Selasa, 23 Maret 2021

Janji yang Terlupakan


Ilustrasi. Sumber: kalderanews.com


Kisah ini bermula ketika seorang pemuda, sebut saja Rohman, berbelanja di sebuah pasar tradisional di desa tempat tinggalnya. Baru selangkah turun dari motornya, Rohman dihampiri seorang pria paruh baya penjual pisang. 


"Pisang, Tong, matang di pohon," kata sang kakek menawarkan barang dagangannya kepada Rohman. 


"Saya belanja dulu ya, Kek. Nanti kalau sudah pulang, saya baru beli."


"Iya, Kakek tunggu ya."


Rohman lantas bergegas masuk ke dalam pasar dengan sedikit berjinjit. Semalam, hujan deras memang mengguyur desa sehingga pasar menjadi banyak genangan air keruh, becek. Kalau tidak hati-hati, celana panjang yang dikenakan Rohman bisa-bisa kotor karena kecipratan air keruh itu. 


Baginya, belanja di pasar segar memang jauh lebih nyaman tapi berbagai harga di sana pasti selangit. Karena itu, Rohman lebih memilih untuk belanja di pasar tradisional kebanggaan masyarakat desa, sekalipun harus rela melewati genangan air dengan sangat hati-hati. 


Usai membeli berbagai kebutuhan, Rohman pulang. Melewati banyak perkebunan dan persawahan yang mendominasi sepanjang perjalanan. Tetiba, ia melihat banyak pisang yang menguning tanda matang, tergantung di pohon pada sebuah kebun pisang yang dilewatinya. Detik itu pula, Rohman langsung ingat pada janjinya kepada sang kakek penjual pisang di pasar tadi. 


"Astaghfirullah," ucap Rohman seketika ia ingat kepada kakek itu.


Sebenarnya, ia ingin langsung putar balik. Namun, barang belanjaan berupa sayuran dan bahan lainnya sedang ditunggu sang ibu di rumah. Sebab, akan dilangsungkan pengajian bulanan majelis taklim di rumah, pada malam hari nanti. Karena itu, mau tidak mau, barang harus sudah tiba di rumah sesegera mungkin. 


Pikiran Rohman bercabang. Jika tidak segera kembali ke pasar, ia merasa bersalah kalau ternyata si kakek terus menanti. Sedangkan kalau benar pedagang pisang itu menunggu dalam waktu cukup lama, pasti akan bosan dan justru lebih memilih untuk pulang. 



"Nggak mungkin dia tunggu sampai pasar bubar," kata Rohman, membatin.


Bayangan kakek tua dengan kopiah miring dan kemeja putih agak lusuh terus menari di pikiran Rohman. Tiba-tiba, ia dikagetkan dengan bunyi suara klakson sangat nyaring. 


"Mas, jangan melamun dong. Bikin celaka aja!" kata seorang pengendara motor di belakang, yang terhalang Rohman karena mengurangi kecepatan motornya.  


Saat terkejut, gas ditarik sehingga motor Rohman melaju dengan sangat cepat. Sampai-sampai ia hampir saja menabrak seseorang yang sedang menyeberang. Rohman kaget bukan main. 


Tapi akhirnya, Rohman tiba di rumah. Sang ibu yang menanti di halaman turut membantu menurunkan barang belanjaan seraya memeriksa karena khawatir ada satu item yang luput dibelanjakan. 


"Loh kok kamu nggak beli pisang, Man? Kan pisang itu nanti kita masukkan ke dalam kotak nasi?" tanya sang ibu.


Mendengar itu, bayang-bayang wajah kakek tua sangat jelas tampak di pikiran Rohman. Ia beranggapan, sang kakek pasti masih menanti kedatangan Rohman untuk membeli pisang dalam jumlah yang banyak.


"Aku lupa, Bu. Memang pisang juga perlu ya?" tanya Rohman. 


Ibu hanya mengangguk seraya meninggalkan Rohman, membawa barang belanjaan ke dalam rumah. Rohman pun turut masuk ke rumah meneguk segelas air untuk menenangkan diri.


Lalu ia langsung keluar. Kembali memacu motor dengan kecepatan tinggi. Terik matahari yang muncul setelah sebelumnya mendung, tidak sama sekali dihiraukan. Di pikiran Rohman hanya ada bayang kakek dengan kayu di pundaknya. 


Tiba di pasar, Rohman melihat sang kakek masih setia menantinya di tempat yang sama. Ia merasa pilu. Batinnya berkata, "Bagaimana kalau aku tidak kembali? Ya Allah itu si kakek masih saja duduk menungguku dengan beberapa sisir pisang uli dan raja."


"Kek, pisangnya masukin semua (20 sisir) ke kantung ini ya," kata Rohman sembari berjongkok dan membuka kantung tas. Ia rentangkan kantung itu dan turut memasukkan pisang, membantu sang kakek. 


"Jangan, Tong, jangan diborong semua. Tadi saya sudah janji sama pemuda yang sudah lebih dulu pesan pisang ini. Nanti dia kecewa. Tadi juga banyak yang mau beli, tapi nggak saya kasih karena sudah janji dengan pemuda itu," kata kakek dengan intonasi suara yang menunjukkan bahwa dirinya sudah lunglai. 


Tak terasa, Rohman meneteskan air mata dari balik kacamata yang dikenakannya. Ia kemudian melepas masker dan helm. 


"Kek, maafkan saya, sudah bikin kakek menunggu. Kakek belum makan ya karena nungguin saya?"


Dilihatnyalah Rohman dengan saksama, dari kaki hingga kepala. Sang kakek merasa heran bahwa ternyata pemuda ini yang tadi berjanji ingin membeli pisang tapi lama tidak kembali, sehingga membuatnya menunggu. 


"Maaf, tadi saya pulang dulu, Kek," kata Rohman lagi. 


Rohman tidak mengatakan kalau sebenarnya ia lupa untuk kembali. Namun setelah membayar harga pisang, ia menyelipkan satu lembaran seratus ribu rupiah ke saku baju sang kakek. 


"Jangan, Tong, kan pisang kakek sudah diborong. Bayar saja sesuai harga," kata kakek, menolak seraya tangannya menahan tangan Rohman. Namun, Rohman tetap meninggalkan uang itu ke saku sang kakek. Akhirnya, uang itu diterima juga. Hati Rohman pun lega. 


Saat melangkah ke motor sambil membawa borongan pisang yang sangat banyak itu, terlintas di benak Rohman tentang hadits Rasulullah yang menyatakan bahwa ciri-ciri orang munafik ada tiga. Salah satu dari ketiga ciri orang munafik itu adalah jika berjanji tidak ditepati. 


"Karena bisa jadi, orang yang kita janjikan bakal betul-betul berharap," ujar Rohman dalam hati, kemudian ia menyalakan motor dan segera melaju, kembali ke rumah. 

Previous Post
Next Post

2 komentar: