Rabu, 25 Desember 2019

Hari Natal dan Umat Islam yang Berisik


Sumber gambar: tjangkir.com

Setiap tahun, terutama menjelang Hari Raya Natal, pasti menjadi polemik. Tentu saja, yang berisik itu adalah umat Islam di Indonesia, negeri +62. Suara-suara mereka di media sosial cukup bising dan berisik. Kubu satu menghantam kubu yang lain, begitu pula sebaliknya.

Polemik itu mengenai perdebatan soal hukum mengucapkan "Selamat Natal". Umat Islam terpecah dalam persoalan ini, karena masing-masing punya pandangan yang berbeda. Ada yang membolehkan, tetapi ada juga yang melarang. Ada yang mengharamkan, tetapi ada juga yang mempersilakan. 

Tapi bagi saya, kedua kubu umat Islam, terutama di Indonesia itu, sangat kampungan sekali. Berisik. Merasa paling benar dengan pendapatnya, tetapi justru seperti ketakutan terhadap kebenarannya ketika argumentasinya itu dilawan. Sehingga timbul upaya untuk menyerang, menjatuhkan, dan menghina orang lain yang punya pandangan berbeda.

Orang-orang atau umat Islam yang membolehkan ucapan "Selamat Natal" itu adalah mereka yang merasa paling toleran. Bersamaan dengan itu, mereka menganggap orang-orang yang menghukumi haram ucapan "Selamat Natal" itu sebagai umat yang intoleran.

Bahkan bukan hanya itu, orang-orang yang "sok toleran" tersebut juga merasa diri sudah tercerahkan, tercerdaskan, dan berwawasan luas. Sehingga, orang-orang atau umat Islam yang tak sepaham dengannya disebut sebagai fundamentalis, konservatif,  radikal, dan istilah-istilah lain yang bernada merendahkan. 

Sementara umat Islam yang melarang atau menghukumi haram ucapan "Selamat Natal" akan menganggap umat Islam yang lain, yang membolehkan ucapan itu untuk diungkapkan, sebagai umat Islam yang telah luntur keislamannya. Sehingga, karena keislaman itu sudah luntur, dan bahkan bisa saja dihukumi sebagai kafir, maka harus diperbarui syahadatnya. 

Sebutan kafir itu menyakitkan sekali. Kita bisa berdiskusi kapan saja soal makna kafir yang seringkali disalahpahami. Namun terlepas dari itu, umat Islam yang menghukumi haram mengucapkan "Selamat Natal" tersebut, tentu saja merasa diri paling islami, merasa diri paling dekat dengan Allah, dan merasa diri paling punya banyak pahala serta dekat dengan surga.

Oleh karenanya, mereka menempatkan umat Islam yang tak sependapat itu di tempat yang paling rendah. Disebutlah liberal (dimaknai sebagai paham yang sesat dan melenceng dari ajaran agama), munafik, kafir, sesat, rusak akidah, fasik, dan istilah-istilah lain yang dimaksudkan untuk merendahkan.

Kenapa sih kalian berisik banget? 

Merasa paling benar boleh-boleh saja, kok. Hal itu justru diperlukan dalam hal beragama, tapi jangan lantas menganggap pendapat, argumentasi, dan pandangan orang lain sebagai sebuah kesalahan yang mutlak. Kapan mau majunya umat Islam kalau begitu terus? Malu-maluin. 

Kalian itu selalu sok toleran dan merasa paling toleran, tapi disaat yang bersamaan kalian justru memberisiki orang-orang yang tidak mengikuti laku-lampah atau jalan yang kalian tempuh. Kalian juga selalu saja merasa paling islami dan disaat yang sama, kalian justru merecoki orang lain yang tidak sepaham-sepemikiran dengan kalian. 

Aneh, beragama kok jadi berisik sekali. Lagipula, umat Kristen juga nggak butuh diucapkan kok. Kita nggak perlu caper juga lah. Mereka hanya butuh ketenangan lahir-batin untuk beribadah, itu saja. Berisiknya umat Islam, saya khawatir justru akan menganggu kekhidmatan umat Kristen dalam menjalani peribadatan di hari --yang menurut mereka sebagai hari-- yang istimewa ini. Tapi semoga saja tidak.

Namun sebagai manusia ruang (meminjam istilah Emha Ainun Najib), saya akan menerima semua perbedaan yang saling silang pendapat dengan gembira. Itulah sebuah keniscayaan yang harus disyukuri. Bahwa keragaman itu bukan hanya dalam bentuk fisik saja, tetapi juga pemikiran yang setiap tahunnya membuat saya bertambah wawasan pengetahuannya. 

Karenanya, saya ingin mengucapkan begini:

Kepada saudara-saudara saya, umat Kristen dan Katolik, saya ucapkan, "Selamat merayakan Hari Raya Natal".

Kepada saudara-saudaraku, umat Islam yang membolehkan untuk memberikan ucapan kepada umat Kristen dan Katolik, saya ucapkan, "Selamat mengucapkan Selamat Natal".

Dan kepada saudara-saudaraku, umat Islam yang melarang ucapan dan mengharamkan untuk memberikan ucapan kepada umat Kristen dan Katolik, saya ucapkan, "Selamat tidak mengucapkan Selamat Natal".

Plis ya, jangan jadi umat Islam yang berisik.
Previous Post
Next Post

3 komentar:

  1. Mungkin hanya mereka saja yang bersisik. Weh berisik ding

    BalasHapus
  2. Yah yg mereka ributkan hanya masalah sepeleh. Begitulah yg terjadi jika fanatik dalam beragama.

    Bukan nya jiwa mendapatkan cahaya tuntunan dari tuhan, tapi kehancuran itu sendiri.

    BalasHapus
  3. anehnya saat imlek mereka diam, sebegitu besarnya kekuatan amplop merah alias angpao

    BalasHapus