Minggu, 07 Februari 2016

Satukah jiwa-jiwa kita?


Satukan Jiwa-jiwa kita
Bangunlah dalam senasib serasa
Singkirkan luka hadirkan tawa
Menggapai semua cita
***

Barangkali masih ada dalam buah pikir kita selama ini, tentu rindu yang tak mampu terbantahkan. Ada suara tawa yang lepas; kala itu, canda menjadi kewajiban dalam setiap pembicararaan, serta tangis ketakutan malam itu buatku menjadi sosok yang pura-pura berani. Padahal kita sama, tak sedikit pun berbeda. Adalah waktu yang saat itu sudah lebih dulu menghuni ruang kecil jiwaku, yang menjadikanku terpaksa harus lebih besar dari lingkaran kebersamaan kita, dan dari lingkaran-lingkaran yang ada dalam lingkaran kebersamaan itu sendiri. Padahal kita sama, tak sedikit pun ada pembeda. Bahkan, pasti akan selalu teringat bahwa ketika itu, ada ikrar untuk mengokohkan keberadaan dan keberadaban kita, agar tak menjadi sembarang keesokan hari; Catur Prasetya namanya.

Adakah kegelisahan di kedalaman kalbu, bahwa bait-bait yang kita senandungkan malam itu merupakan sebuah jahitan agar jiwa-jiwa yang terlahir dari surga yang berbeda ini, akan tetap selalu rekat? Bahwa kita memang bergerak dalam langkah yang pasti tak sama diiringi dengan bersumpah bahwa kita akan berusaha mengindahkan langkah demi sebuah cita dan asa yang sama? Pernahkah kita gelisah untuk bersama membangun jiwa ini dalam perasaan yang sama; nasib dan rasa? Lalu bagaimana dengan janji kita untuk tetap berputar dalam kemilang warna dunia? Masihkah itu menjadi sesuatu yang patut digelisahkan, atau sekadar serpihan-serpihan serupa debu yang terpakai untuk tayammum; berguna hanya di saat kita membutuhkan? Apakah pose terbaik kita saat itu, sekadar menjadi penghias ruang tamu rumah kita saja? Ingatkah, ketika malam itu tangisku tumpah? Aku gelisah karena takut kebersamaan kita diracuni oleh perasaan yang tak pernah sesuai dengan bait-bait yang serupa wirid dalam ibadah itu. Bahwa kegelisahanku adalah yang pada hari ini sudah menjadi jawaban yang tepat dan mewujud dalam kenyataan, padahal sama sekali tak pernah ada harap dariku agar kegelisahanku itu mengemuka di depan mata.

Sudah hampir setengah dasawarsa momentum kebersamaan itu kita lewati, kini hanya menjadi sejarah laksana prasasti; ada bukti otentik, tapi hadirnya tiada. Bagaimana dengan jiwa-jiwa kita yang tak menyatu, yang berserak ditelan iblis bernama ego? Kupikir, kalau lingkaran kebersamaan itu kita beri nama keluarga, maka sudah tak perlu lagi ada amarah untuk seorang pemberi petuah. Sekalipun murka dalam keiblisan ego pada diri turut hadir, sangat mudah kita singkirkan; dengan kembali membuat lingkaran kebersamaan dari keberadaan dan keberadaban kita kala itu, dengan berdasar dan bersandar pada rindu yang tertanam indah di setiap tidur malam.

Kerinduanku kini menjadi cemeti yang pedih, saat kutahu kenyataan pahit mencambukkan dirinya dengan kekejaman yang sama sekali tidak pernah terpikir sebelumnya. Angan yang semula gandrung di pikiranku menjadi kandas, saat kemilang warna dunia sudah kelabu, tergerus oleh kedurjanaan yang pekat. Sadar pada dasar terbentuknya diri ini adalah karena kebersamaan yang diciptakan dengan keindahan estetika, bahkan gerimis pun bersaksi atas petikan gitar dan nyanyian yang melantur dari semestinya; kehangatan bukan saja tercipta karena ada api yang menyala-nyala di hadapan kita, tapi karena keberadaan kita yang dinaungi oleh maslahat rekat yang jauh dari muslihat jahat.

Aku tunggu di ruang kantung kebudayaan, untuk bersama menumpahkan rindu dalam gerak dan derap yang terterap. Kapan kita menjadi jiwa-jiwa yang satu, yang semula terpisah karena kita berasal dari surga yang berbeda?

Sekali lagi, masih kutunggu.

Selasa, 02 Februari 2016

LGBT dan Pemberitaan Indra Bekti

Beragam pendapat mengemuka ketika isu LGBT merambah masuk ke negeri tenteram nan damai ini. Banjir pakar laksana air bah di bumi pertiwi. Bicara ini-itu tanpa data yang dapat dipertanggungjawabkan. Tapi tak mengapa, freedom of speech sudah menjadi kesepakatan bersama asal tidak mengerucut kepada hatespeech atau ujaran kebencian. Agamawan dan rohaniwan berlomba-lomba mengeluarkan argumentasi keagamaan yang terdapat di kitab suci untuk menolak segala aktivitas LGBT di Indonesia. Aktivis HAM meradang dan menuntut negara agar segera memberi kebebasan untuk LGBT, minimal kebebasan untuk berkonsultasi agar hidupnya menjadi lebih baik.
Di kehidupan sosial, LGBT, yang dianggap mengalami penyimpangan seksual, menjadi momok yang sangat menakutkan dan menjijikan sehingga harus dijauhkan dari keseharian. Hal itu bisa saja membuat hidup kaum LGBT semakin terpuruk. Bagaimana tidak, jangankan mendapatkan solusi terbaik, untuk sekadar bergaul saja sudah tak diberi ruang gerak yang cukup. Pada akhirnya, LGBT tetap tidak memiliki daya untuk berkilah atas kemampuan yang dimiliki di tengah kondisi yang sulit, sebab sudah kadung diberi label yang negatif dan sangat menjijikan.
LGBT memang terasa asing di tanah khatulistiwa, akan menjadi pertentangan yang sulit dan perdebatan yang sangat panjang ketika LGBT dilegalkan oleh negara. Saya pun menolak kalau LGBT diberi pelegalan atas perbuatannya, namun saya berjuang untuk memberi kebebasan bagi LGBT menjadi pribadi yang lebih baik, tidak dikucilkan atau pun dianggap menjijikan, tapi diberi akses untuk berkonsultasi kepada siapa pun yang "normal", agar orientasi seksual yang berbeda dari dominasi mayoritas di Indonesia bahkan dunia, menjadi tidak terasa asing atau sangat menjijikan, bahkan menjadi orientasi seksual yang selazimnya.
Untuk menghadapi situasi seperti ini, masyarakat Indonesia seharusnya mampu bersikap dewasa. Menerima keberadaan kaum LGBT dengan lapang dada di kehidupan sosial, dengan maksud agar mengubah orientasi seksual yang dianggap menyimpang itu, bukan dengan maksud membiarkannya. Karena menurut hemat saya, semakin sesuatu itu dikekang, akan semakin kuatlah gerak untuk memberontak. Jadi bukan tidak mungkin, semakin LGBT tidak diberi kebebasan, mereka akan lebih kuat lagi dalam memberontak agar eksistensinya diakui oleh sosial.
Di tengah hiruk-pikuk soal LGBT, ada pemberitaan yang tidak kalah mengejutkan. Indra Bekti, seorang artis yang namanya sudah melambung tinggi, entah terjebak atau dijebak ke dalam persoalan LGBT, seakan membangun opini beragam di masyarakat. Pertama, opini yang terbangun dari pemberitaan tersebut adalah bahwa LGBT sudah di depan mata, dan harus segera diberangus karena tidak sesuai dengan norma susila atau pun norma sosial. Kedua, sebagai tuntutan kepada negara agar orientasi seksual yang dianggap menyimpang itu segera dilegalkan, sebab LGBT sudah di depan mata, dan lagipula banyak artis yang sudah masuk ke dalam kategori LGBT. Karena kalau tidak segera dilegalkan, "kaum penyimpang" itu akan selalu dianggap salah, dan anggapan-anggapan itu membuat mindset bahwa LGBT memang tidak bisa disembuhkan.
Walau begitu, saya tetap pada prinsip awal bahwa seburuk apa pun kaum LGBT, mereka tetap punya hak untuk berbuat kebaikan. Karena tidak mungkin selama hidupnya, seorang manusia selalu berada dalam keburukan, dan begitu juga sebaliknya. Orang-orang yang merasa lebih normal dari kaum LGBT juga punya hak atas kebaikan, mengubah sikap dan perilaku menjadi lebih baik atau memberi kesempatan kaum LGBT untuk bergaul dan bersosialiasi, bahkan berkonsultasi.
Saya tetap akan mengapresiasi perilaku LGBT yang baik di mata sosial, dan memberikan kesempatan untuk bergaul serta mencurahkan segala keluh kesahnya selama ini. Saya juga tetap meradang ketika kaum yang merasa lebih normal dari LGBT berbuat buruk di mata sosial. Asal tidak saling menganggu kenyamanan dan ketenteraman hidup yang lain, siapa pun berhak mendapatkan kemerdekaan dirinya di atas bumi.

Agenda Tahunan Orang Indonesia

Sudah menjadi rahasia umum, barangkali, bahwa umat manusia di Indonesia memiliki agenda tahunan untuk membicarakan sesuatu yang itu-itu saja. Umat manusia di Indonesia memang unik, apa pun bisa menjadi bahan obrolan yang kadang mengasyikkan, kadang menjengkelkan. Ada yang argumentatif, ada juga yang kalau bicara selalu "katanya-katanya", dan akhirnya terjadilah logical fallacy atau pikirannya menjadi buntu alias sesat.
Agenda rutin di akhir tahun lalu ada Hari Raya Natal Kanjeng Nabi Yesus yang berdekatan dengan Maulid Kanjeng Nabi Muhammad, dan Tahun Baru Masehi. Semua ramai mempermasalahkan ketiga hari besar itu. Ada yang merayakan dengan gembira, ada juga yang tidak merayakan dengan alasan tertentu sembari mencibir orang-orang yang merayakan. Tapi toh, merayakan atau tidak merayakan, dirayakan atau tidak dirayakan, kita pasti melewati hari besar itu dan sebagai manusia yang menjadi khalifah di bumi, kita tetap dituntut untuk senantiasa berbuat baik. Kasian, yang ngotot-ngototan berusaha melarang dan mencibir, barangkali pahalanya luntur atau dosanya tak terkikis, sia-sia.
Jadi, aku tidak terlalu mempermasalahkan hal itu. Bagiku, Tuhan tak pernah melarang selama perbuatan yang dilakukan adalah hal baik dan bermanfaat bagi segenap umat manusia, khususnya di Indonesia. Menjadi sesuatu yang sangat disesalkan ketika perdebatan itu justru menambah tebal kandungan racun kebodohan di otak kita, dan berdampak pada peradaban bangsa Indonesia yang justru mundur. Bahkan, bukan tidak mungkin, bangsa lain bisa tertawa melihat kelakuan bangsa kita yang selalu punya agenda tahunan hanya untuk berdebat yang itu-itu saja. Lucu deh negeri ini.
Di awal-awal tahun ini, seperti biasa, kita dipertemukan dengan tiga hal; Hujan, Imlek, dan Valentine. Hujan dengan Imlek memang menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan, hujan yang kian hari semakin deras justru membawa keberuntungan, bagi warga penganut ajaran Kanjeng Nabi Konfusius khususnya. Karena Nabi Konfusius tidak termaktub dalam kitab suci secara harfiyah, maka ajaran Konghucu dianggap mengada-ada dan mengucapkan selamat kepada hal yang kebenarannya diragukan, katanya sih haram. Mengucapkan selamat haram, menerima angpao sih tetep halal, menikmati libur Imlek ya Puji Tuhan.
Sedangkan Valentine yang diyakini sebagai hari kasih sayang bermuara pada cerita cinta yang oleh sebagian besar umat manusia dilabeli dengan cap perzinaan, jadi haramlah kalau dirayakan. Jangankan merayakan saudara, mengucapkan selamat saja sudah haram, merayakan dengan hal-hal positif pun diyakini sebagai tindakan yang haram.
Pengharaman itu menggunakan dalil dan argumentasi keagamaan. Menjadi asik ketika yang menyampaikan dalil itu argumentatif dalam penyampaiannya, menjadi geli ketika dalil itu justru untuk menyerang umat manusia yang dengan bahagia merayakan dengan hal-hal yang positif, dengan kata lain jauh dari perbuatan zina. Sama halnya ketika Imlek, dalil keagamaan menjadi alat untuk menyerang orang-orang yang ikut membantu dalam perayaan.
Padahal Imlek itu sama sekali bukan perayaan keagamaan, melainkan perayaan adat atau kebudayaan. Apa pun agamanya, asal ada keturunan Tiongkok dan percaya dengan ajaran Kanjeng Nabi Konfusius boleh merayakan. Karena Imlek itu serupa acara atau adat kebudayaan untuk mengusir jin, setan, atau hal-hal yang buruk. Silakan cari referensinya sendiri-sendiri ya.
Begitu pun Valentine, sama sekali bukan upacara keagamaan. Itu produk budaya. Kebetulan saja yang menjadi pelaku muasalnya adalah orang yang beragama, kemudian karena menurut sebagian besar orang, cintanya Si Valentino itu luar biasa dahsyat,  akhirnya hari dan tanggal kematiannya diperingati sebagai Hari Valentine atau Hari Kasih Sayang.
Jadi, ada yang beranggapan, termasuk diriku, kalau kita merayakan Hari Valentine dengan hal-hal yang positif dan jauh dari segala sesuatu yang mendekati zina, silakan. Tapi dengan catatan, merayakannya tidak dimaksudkan untuk melanggengkan perzinaan itu, melainkan diniatkan untuk mengubah keburukan (perzinaan) menjadi kebaikan. Namun, ada juga sebagian lagi yang beranggapan, haram untuk segala sesuatu yang berbau Valentine, baik mengucapkan selamat apalagi merayakannya.
Mengucapkan Selamat Hari Raya Imlek juga tidak menjadi masalah, karena dengan mengucapkan kata "selamat", kita berdoa atas nama kemanusiaan, semoga dalam perayaannya teman-teman Tionghoa diberi kelancaran tanpa suatu kendala apa pun. Kata "selamat" itu pun semoga membawa rezeki, mendapat angpao beserta isinya senilai lima puluh ribu, misalnya. Lumayan untuk membeli paket data. Hihihihhi.
Kira-kira itu, agenda tahunan orang Indonesia yang selalu menjadi perdebatan yang tidak jelas juntrungannya.

