Rabu, 22 November 2017

Menghina Rina Nose, Dibenarkan atau Tidak?


Sumber gambar: jabar.tribunnews.com


Tulisan ini masih berkaitan dengan Rina Nose dan Abdul Somad. Kini persoalannya bukan lagi tentang keduanya. Melainkan tercipta persoalan baru. Yakni dari kedua pihak yang membela dan mencaci. Sebab dewasa ini, semua serba hitam-putih. Tak ada pilihan lain untuk memilih. Kalau tidak membela, berarti mencaci. Begitu pun sebaliknya.

Namun, saya mencoba untuk mencari warna selain hitam dan putih. Melihat dari kacamata kejernihan yang mampu menjangkau akal dan pikiran, serta nurani dan kasih sayang. Terlebih hal-hal yang tertaut pada pendiskusian keagamaan. Sepanjang pemikiran sempit saya, tidak ada agama yang mengajarkan kebencian dan pemberangusan kebebasan.

Islam mengajarkan ketundukkan dan kepatuhan. Betul. Sebab agama langit yang lahir belakangan ini berperan sebagai penyempurna. Islam juga mengajarkan soal pembebasan. Bebas dari cengkeraman yang menjerat gerak dan laku. Lebih-lebih, berpikir dan melakukan eksplorasi gagasan.

Islam itu membebaskan. Melepaskan umat dari keterpurukan yang memenjarakan segala hal. Karenanya, Tuhan berpesan kepada Muhammad agar sadar diri; bahwa dia diutus sebagai pemberi peringatan, bukan algojo yang mengerikan. Fadzakkir innamaa anta mudzakkir, lasta ‘alaihim bi mushotir. Memberi peringatan dengan tanpa caci-makian, umpatan yang menjengkelkan, serta hal-hal yang tak patut dikemukakan. Mengingatkan kebaikan dengan cara-cara yang arif dan bijaksana. 

Dalam berdakwah, Islam tidak pernah mengenal paksaan. Juga dalam hal membalas berbagai keburukan dan kejahatan. Kalau Yahudi, misalnya, ketika diperlakukan jahat maka tidak ada perbuatan lain kecuali membalasnya dengan balasan yang setimpal. Kemudian Nasrani, kalau dipukul pipi sebelah kiri, maka harus dibalas dengan memberikan pipi sebelah kanan. Demikian cara Yahudi dan Nasrani dalam memperlakukan kejahatan.

Sementara Islam, punya cara berbeda. Sebagai agama penyempurna, Islam mampu mengombinasikan keduanya. Namun tentu difokuskan pada titik kemaslahatan. Tuhan dengan sangat santun memberikan kabar bahwa balasan bagi kejahatan adalah dengan membalas hal serupa; tapi alangkah lebih baik kalau membalasnya dengan perbuatan memaafkan yang menyejukkan dan menenteramkan. Dengan kata lain, Islam tetap merangkul sekalipun seringkali dipukul. 

“Wa jazaa-u sayyiatin sayyiatun mitsluha, fa man ‘afaa wa ashlaha fa ajruhuu ‘alalLah, InnalLaha laa yuhibbu-dzh dzholimiin,” demikian firman Tuhan dalam kitab suci yang diberikan kepada Putra Abdullah. Dia-lah yang akan memberikan rahmat dan kasih sayang kepada orang-orang yang memaafkan kejahatan. Karena pada dasarnya Tuhan tak cinta pada mereka yang zalim. Membalas kezaliman dengan kezaliman sama dengan memperbarui dan memperpanjang usia kezaliman.

Kemudian, Tuhan mendaku diri. Dia bisa saja menjadikan seluruh penduduk bumi beriman kepada-Nya, tetapi Dia lebih memilih untuk tidak menyeragamkan. Dan Tuhan menanyakan kepada Muhammad, apakah suami Khadijah itu hendak memaksa semua manusia supaya menjadi orang-orang yang beriman? 

“Walau syaa-a rabbuka la-amana man fil-ardli kulluhum jamii’an, afaanta tukrihunnaasa hattaa yakuunu mu’miniin.”  Sebuah pernyataan dan pertanyaan retoris yang tidak membutuhkan argumentasi balasan. 

Dalam Kitab Ihya Ulumiddin, Imam Ghazali menggambarkan bahwa di setiap kalbu manusia seringkali terjadi peperangan. Yakni yang dilakukan tentara malaikat dan tentara setan. Keduanya saling berebut kuasa. Menghancurkan yang lain dengan segala macam daya dan kemampuan. Pemenangnya akan mendapatkan kekuasaan seutuhnya. Sementara yang kalah, hanya berstatus sebagai pihak kedua.

Lalu, pihak kedua bekerja sekeras mungkin agar bisa melakukan kudeta. Caranya seperti pencopet. Mencari kelengahan untuk kemudian menjungkalkan lawan dan berganti penguasaan serta kekuasaan. Misal, pemenang peperangan itu adalah tentara malaikat. Maka, tentara setan akan terus mencari cara agar mampu meruntuhkan kedigdayaan tentara malaikat. Dan, sebaliknya.

Imam Ghazali menekankan bahwa kecenderungan kalbu manusia adalah berkuasanya tentara setan. Namun hal itu mampu diantisipasi dan ditanggulangi dengan cara mengingat Tuhan (dzikir), yang disebut olehnya sebagai jejaknya para malaikat. Di tiap-tiap kalbu manusia mesti diisi dengan jejak langkah malaikat agar tentara setan tidak berkuasa sepenuhnya.

Dari uraian di atas, mestinya kita bisa sama-sama simpulkan sendiri bagaimana seharusnya mendudukkan perkara antara Abdul Somad dan Rina Nose. Di banyak media, Rina Nose dianggap telah melecehkan agama karena memilih untuk membuka penutup kepala, murtad, bahkan atheis. Lantas, apakah Tuhan akan memberi rahmat sementara pelecehan dibalas dengan umpatan yang menyakitkan? Atau barangkali, tentara setan sudah berhasil merebut sedikit kekuasaan dari genggaman tentara malaikat yang ada di kalbu Abdul Somad?

Walau demikian, bukan berarti perbuatan Somad yang telah menghina Rina Nose adalah perbuatan yang keluar dari jalur kebenaran. Karena dalam Islam terdapat dua pilihan. Pertama, membalas kejahatan dengan kejahatan serupa. Kedua, membalas kejahatan dengan memaafkan dan memberi cinta serta kasih sayang atau pengertian yang menyejukkan.

Bagaimana?




Billahi Sabilil Haq



Laboratorium Teater Korek, 22 November 2017


Aru Elgete 
Previous Post
Next Post

0 komentar: