku bacaan.

Seorang santri harus mampu membaca perkembangan zaman, supaya agama tak menjadi kaku agar berdakwah pun bisa dengan mudah diterima oleh kondisi masyarakat yang dinamis; begitu pesan guruku.

Dalam komunikasi misalnya, seorang komunikator harus pintar-pintar membaca dan memahami keadaan komunikan yang tentu beragam sikap dan perilaku, tujuannya agar terjadi komunikasi yang efektif.

Pun orang tua dalam mendidik anak; mereka wajib tak buta, sehingga kondisi di dalam keluarga tidak melulu dirundung konflik antara anak dan bapak,  dengan ibunya, atau dengan kakak dan adiknya.

Kita diberi kebebasan untuk membaca, apa dan bagaimana bahan bacaan atau cara membacanya. Asalkan, tidak melupakan peran Tuhan dalam pembacaan itu; maka dianjurkan untuk menyebut nama Tuhan setelah membaca. Atau, selalu mengingat Tuhan saat berlangsungnya pembacaan; Bismirobbik.

Terakhir, kata guruku, bacalah alam semesta karena sesungguhnya ilmu Tuhan tidak hanya berada pada tulisan di dalam kitab suci dan buku bacaan saja.

Namun dengan begitu, kita juga tidak diperkenankan untuk tidak membaca buku, dan dibebaskan pula agar tidak memberi batas perihal bahan bacaan.

Ketika sudah dapat membaca alam semesta dengan baik, maka bisa dipastikan kita juga mampu memberi pengaruh kepada setiap manusia, serta menganugerahi kebermanfaatan kita pada seluruh makhluk; baik di bumi, maupun yang ada di langit.

Jadi, sudahkah kita membaca lalu menyebut serta mengingat Tuhan Yang Maha Pemberi Ilmu Pengetahuan?


Billahi Sabili-l-haq Fastabiqu-l-khoirot.
Previous Post
Next Post