Senin, 01 Februari 2016

Begini caraku berpikir

Ada beberapa hal yang membuatku tergelitik, ini tentang dinamika kehidupan manusia. Silih berganti saling mengganti, apa pun itu. Menjadi benci karena dicaci, bertambah cinta karena puja-puji yang membabi-buta, atau menjadi buta karena menanti puja-puji. Sungguh, aku tak bermaksud menilai manusia, bukan juga maksudku bersesat pikir dalam sudut pandangku. Aku justru ingin mengajak pembaca berpikir kritis, bahwa segala penilaian yang didapat dari orang lain bukan hal yang bersifat abadi, itu hanya sementara, manusia selalu menjadi makhluk yang bimbang karena pola pikir dan sudut pandangnya.
Manusia -sebut saja kita- seringkali menilai manusia lain hanya berdasar satu sisi, padahal Gusti Pangeran Ingkang Mboten Sare itu memberi banyak kelebihan di dalam diri manusia, dan tak terkecuali pula, ada kekurangannya. Misteri soal pemberian-Nya untuk manusia itu, menurutku, karena Dia menginginkan manusia mempergunakan akal dan pikirannya, bahwa di dunia ini manusia tidak sama sekali selalu keliru, juga tidak sama sekali selalu tepat. Bahwa sekeliru apa pun manusia dalam kehidupannya, pasti teriringi oleh ketepatan, yang sadar atau tidak keduanya selalu ngintili dalam keseharian.
Seingatku, aku tidak pernah menilai seseorang dan sebuah kelompok sangat buruk dan tidak mungkin bisa menjadi baik, sekalipun mayoritas di sekelilingku menilai keduanya dengan penilaian yang sangat tidak baik dan tidak mungkin bisa menjadi baik. Aku juga tak pernah menilai sebuah kelompok atau seseorang sangat baik dan tidak mungkin bisa menjadi buruk, sekalipun mayoritas di sekelilingku menilai keduanya dengan penilaian yang sangat tidak buruk dan tidak mungkin bisa menjadi buruk.
Masih soal penilaianku, bahwa aku tak pernah menyatakan keburukan dengan seburuk-buruknya tanpa sebelumnya mendapati hal yang pasti dari yang menjadi objek penilaianku. Aku juga tak pernah menyatakan kebaikan dengan sebaik-baiknya tanpa sebelumnya mendapati hal yang pasti dari yang bersangkutan. Karena aku masih meyakini bahwa tiada yang tepat sama sekali dan tak pernah ada yang selalu keliru dalam hidupnya.
Bagiku, setiap hal yang berkesesuaian dengan hati dan pikiranku merupakan hal yang tepat, meskipun ketepatan itu kudapati dari seorang atau kelompok yang selama ini menurut penilaianku dan konco-koncoku adalah seorang atau kelompok yang banyak kelirunya. Aku tak pernah memiliki rasa gengsi untuk mengapresiasi ketepatan itu. Pun sebaliknya. Ketika hati dan pikiranku menemui suatu hal yang menurutku keliru, meskipun kekeliruan itu kudapati dari seorang atau kelompok yang selama ini menurut penilaianku dan kroni-kroniku adalah seorang atau kelompok yang banyak tepatnya. Aku tak segan-segan menegur dan memberinya tamparan, agar sadar bahwa ia sedang dalam kekeliruan.
Eling lan Waspodo adalah nasihat yang paling sering memekakkan telingaku. Kedua orang tuaku selalu mengingatkan kedua nasihat itu hampir acapkali langkah kakiku bergegas melakukan aktivitas. Bahwa kita harus selalu Eling atau mengingat Gusti Pangeran dalam setiap detak nafas dan derap langkah, bahwa Dia yang menciptakan segala sesuatu di dunia ini beserta segala dinamika yang dengan sistematika Mahadahsyat-Nya. Waspodo atau hati-hati juga harus ada dalam diri, sebab gerak manusia tak dapat diterka; yang baik bisa tiba-tiba menjadi buruk, yang buruk bisa seketika berubah baik. Menurut kedua orang tuaku, gunakan akal dan pikiran untuk menilai dan melihat manusia lain serta gunakan hati dan rasa serta segala penghayatan dalam menghamba pada Gusti Pangeran Ingkang Murbeng Dumadi.
Belakangan ini, aku sering mendengar pemberitaan klasik yang barangkali sampai kehidupan baru dimulai (katakanlah kiamat, karena kiamat sejatinya justru awal kebaikan dan kehidupan yang baru, bukan akhir dari segalanya dan kehidupan telah berakhir) masih akan terus terjadi. Dari tulisan ini, aku ingin mengusik akal dan pikiran pembaca agar tak melulu racun kepicikan terus berkembang dalam otak dan menyebabkan akal dan pikiran menjadi sakit.
Sebenarnya ada beberapa hal yang ingin kubahas, namun dalam kesempatan kali ini, satu hal yang menjadi pertanyaanku, apa yang terlintas dalam benak anda ketika LGBT kusebut? Jijik, menolak, takut, mencoba untuk memberi solusi, menjauhi, atau yang lainnya? Terserah anda.
Pendapatku soal LGBT begini: Pertama, aku sama sekali tidak takut akan terpengaruh atau bahkan menjadi serupa ketika temanku sendiri ternyata homoseksual (Lesbian atau Gay) atau Biseks dan bahkan yang mengubah jenis dan bentuk kelaminnya. Kedua, aku tetap memandang bahwa LGBT bukan sebuah ketersesatan atau penyimpangan, bahkan sebuah kenistaan, sebab mereka hanya memiliki orientasi seks yang berbeda. Ketiga, aku tidak pernah tahu bagaimana hati mereka sebenarnya, mungkin saja mereka menolak dengan keadaan seperti itu, namun hanya bisa membatin karena mereka tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya kepada orang lain yang "normal" untuk mencari solusi, dan pada akhirnya mereka membuat komunitas sendiri. Keempat, kalau pun hal tersebut adalah sebuah ketersesatan, penyimpangan, bahkan kenistaan, bagiku mereka merupakan ladang dakwahku. Tak perlu dijauhi, dimusuhi, dibenci, bahkan diberangus karena ketersesatannya. Lha wong tersesat kok gak diberi tahu jalannya. Dan kelima, ketika mereka malu karena orientasi seksual yang berbeda dengan sebagaimana pada umumnya, barangkali mereka tidak sama sekali berpacaran, tapi justru mereka lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dan menghamba dengan rasa seutuhnya serta dibarengi dengan pengabdiannya pada kemanusiaan. Bukankah itu baik? Urusan diterima atau tidaknya amal kebaikan yang dikerjakan, dan segala penghambaan dengan Sang Pemilik Semesta, sama sekali bukan urusan kita sebagai manusia. Biar mereka sendiri yang mempertanggungjawabkannya di kehidupan yang baru nanti. Begitu pun ketika LGBT melakukan hal yang tidak baik dan abai terhadap Penciptanya, itu juga bukan urusan kita untuk menghakimi, peringatkan saja tapi jangan berlebihan, sisanya biar Tuhan yang menjadi hakim.
Bukankah Dia adalah hakim yang seadil-adilnya? Bukankah Dia tidak membeda-bedakan hamba-Nya kecuali hanya berdasar pada tingkat dan kadar ketaqwaan? Bukankah Dia memerintahkan kita untuk menjadi seorang yang selalu mengingatkan dalam ketepatan, bukan menjadi seorang diktator atau penguasa?
Namun dengan begitu, penilaianku terhadap LGBT tidak langsung tepat atau tidak pernah keliru. Perilaku LGBT yang menurutku keliru tetap membuatku meradang dan segera memberi peringatan, aku juga akan selalu mengapresiasi perilaku LGBT yang menurutku tepat. Seperti pernyataan sikapku terhadap LGBT yang sudah dijelaskan di atas, itu merupakan pandanganku terhadap LGBT yang selama ini dipandang dan dilihat buruk dan sama sekali tidak pernah ada baiknya. Sementara aku, tetap berpegang teguh bahwa di dunia ini tidak ada manusia yang bisa seumur hidupnya selalu tepat atau tidak pernah keliru, dan sebaliknya.
Keterkaitan LGBT saat ini dengan kisah kaumnya Nabi Luth tentu tidak bisa menjadi alasan anda menjadi seorang pembenci dan menjauhi LGBT. Kaum Shodom pada jaman Nabi Luth dikenai hukuman langsung dari Tuhan karena zaman sebelum Kanjeng Nabi Muhammad memang seperti itu adanya. Mari kita buka literatur tentang Kanjeng Nabi Muhammad yang sangat sayang kepada ummatnya sehingga beliau meminta keringanan hukuman dari Tuhan ketika ummatnya berbuat kekeliruan.
Untuk lebih lanjut membicarakan soal penilaian terhadap sesuatu dengan menggunakan akal dan pikiran yang sehat serta hati yang lapang, atau membicarakan hal mengenai LGBT, silakan agendakan waktu untuk kopdar.
Sekian.

Kamis, 28 Januari 2016

Surat terbuka untukmu

Kepada Yth.
Ny. Aru Elgete yang terkasih
di
Kedalaman cinta
Semoga senantiasa kau diberi sehat oleh Gusti Pangeran, sehat jiwa dan pikirmu, sehingga dapat menjalani lakon kawula dengan baik rupa. Semoga semesta memberi kebaikan dalam sukma kita.
Sebelum inti dari segala olah pikirku dalam keseharian tentangmu tertumpah dalam surat terbuka ini, ada sedikit hal yang ingin tertuah; Bagaimana kalau dua anak manusia berpisah hanya karena rapuh digerogoti oleh ego? Padahal cinta datang tanpa diminta, tak berbayang oleh apa-apa, kata-kata yang mengiringi datangnya cinta sekalipun, akan tak bermakna ketika ego telah merasuk ke setiap penjuru tubuhmu.
Aku mencintamu dengan tanpa tedeng aling-aling, meski beragam tuduhan silih berganti tidak pernah berhenti meracuni. Selama ini tak sadarkah kau bahwa keberadaan kita dalam kesengsaraan justru menjadi benteng terkuat yang seharusnya ada. Kita belajar bersama tentang segala hal; kadang kau yang kuberi pemahaman dan tak jarang pula diriku yang kau beri pemahaman lewat laku dan gayamu bicara.
Saranku, tak perlu kau racuni dirimu dengan ego yang sama halnya dengan tuduhan-tuduhan itu. Dia, mereka, atau siapa pun yang menjadi pengalangmu untuk maju, hadapi saja dan jangan sampai terdengar suara rengekanmu oleh mereka-mereka itu yang sedang memberi asupan racun mematikan.
Butakan matamu dari pandangan-pandangan yang membuatmu hancur. Buat telingamu tuli dari deru hasutan setan. Kau juga perlu menjaga ucapan dari segala sesuatu yang kurang enak didengar. Atau, karena saat ini merupakan era digital, jaga jari-jarimu dari menyakiti orang lain, meskipun ada rasa bahwa justru orang lain itu yang menyakitimu. Bahkan yang terpenting dari itu adalah kuasai hatimu dengan alunan perasaan yang lembut, juga beri pelajaran untuk hatimu agar tak sembarang mengumpat dengan kutukan yang tak lazim.
Untuk hal-hal yang membuatmu sebal, kesal, dan jengkel yang kian menebal, tutup segala akses dari segala sesuatu yang menyebalkan itu sebagaimana acara-acara pengajian di kota-kota yang sering menutup akses pengguna jalan dan membuat para pengguna jalan itu kelimpungan mencari jalan lain untuk kembali pulang.
Nyonya Aru Elgete yang terkasih dan semoga diberi kasih oleh Gusti Pangeran, perbanyaklah membaca dengan cinta, membaca cinta, atau biarkan cintamu yang akan membaca setiap derap langkah hidup yang sedang kau jalani. Hapus dan tutup segala akses yang membuatmu merasa terganggu. Biar kau dibilang sombong, asal tak menjadi songong atau seperti engkong-engkong yang giginya sudah ompong, mendengar tak terdengar, bicara tak tertata.
Mari belajar menjadi sejati, belajar menjadi berarti, belajar menjadi seorang yang tak pernah punya benci, belajar menjadi perempuan yang senantiasa menebar kebaikan dengan cinta, sebab kedengkian dan segala kebencian akan musnah ketika kau tetap menebar cinta di mana pun bumi kau pijak.
Maaf dengan segala khilafku, dengan segala kealpaanku, dengan seluruh ketiadaanku, dengan segala hal yang sama sekali bukan karena salahku atau salahmu, maafkan mereka, maafkan segala kebencian, maafkan segala hal yang membuat jiwamu termakan ego dan hatimu menjadi tempat berkumpul racun saling tuduh. Karena cinta akan semakin tumbuh subur, ketika semakin dilumpuhkan. Hati-hati, sebab cinta terkadang tak menjadi yang sesungguhnya, tetapi menjelma dan mewujud seperti racun yang akan menghancurkanmu; itulah yang kusebut dengan ego.
Kasih yang terkasih dan semoga diberi kasih oleh Gusti Pangeran, ketahuilah bahwa kecintaanmu pada cinta, akan melumpuhkan segala kebencianmu pada segala yang kau benci. Mari, perkuat yakinmu bahwa masih ada cinta tersisa, dan kalau masih ada dengki dalam jiwamu, kembali kepada cinta, di sana adalah tempatmu menemukan kedamaian jiwa.
Demikianlah surat terbuka ini kubuat atas dasar cinta. Semoga kita kembali kepada cinta dengan keadaan penuh cinta. Atas perhatianmu, kuucapkan terimakasih.
Bahwa sesungguhnya cinta ini kepunyaan cinta dan akan kembali kepada pemiliknya; cinta.

Selasa, 05 Januari 2016

Hanya nasihat, Dik.

Hanya nasihat, Dik.
Dik, kuberi tahu kini
bahwa yang harus kau cari
adalah kerelaan diri
untuk memberi
lalu pasti kau ter-beri
Ada yang terbaca darimu
namun kini belum mengemuka
sila kau ramu dengan segala menu
agar rasa tak timbul terka
Dik, sudahi rasa itu
rasa itu
rasa itu
rasa itu
sebab bila tak seperti itu
kendala kunjung menamu
kau tak perlu ragu
Dik,
banyak hal kau mampu
hardikmu bukan memantik
Kalau masih juga kau ragu
temui Tuhan dalam termangu
atau,
anggap ragumu angin lalu
Dik,
satu inginku
agar kemanusiaan tetap terpatri
pada jiwa-jiwa harimu
kepada siapa pun yang mengganggu
Itu!
Bekasi, 5 Januari 2016

