Hari ini, 6 Juni 2025, saya sudah berusia 31 tahun. Hari ulang tahun merupakan momen yang secara pribadi saya maknai sebagai titik balik untuk merefleksi dan menata ulang arah hidup.
Saya punya kebiasaan melakukan perenungan mendalam setiap lima tahun sekali—sebuah jeda yang saya beri ruang dalam hidup untuk mengevaluasi siapa saya, ke mana saya akan melangkah, dan apa yang ingin saya maknai dari seluruh perjalanan ini?
31 tahun bukan angka yang kecil. Sebab di balik angka ini telah menyimpan banyak musim, jatuh-bangun, luka, tawa, dan keputusan-keputusan penting.
Dalam lima tahun terakhir, saya seperti dihadapkan pada cermin besar yang memperlihatkan siapa diri saya sebenarnya? Saya merasa bahwa hidup bukan sekadar bertujuan agar terlihat baik di mata orang lain. Sebab dari situlah pelajaran-pelajaran penting mulai muncul satu demi satu.
Saya belajar bahwa hidup tak selalu bisa dikendalikan. Namun kini saya sudah agak bisa mengendalikan cara merespons yang baik atas sesuatu.
Salah satu proses terbesar dalam hidup saya beberapa tahun belakangan ini adalah belajar mengelola emosi. Saya dulu lebih mudah terbakar: marah, kecewa, cemas, atau merasa disalahpahami.
Namun perlahan, saya mulai belajar untuk menahan diri. Saya belajar diam ketika ingin bereaksi keras. Saya belajar menunda respons saat hati sedang bergejolak. Ternyata, kemampuan untuk tidak segera menanggapi segala hal adalah bentuk kedewasaan yang mahal.
Ego juga bukan hal mudah untuk dikendalikan karena sering kali menyamar sebagai kebenaran, padahal hanya keinginan untuk merasa benar. Saya belajar untuk meredam ego, meskipun secara perlahan. Saya mulai mengerti bahwa mengalah bukan berarti kalah, bahwa mendengarkan bisa lebih kuat daripada berbicara, dan bahwa memaafkan bukan bentuk kelemahan, melainkan kebebasan. Hal-hal ini tak bisa saya kuasai sepenuhnya, tetapi kini saya sadar bahwa itu penting.
Saya juga merasa kemampuan saya dalam menganalisis masalah berkembang. Saya tidak lagi buru-buru menilai sesuatu dari permukaan. Saya mulai belajar melihat akar persoalan, membaca konteks, dan memahami sisi lain dari cerita yang tampaknya keliru di awal. Kematangan membuat saya sedikit lebih bijaksana dalam bersikap. Saya mulai tahu kapan harus bertindak, kapan cukup diam, dan kapan harus benar-benar pergi?
Bagian yang paling melegakan dari perjalanan ini adalah saya mulai bisa berdamai dengan masa lalu saya. Dulu, saya terlalu sering membenci bagian-bagian dari hidup saya yang gelap dan menyakitkan. Saya merasa itu harus dilupakan, disembunyikan, atau dihapus. Tapi belakangan saya sadar: masa lalu itu bukan musuh.
Tanpa luka, saya tidak akan punya empati. Tanpa rintangan, saya tidak akan tahu cara untuk bertahan. Sekarang, saya bisa menatap ke belakang tanpa dendam, tanpa amarah. Hanya ada rasa syukur dan pengertian.
Saya juga memegang satu amanah penting dari ibu untuk menjadi pribadi yang menyenangkan di mana pun saya berada. Pesan ini saya maknai bukan dalam artian harus selalu lucu atau menuruti semua orang, tapi bisa menjadi sosok yang membuat orang lain merasa nyaman, didengar, dan diterima.
Saya ingin, setidaknya, kehadiran saya di sebuah lingkaran pergaulan bisa membuat hati orang lain sedikit lebih hangat. Sebab saya percaya, hidup bukan tentang siapa yang paling hebat, tapi siapa yang paling mampu membuat kehidupan ini lebih manusiawi bagi orang lain.
Hari ini, saya tidak menginginkan sesuatu yang muluk-muluk. Saya hanya berharap bisa menjadi lebih jujur kepada diri sendiri. Saya ingin mengenal kesejatian diri saya lebih dalam lagi.
Kesejatian diri itu bukan hanya soal identitas sosial, profesi, atau peran-peran yang saya mainkan di hadapan orang lain, tetapi diri saya yang asli—yang barangkali sedang bersembunyi di balik tuntutan, ekspektasi, dan rutinitas harian.
Saya tahu perjalanan ini belum selesai. Barangkali malah baru dimulai. Namun saya ingin menempuhnya dengan lebih tenang, lebih ikhlas, dan lebih rendah hati. Saya tidak ingin lagi terjebak pada perlombaan membuktikan diri. Saya ingin berjalan dengan tujuan, bukan dorongan serta dengan keyakinan, bukan ketakutan.
Selamat ulang tahun untuk diri saya sendiri. Terima kasih sudah bertahan, sudah mencoba, dan sudah bangkit berulang kali. Terima kasih juga karena sudah memilih untuk terus tumbuh, bahkan di tengah rasa lelah. Semoga lima tahun ke depan saya bisa melihat kembali tulisan ini dan berkata, “Terima kasih karena sudah memulainya dengan baik.”
0 komentar: