Minggu, 06 Juni 2021

6 Juni Ke-27

 

Aru Elgete. Foto: Zulfikar

Tak terasa, perjalanan sudah sangat panjang rupanya. Berbagai fenomena kehidupan telah dilalui dengan beragam perasaan. Ada sedih, gembira, kecewa, sakit hati, dan bangga. Semua bercampur, datang silih berganti. 

Pada 6 Juni ke-27, sebagaimana yang sudah sering dikatakan, saya ibarat sedang berbuka puasa. Saat ini tengah menikmati berbagai hidangan yang melegakan. Saya kadang menyebutnya sebagai 'santapan ruhani' yang bagi setiap orang, pasti berbeda-beda. 

Saya masih ingat betul perjalanan dari Juni ke Juni. Beberapa tahun lalu misalnya, saya sedang berasyik-masyuk dengan kesibukan yang sungguh tidak produktif. Saya pernah pula jadi seperti 'sapi perahan' yang selalu dimanfaatkan hasilnya untuk kepentingan pribadi dan kelompok. 

Saya pernah juga dijauhi, hanya karena memegang teguh prinsip. Sungguh, sejak kecil, saya selalu dididik untuk tidak berkawan dengan orang-orang munafik. Bapak di rumah pun selalu mengajarkan agar selalu komitmen dengan prinsip supaya tidak menjadi munafik. 

Dalam hidup, saya punya prinsip yang tidak bisa diganggu, yakni saya sebagai manusia berjalan di atas dua kaki, kanan dan kiri. Fungsinya, kaki kanan untuk berteman dan kaki kiri untuk melawan. Semua tergantung dari bagaimana sikap yang saya terima. Kalau buruk, saya akan melawan dengan cara saya sendiri. Tapi kalau baik, pertemanan akan sangat baik saya jaga. 

Selama perjalanan menuju 6 Juni ke-27 ini, saya banyak melihat orang-orang yang pernah saya lawan itu, kini masih saja berpuasa. Belum sama sekali berbuka. Mereka masih disibukkan dengan persoalan remeh-temeh: mencari panggung di media sosial. Sebab, eksistensi akan membuahkan apresiasi. Keduanya, masih jadi santapan mereka. 

Sementara saya, sudah sangat kenyang dengan makanan bernama apresiasi dan eksistensi. Saya sudah sejak lama, bergelut dalam hal membuat panggung untuk menciptakan eksistensi dan apresiasi di media sosial. Itu hal mudah. Saya punya banyak peluru sekaligus senjata untuk bertempur. 

Kini, pada 6 Juni ke-27 ada banyak rencana yang tengah dipersiapkan. Saya tidak mungkin lagi mengurusi sesuatu yang remeh-temeh sehingga kehabisan waktu untuk mencapai target tertentu. 

Sejak Juni ke-27 ini, saya berkomitmen untuk senantiasa meningkatkan kualitas penghambaan kepada Allah. Hal ini sebagaimana yang menjadi tujuan manusia diciptakan. Kata Allah, jin dan manusia diciptakan di bumi tak lain hanya bertugas untuk menghamba kepada-Nya.

Karena itu, saya bersumpah tidak akan menghamba kepada selain Allah demi mendapat proyek, harta, dan jabatan. Begitu pula saya tidak akan memperhambakan orang lain demi kepentingan keduniaan. Sebab menghamba dan memperhambakan terhadap sesuatu selain Allah adalah syirik, dosa terakbar yang tidak akan diampuni-Nya. 

Saya bersyukur, karena di usia hampir tiga dasawarsa ini, telah diingatkan tentang pemahaman yang dapat menumbuhkan rasa keimanan paling mendasar itu. Sebab dalam soal menghamba dan memperhambakan itu, jangankan saya yang masih bergelimang dosa, seorang kiai pun bisa saja terjerumus ke dalam perbuatan syirik itu.

Itulah virus sesungguhnya yang harus kita hindari, buat siapa pun, baik pendosa seperti saya maupun para kiai dan tokoh agama yang berkalung kehormatan serta kesucian. Menghamba kepada Allah dan memperhambakan diri sendiri di hadapan Allah, itu berarti berkeyakinan bahwa hanya Allah-lah yang paling berkuasa. Dia-lah yang layak memberikan penghidupan pada kita, bukan yang lain. 

Nah dengan pemahaman yang seperti itu, saya jadi semakin ringan menjalani hidup. Tanpa beban sedikit pun. Saya juga akan semaksimal mungkin menghindari tawaran orang lain yang berpotensi menjadikan saya 'berutang budi'. Itu pasti saya hindari.

Sebab utang budi terbesar yang saya punya, biarlah hanya kepada orang tua yang telah membesarkan dan mendidik saya selama berpuluh tahun. Saya tidak mau menambah beban utang budi kepada selain orang tua saya. 

Terima kasih, saya ucapkan, kepada orang-orang yang telah memberikan tawaran dan iming-iming kenikmatan duniawi. Berbagai hal kebendaan, memang masih menggiurkan. Tetapi bagi saya saat ini, tidak ada yang lebih menggiurkan daripada memegang prinsip agar selalu berhindar dari perbuatan syirik dan berutang budi kepada orang lain. Ini nikmat dan menggiurkan sekali. 

Semoga di perjalanan menuju Juni ke-28 hingga Juni-Juni yang ke sekian, saya selalu diselamatkan untuk tidak terjerumus. Sebagaimana telah Allah selamatkan saya dari gerombolan kaum munafik, beberapa waktu lalu.

Sungguh, saya pun masih munafik, karena berkali-kali menolak previlese atau akses mudah untuk menjadi kaya. Padahal kaya adalah keinginan semua orang. Ya, saya munafik untuk itu. Biarlah. 

Semoga segala hal baik menyertai saya dan kita semua. 


Bekasi, 6 Juni 2021

Previous Post
Next Post

1 komentar:

  1. Rangkaian huruf menjadi kata. Rangkaian kata menjadi kalimat. Rangkaian kalimat menjadi alinea. Rangkaian alinea menjadi Bab. Sudah benar adanya.

    Ungkapan: "Sungguh, saya pun masih munafik, karena berkali-kali menolak previlese atau akses mudah untuk menjadi kaya. Padahal kaya adalah keinginan semua orang. Ya, saya munafik untuk itu. Biarlah." Saya sepertinya pernah melakukan itu dari awal saya mendapat amanah menduduki jabatan di sebuah Kementerian Keuangan Direktorat Jenderal Pajak, mengelola pekerjaan yang tak main2, mengembalikan uang Wajib Pajak Perseorangan atau Perusahaan berupa SPMKP (Surat Perintah Membayar Kembali Pajak atau dikenal dengan Restitusi) kalau tak kuat-kuat iman, gampang sekali setan mengajak dugem untu masuk neraka. Hal itu harus kita pegang teguh. Meski sudah memegang teguh janji, dijamin saya (saya, ya) aman? Ternyata tidak. Orang lain berbuat, karena kita satu tim besar (meski sudah dengan pemilahan tugas masing2) saya kena getahnya. Saya dicopot jabatan. Saya malu? Ya, sepintas. tapi saya tunjukkan kepada semua orang bahwa saya sudah melaksanakan SOP dengan benar. Yakin itu. Saya tak tinggal diam sementara yang lain sudah masuk penjara dan yang masih belum masuk penjara pasti badanya adem panas. tak tinggal diam saya adalah merangkai ingatan menjadikan sebuah kronologi yang akhirnya menjadi sebuah laporan dengandukunga data yang sangat2 akurat. Saya yakn sangat menguasai pekerjaan saya sebelumnya di bdang tersebut selama 6 tahun. Empat tahun perjuangan saya membela kebenaran, mendapat ganjaran indah. Saya dipanggil Nomor Satunya DJP (Direktur Jenderal Pajak). Dipulihkan nama baik saya. Saya disekolahkan dalam pendidikan khusus di Yogyakarta untuk mendapat apresiasi lebih tinggi. Setelah lulus saya menolak semua jabatan lebih tinggi yang ditawarkan. Lalu negosiasi, menemui jalan buntu, saya marah kepada seseorang yang telah menjadi Ketua Tim Pemeriksa saya yang dengan ceroboh menjathkan hukuman pada saya. tadinya mau saya buat panjang, tapi pundak saya dielus dan saya menurut tidak melakukannya. Sayapun diberi pilihan untuk pergi ke Tanah Suci Tanah Perjanjian (Yerusalem). Itupun saya tolak dengan halus. Setelah dipaksa untuk menerima baru saya ungkapkan bahwa untuk berangkat ke sana, untuk naik taksi ke Bandara saja rasanya saya tak mampu membayarnya. Akhirnya disepakati saya tak direpotkan dengan segala urusan tersebut, malah saya diberi sangu yang lumayan banyak (saya tabung dan akhirnya menguliahkan anak kedua saya sampai lulus sarjana ekonomi). Ceritanya saya muat di kompasiana.com/pramana hadi Wisata Rohani ke Yerusalem (entah masih bisa dibuka atau tidak, saya sdh lama tak menuls lagi di platform kompasiana semenjak ribut2 anies mempersekusi ahok

    BalasHapus