Surat Terbuka Denny Siregar untuk FPI

Surat Terbuka Denny Siregar untuk FPI
Kepada Yth.
Habib Rizieq yang saya cintai dan para FPI Fans Club
Sungguh saya tidak habis pikir apa yang anda dan FPI mau perlihatkan ? Kalian membawa2 nama Islam tapi kelakuan kalian sama sekali tidak menjadi rahmat bagi sekitarnya.
Apakah kalian ingin mencontoh Hezbullah di Lebanon atau Hamas di Palestina ? Kalau memang iya, mari saya tunjukkan faktanya.
Hezbullah di Lebanon begitu dicintai warganya. Dan catat, warga Lebanon itu separuhnya Kristen, bahkan Presidennya dari Kristen Maronit. Tapi mereka cinta kepada Hezbullah yang notabene adalah muslim, sama seperti organisasi kalian, bib.
Mengapa begitu ?
Karena mereka membela negaranya, bukan agamanya.
Mereka membela Lebanon dari serangan Israel dan juga ISIS. Bahkan karena melihat begitu tulusnya Hezbullah, banyak warga Kristen yang bergabung bersama mereka. Bayangkan, Kristen bergabung di panji Muslim. Pernah anda bayangkan, wahai Habib ?
Sudah sejak lama warga Lebanon cinta mati terhadap Hezbullah. Lebanon hancur karena perang saudara dan perang agama selama 15 tahun, mereka sudah kehilangan segalanya. Maka datanglah Hezbullah dan membangun rumah2 mereka yg hancur, infrastrukttur yang rusak tanpa pernah bertanya siapa yang salah. Kedamaian tercipta karena tangan yg kuat tidak dipergunakan untuk zolim, tapi melindungi.
Hezbullah sangat kuat, bahkan Israel takut sama mereka. Coba pikir, dengan kekuatan mereka apakah mereka mampu untuk merebut pucuk pemerintahan Lebanon ? Sangat mampu !
Tapi, kenapa mereka tidak mau lakukan itu ? Mereka tidak bernafsu !
Mereka tidak haus kekuasaan. Mereka tidak butuh penghormatan, karena apa yang mereka lakukan 100 persen karena Tuhan. Semua karena Tuhan. Catat itu, bib.
Apakah ketika Presiden Lebanon dipimpin oleh Kristen Maronit, mereka langsung membuat Presiden tandingan ?
Mereka bukan kalian, yang merasa risih dipimpin oleh orang kafir karena dilarang agama. Karena sebenarnya Lebanon tidak memimpin Hezbullah, merekalah yang memimpin Lebanon. Apa jadinya Lebanon tanpa Hizbullah ? Rata dengan tanah disapu Israel, bib.
Kenapa FPI tidak bisa begitu, menjadi kebanggaan warganya ? Kenapa kalian tidak bisa seperti itu, bib ?
Kalian malah menjadi momok bagi kaum kecil dan bahan ejekan bagi kaum berpendidikan. Kemana rasa malu kalian, bib ? Apakah sudah dihilangkan Tuhan karena kalian selalu ber-takbir atas namaNya tapi perilaku kalian malah memburukkan namaNya ?
Kalau anda mau, ini kalau anda mau bib, berangkatlah ke Lebanon dan bertemulah dengan Sayyid Hassan Nasrallah. Duduklah bersama Sayyid dengan Sayyid, kalian berdua keturunan Rasulullah, bukan ? Apa anda malu karena di hadapan beliau ternyata kalian masih duduk taman kanak-kanak bib ?
Tidak usah ngomong strategi perang, bahkan dari segi ahlak kalian jauh di bawah beliau. Begitu di hormatinya Sayyid Hassan Nasrallah, sehingga satu kata saja dari beliau untuk berangkat perang, separuh warga Lebanon hilang. Tukang parkir, supir taksi, pemilik restoran semua jadi satu di medan perang.
Saya sudahi saja cerita tentang Hezbullah, sangat panjang jika saya harus bercerita tentang Hamas.
Minumlah kopi, bib.. Mungkin itu bisa menyegarkan pikiran. Jangan sering marah2 bib, hati2 stroke. Pimpinlah FPI ke arah yang benar, bib karena ratusan dari mereka adalah tanggung jawab anda sebagai pimpinan nanti di depan Tuhan.
Kami ingin bangga kepada anda dan organisasi anda, bangunlah kebanggaan itu. Siapa tahu suatu saat nama FPI ditakuti negara2 tetangga, sehingga mereka berfikir seribu kali untuk masuk ke Indonesia.
Jihad itu untuk menahan serangan dari luar, bib bukan memerangi saudara serumah.
Sekian dan terima-kasih dari saya.
Nb :
Ohya, bib.. Simpan saja panah2 itu yg katanya mau dibawa ke Palestina. Disana perang pake rudal laser dan drone tanpa awak bib. Saya beritahu ini, mungkin habib belum paham kalau disana musuhnya Israel dan bukan Yoda Akbar.
sumber: akun Fb Denny siregar

Jumat, 01 Januari 2016

Tahun Baru 2016

Tahun Baru 2016
Bergulir
alir
sampai hilir
memungkir
tak mungkin singkir
tetap mampir
Mau ke mana?
ke sini kau merana
ke sana kau durjana
di sini kau hina
di sana kau kelana
Hancur
lebur
belum gugur
kalau terulur
mulur
membujur
angan sekujur
Bekasi, hari pertama 2016

Minggu, 16 Agustus 2015

Aku pasrah berserah sudah

Aku pasrah berserah sudah
Mari bercerita pada keheningan
bersua di tengah sepi
atau bergumam di keramaian
adakah kau berpikir percuma?
atau kau berkata semua tak bisa?
Ada ribuan cerita yang mesti diungkapkan
tentang surga di bumi
namun seolah hening
seperti tak terdengar
aku pasrah
berserah sudah
Mari berjumpa di tengah sepi
sembari nikmati secangkir kopi
namun kecewa menghampiri
sebab kini tak lagi aku temui
menanti sepi tak kunjung menepi
aku pasrah
berserah sudah
Sudah ramai di mana-mana
hingga permai sudah hilang aduhai
gumamku tak terhirau
tentang bangsa yang kian kemilau
namun kau menanggapi
bangsa yang kemilau
justru buat hati menggalau
aku pasrah
berserah sudah
Lalu,
aku pasrah
berserah sudah
sampai nanti entah
aku tetap pasrah
berserah sudah
Kaliabang Nangka, 16 Agustus 2015
Aru Elgete

Tersembunyi dalam sunyi?

Tersembunyi dalam sunyi?
Kawan, pernahkah kau rasa kini mulai berbeda?
Kita tak lagi mengigau karena mimpi yang sama.
Seperti ada yang tersembunyi dalam sunyi.
Haruskah tertawa dengan kepalsuan?
Atau bercerita tentang kebohongan?
Aku mungkin salah, mungkin pula kau rasa tak salah.
Kawan, seperti ada yang tersembunyi dalam sunyi.
Aku menerka segala suka.
Tetap aku bertanya.
Seperti ada yang tersembunyi dalam sunyi?
Tak terdengar riuh, tak terlihat kasat.
Kita bersama sudah menahun, bukan?
Adakah kepalsuan yang tiada?
Atau kebohongan yang mengada-ada?
Seperti ada yang tersembunyi dalam sunyi.
Bukan ilusi juga tak mimpi.
Aku tak mendengar riuh, juga tak melihat kasat.
Seperti ada yang tersembunyi dalam sunyi.
Atau sunyi yang menyembunyikan bunyi?
Atau sembunyi-sembunyi sunyi menari?
Hingga tak terdengar riuh, juga tak terlihat kasat.




Kaliabang Nangka, 16 Agustus 2015
Aru Elgete

Kamis, 13 Agustus 2015

Merdeka di Kalimalang

Kasih, sudah berapa malam kita tak saksikan keramaian dari kegelapan dan dari sudut yang hampir sunyi; Kalimalang?
Dari sana, dari Kalimalang, kita melihat orang-orang saling berebut untuk memerdekakan diri, saling memberi peringatan agar mengalah dan saling mengumbar amarah.
Bahkan, tak jarang, kita saksikan mereka tertimpa kendaraannya sendiri, karena sudah tak sabar untuk merdeka dari kepenatan.
Mereka terjatuh di atas bebatuan, di pinggir jalan, lalu segera bangkit dan lekas menjemput kemerdekaan. Penuh perjuangan.
Dari sudut yang hampir sunyi, banyak pula yang gaduh. Sekadar mengusik dengan membisik, atau tertawa melihat penderitaan manusia yang sedang berusaha memerdekakan diri.
Dari sudut yang hampir sunyi, kita melihat sudut kesunyian yang lain. Mereka berdiskusi tentang cinta; dari manusia, alam, hingga tentang cinta kepada Tuhan.
Di sudut kesunyian, di Kalimalang, setiap manusia memiliki tujuan kemerdekaan yang beragam. Merdeka dari kepenatan, atau merdeka dari keterasingan akal pikiran.
Silakan berjumpa, bersuka, berduka, bercerita, bernostalgia ria, dan berjuang untuk merdeka di sana. Tapi bukan tak mungkin, akan tersuguh sebuah penderitaan.
Aku rindu dengan keromantisan purnama di kalimalang, juga kecantikan angin yang menggulung air, aku juga merindumu serta malam pada kemesraan kalimalang.
Semoga lusa, kita kembali memerdekakan malam dengan tenang, memerdekakan tidur dengan keindahan angan yang melayang-layang. Kasih, kita segera merdeka.
Kaliabang Nangka, 13 Agustus 2014
Aru Elgete

Bagaimana malam...

Bagaimana malam...
Bagi sebagian orang, malam merupakan tempat di mana cahaya saling berdatangan.
Mengisi lamunan, meratapi tangisan, atau menginspirasi pikiran.
Bagi sebagian orang yang lainnya, malam adalah pancaran kebahagiaan.
Bercengkrama dengan pacar, bercerita dengan teman sekamar, atau sekadar bersandar sambil bergitar.
Bagi Ibu Rumah Tangga, malam ialah tempat beristirahat, setelah seharian bertemankan keringat, berkecamuk dengan pekerjaan yang berat, agar tak Tuhan beri laknat.
Bagi para agamawan, malam dijadikan sebagai tempat bersandar, tempat bersujud pada Dia Yang Mahabenar, tempat berlindung dari keduniaan yang hingar-bingar.
Bagi para penghuni senayan, malam menjadi sebuah misteri.
Entah untuk bernegosiasi, mengatur strategi, atau mencari istri lagi. Seakan mereka lupa pada negeri yang selalu memberi.
Bagi para sastrawan, malam serupa untaian kata.
Bersenandung dalam cinta, mengungkap rasa dengan gelora, tanpa sesiapa yg menerka. Dalam kata.
Malam adalah kehidupan. Silakan hidupi dengan cinta, dengan nista, dengan cahaya pelita, dengan segala keniscayaan yang ada. Malam juga penuh duga tak terduga.
Malam tak pernah bersalah. Malam tak pernah keluarkan amarah. Malam tak pernah lahirkan apa-apa. Bahkan, malam akan pergi dengan kesia-siaan. Jangan salahkan malam, bila pagimu tak indah. Jangan memaki malam, bila siangmu tak bercurah anugrah. Maknai malam dengan naluri.
Kaliabang Nangka, 13 Agustus 2015
Aru Elgete

Jumat, 12 Juni 2015

Aku ingin pulang

Aku ingin pulang
Kasih,
jika tiba waktuku nanti
bersemayam dalam pelukmu
nikmati keindahan tiada jemu
aku bersumpah
untukmu segala kesah
kepadamu seluruh keluh
teruntukmu semua resah
Kasih,
aku rindu saat ini
ingin rasanya mencumbu
dengan hasrat penuh syahdu
di pelupuk malam aku mengadu
hanya itu
tiada lagi aku mampu
selain memanggil namamu
oleh cinta yang tak mampu ku madu
Kasih,
cintamu yang tak berbilang
membuat hati melayang-layang
melindungi dengan kasih sayang
adalah nalurimu agar aku tak malang
aku ingin pulang
ke rumahmu yang berlatar lapang
aku ingin riang
bersama keabadian dalam senang
Bekasi, 12 Juni 2015
Aru Elgete

Senin, 08 Juni 2015

Inilah Keakuanku




Namaku Indonesia
aku negeri yang kaya
di dalam tubuhku
segalanya pasti kau temu

Aku Nusantara
indahku terbentang melintang
tiada tanding tiada tara
decak kagum bersuara
sebab semuanya bersaudara

Akulah Zamrud Khatulistiwa
hijau permai terlihat damai
ribuan sawah melimpah ruah
membuat enggan kaki melangkah
bagi siapa saja yang mampir sudah

Namun apa daya
kini tubuhku kotor
ternoda oleh ulah koruptor
pernah pula aku dihajar diktator

Mereka bersenang-senang di tubuhku
bermain politik penuh intrik
hancur sudah seluruh tubuh
seakan tak peduli
bila lusa aku mati

Tubuhku sudah terkontaminasi
sebab peradaban yang tak lagi terisolasi
kini era globalisasi
mereka lupa bagaimana aku yang asli

Aku ingin berkembang
tapi jangan kau hapus keakuanku
pertahankan tubuhku yang lama
tetap pertahankan
meski peradaban tetap berjalan

Akulah Pusaka
sejarah magis ada di tanganku
mantra leluhur yang sakti
kini tinggal cerita bagi manusia di kota
namun derita bagi manusia di desa
sebab desa kini kau anggap kuno
bahkan kau berani bilang
bahwa desa sudah usang
tak perlu lagi diperhatikan

Kalau begitu
baiknya kau tunggu
tiga atau empat dasawarsa nanti
seperti apa tubuhku ini

Semoga aku tetap sehat
menjadi kuat karena terawat
oleh manusia yang kuat
bukan oleh pejabat keparat

Bekasi, 8 Juni 2015
Aru Elgete

Kamis, 04 Juni 2015

Rinduku

Rinduku
Derap langkah kian gemuruh
teruntai asa penuh seluruh
debar dada selalu saja menggaduh
saban malam hati rasa mengaduh
Kalau rindu tak bersendu
aku ingin menanti meski pilu
hingga waktu yang berjalan selalu
menjadikan rindu tak lagi kelu
Kasihku,
semoga waktu tak membeku
di pengujung nafasku
saling rindu kita bertemu
bahagia tentu tak semu
Rinduku semoga sungguh tak lusuh
hingga nanti merajut asa bersama
meski tubuh bercucur penuh oleh peluh
aku tetap takkan menanam keluh
sebab kita aku berharap
agar bersama tak lelah sungguh resah
Bekasi, 4 Juni 2015
Aru Elgete

Senin, 01 Juni 2015

Cintaku mendaku

Cintaku mendaku
Dengan sepi aku menepi
berharap agar ramai oleh damai
aku ingin nafas berderu sunyi
ketika waktu kian menggerutu
Oleh hening tiada jua aku berpaling
gemakan hati dengan cemeti
agar segala rupa teringat kembali
karena itu cintaku mendaku
Aku yakin cintaku tak miskin
untuk dia yang melulu kaya
aku menunggu waktu
biar cinta ini tetap mendaku
Di balik sendu aku berlindung
dari kejahatan yang tak berbendung
sebab syahdu akan memandu
sebuah ungkapan cinta
untuk dia yang setia
menantiku sampai pagi lagi tiba
Bekasi, 1 Juni 2015
Aru Elgete

Selasa, 12 Mei 2015

Aku Bekasi

Aku Bekasi
Tampak urakan
berantakan
tak karuan
bicara tak sopan
pendidikan mungkin enggan
semuanya adalah ucapan
yang tak bertuan
Ah,
Mereka tentu belum menyusup
ke dalam lubang terdalam
di pengujung rasa
pada desah nafas terhela
menuju jiwa yang rela
Duhai para penggunjing
kalian tahu bagaimana maling?
mereka berani lalu sembunyi
berhadap tiada nyali
sesaat menghampiri
lalu berlari lagi
Walau aku pendatang
di Bekasi ini
tetap aku meradang menerjang
pada siapa yang terang menyerang
Sebab mati siapa tahu
kalau bukan Dia yang itu
aku entah kapan mati
namun yang pasti
aku ingin mati di sini
di Bekasi
Setiap bangsa pasti bertanda
semacam ciri yang berada
Bekasi juga begitu adanya
bicara tak sopan
berantakan
serta tampak tak berpendidikan
itu hanya tampak luar
luar tak berarti liar
Engkong sang pendidik
kenali agama agar hidup tak pelik
kurangi mata mendelik
indah dunia kian menilik
Agama sebagai pedoman
juga pegangan
agar tak tersungkur
ke dalam lubang penuh kufur
Bila sekilas tampak tak indah
belum tentu hati merana
sebab dengan ibadah
bahagia akan kami kelana
Sila kau mampir
ke Kota Jakarta lalu melipir
di Bekasi kau hadir
pahami budaya dan segala rupa
agar nanti tak sesat pikir
pulang ke rumah dengan tiada nestapa
Aku Bekasi
meski tak lahir di sini
jiwaku tetap bersih
membela bumi yang terpijak hari ini

Kaliabang Nangka, 12 Mei 2015.
Aru Elgete

Minggu, 10 Mei 2015

Rasa yang merasa

Rasa yang merasa
Sepi
Hening
  Sunyi
    Senyap
      Bungkam
        Diam
          Terkam
            Sergap
              Mangsa
                 Kecamuk
                    Gelora
                      Gelegar
                      Sepi
                     Hening
                   Sunyi
                 Senyap
               Bungkam
             Diam
           Terkam
          Sergap
        Mangsa
      Kecamuk
    Gelora
Gelegar
Duuarr!
Sepi
lalu menggelora
kemudian hening
menghilang sedia kala
berganti kala mewaktu
aku rasa merasa
kini sepi menyepi
esok bungkam memangsa
sunyi yang mengangkasa
entahlah...
mulai sepi sampai gelegar
adalah rasa yang tertawan
barangkali kita mengerti
semoga tak lugu
hingga senja menua nanti
                
Bekasi, 10 Mei 2015
Aru Elgete

Rabu, 22 April 2015

Politisasi Rasa

Politisasi Rasa
Mulanya kita bersama
saling bercerita pada titik yang sama
berkisah selalu dimula pertama
tiada akhir yang terpikir
Aku bicara soal rasa
kala itu
di ruang remang semu
mungkin kini kau sudah jemu
Kini kita entahlah
kau politisasi sebuah rasa
demi kepentingan pribadi
kau anggap itu hanya sekadar guyon
namun bagiku
kau hancurkan segala-gala
Kawanku,
ceritaku yang kau politisasi itu
bukan lelucon
soal rasa bukan sekadar perisa
maafkan jika aku sudah tak lagi kuasa
aku ini biasa
bisa tak biasa
ketika kau anggap aku hanya biasa saja
Kawan,
Politisasi rasa itu
bukan masalah yang berdarah-darah
tapi "mematikan" siapa pun yang kau anggap lemah
karena dilemahkan!
Kawan,
mulai kini
sudahi itu
aku tak ingin lagi
kita bersuara
namun seperti diam
tak lagi membara
Kawanku,
yang gemar mempolitisasi rasa
tulisan ini untukmu
agar kau tak lagi begitu

Bekasi, 22 April 2015
Aru Elgete

Sabtu, 11 April 2015

Tak ku beri judul

Tak ku beri judul
Kasih, satu semester kita bersama
berawal dari rima yang ria
berlalu pada setiap langkah keindahan
kita rangkai canda teruntai
Kasih,
bila kini kau duka
penuh luka dalam dada
sila kembali pada mula kita ada
Bila kini kau bahagia
sadarlah duhai dara
bahagia dan duka selalu ada dalam kita
bahwa duka 'kan datang dengan suka
Amelia,
kala kau lelah
mohonkan pada Rabb Pemilik Raya
agar susah kita bersudah
bahkan menyerah
Amelia,
kala hasratmu memarah
jangan cepat-cepat luapkan amarah
sesal menanti di belakang arah
karena waktu tak pernah berhenti melangkah
Amelia,
di satu semester ini
coba renungkan di dalam hati
adakah aku tak beri bahagia?
atau bagaimana?
suguhan makna bahagia untukmu, seperti apa?
Sila melangkah
untuk bahagia yang lain
bila denganku
melulu duka nan resah
Bekasi, 11 April 2015
Aru Elgete